13 | Cemburu

3 2 0
                                    

Malam sudah semakin larut dan mall itu pun mulai terlihat sepi karena beberapa toko terlihat telah ditutup. Zia memutuskan untuk kembali ke rumah dengan Arjuna yang akan mengantarnya. Padahal ia hendak menaiki taksi online, tetapi sang kakak kelas tidak mengizinkan.

Tak banyak yang dapat mereka lakukan setelah bermain tadi, hanya menonton film kemudian makan malam. Namun, sudah mampu meredakan kekeselan Zia pada Agnes siang tadi.

"Kak Arjuna, beneran enggak apa-apa kalo nganterin Zia pulang dulu?" tanya Zia setelah mobil itu bergerak cukup jauh dari arah parkiran pusat perbelanjaan itu.

Juna mengembuskan napas kesal. "Juna, Zia!”

Cowok itu memang tidak terlalu suka jika dipanggil dengan nama lengkap. Karena menurutnya, terlalu sulit dan boros jika menyebutkan nama dengan tiga suku kata. Lagipula usianya dengan gadis yang sedang duduk di sampingnya tidak beda jauh. Jadi, ia merasa tidak apa jika dipanggil tanpa ada embel 'Kak' di depan namanya.

"Eh, iya! Kak Juna maksudnya," ralat Zia.

Juna tersenyum kemudian mengangguk. "Enggak apa-apa. Yang penting gue bisa pastiin lo pulang dengan selamat."

Zia tersenyum canggung. Padahal selama berteman dengan lawan jenis, ia tak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan mereka. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Ia memilih bersandar sembari menatap jalanan yang masih ramai meski jam sudah hampir menunjukan pukul dua belas malam.

Zia tidak pernah pulang selarut ini, apalagi jika pulang bersama orang yang baru dikenal. Di dalam hati, ia berharap jika Danu tidak mengetahui pasal dirinya yang pergi seorang diri ke mall dan pulang bersama Juna. Sebab jika sampai tahu, cowok itu akan marah besar.

Tak lama kemudian, mobil Juna berhenti tepat di depan rumah Zia. Gadis itu menghela napas lega saat melihat Danu tidak ada di teras rumah melalui jendela mobil. Sepertinya ia berada dalam posisi aman.

"Ini bener rumah lo, kan?"

Zia menoleh saat mendengar suara Juna, kemudian mengangguk. "Iya, bener, Kak. Makasih banyak, ya."

Zia kemudian keluar dari mobil tersebut dengan perasaan lega. Namun, saat baru saja keluar, angin malam menyambut dan terasa menusuk pori-pori kulitnya. Meskipun sudah memastikan Danu tidak ada di teras rumahnya, bukan berarti ia bisa benar-benar tenang. Ia tahu bahwa cowok itu bisa saja melihat dirinya dari jendela kamar. Maka dari itu, ia memilih mempercepat langkah agar segera tiba di depan pintu.

Bukannya tidak suka dengan perlakuan Danu, melainkan Zia hanya tidak ingin mendengar amarah yang cowok itu lontarkan. Entah karena apa, hanya saja ia selalu merasakan nyeri dihatinya ketika setiap kata amarah itu terucap dari bibir Danu.

"Dari mana lo?"

Suara itu berhasil menghentikan langkah cepat Zia. Entah dari mana asalnya, yang pasti gadis itu tak berani menoleh demi terhindar dari wajah marah Danu.
Dari balik pohon, Danu berjalan mendekat. Begitu berdiri di samping Zia, ia bersedekap dada. "Gue tanya, lo dari mana?"

"Eh, kok tumben Danu belum tidur? Emang enggak takut kesia—"

"Jawab!" potong Danu.

Jika sudah begini, apa pun jawaban yang dilontarkan Zia akan tetap salah. Bersahabat dengan cowok seposesif Danu memang menyenangkan, tetapi ia tidak terlalu suka jika itu terlalu berlebihan.

"Danu apaan, sih? Kok, malah marah-marah?" jawab Zia dengan kesal.

Jika biasanya gadis itu hanya menunduk dan diam, kali ini berbeda sebab ia merasa harus melawan sesekali.

"Lo udah berani keluar sendirian?" Danu melirik tangan gadis itu yang masih memeluk tubuhnya sendiri. "Terus lo kenapa enggak bawa hoodie?"

Zia memutar bola mata dengan malas karena jengah mendengar berbagai cecaran Danu. Padahal ia tidak benar-benar ingin pergi sendiri, tetapi karena cowok itu dan si kembar memang sedang tidak berada di rumah, sehingga ia terpaksa pergi sendiri agar rasa bosan yang menghampiri segera hilang.

"Lo sadar ini jam berapa, enggak? Di luar bahaya!" lanjut Danu lagi dengan nada yang lebih tinggi.

Gadis itu menghela napas demi meredakan kekesalannya terhadap Danu yang ia pikir terlalu berlebihan kali ini. Karena tak ingin bertengkar dengan cowok itu, Zia memilih melangkah melewati Danu. Namun, sebelum benar-benar beranjak, tangannya kembali dicekal.

"Zi!" bentak Danu.

Zia menatap kesal cowok itu kemudian menghempas tangannya agar cekalan tersebut lepas. Sepertinya ia benar-benar harus meluapkan kekesalannya malam ini. Tak apa jika Danu merasa aneh, sebab ia sendiri juga mulai jengah pada keadaan yang seolah-olah tengah mempermainkan dirinya.

"Makanya Danu jangan terlalu sibuk jalan bareng Yumi, sampe lupa sama Zia!" Zia mengembuskan napas kesal. "Lagian Danu enggak berhak seposesif itu. Danu itu cuma temen Zia, bukan abang, ayah, atau pacar!"

Di tempatnya, Danu terdiam sembari mencerna ucapan Zia. Biasanya gadis itu tak pernah mempermasalahkan dirinya yang seperti ini, bahkan selalu menuruti apa pun yang ia katakan. Namun, entah kenapa Zia berubah. Rasanya ia ingin membantah, tetapi memang benar jika tadi siang ia pergi menemani Ayumi dan ponselnya kehabisan baterai. Ia sadar jika beberapa hari ini ia memang selalu menemani Ayumi hingga tanpa sadar jarak mulai tercipta antara dirinya dan Zia.

Danu menghela napas panjang sebentar. Sepertinya ia memang harus meminta maaf pada gadis itu. Mulutnya baru saja ingin terbuka, tetapi urung ketika melihat Juna yang kini sudah berdiri di sebelah Zia.

"Lo enggak apa-apa?" tanya Juna.

Dengan canggung Zia mengangguk. Melihat itu, Danu merasakan sesak yang menumpuk di dalam dadanya. Sesuatu juga seperti mencekat tenggorokannya sehingga ia kesulitan bernapas. Lengkap sudah kekecewaannya malam ini. Sekarang ia tahu penyebab sikap Zia yang tiba-tiba berubah.

Cowok itu menatap Zia nanar, tersenyum getir, dan menggeleng tak menyangka. Sorot kecewa terlihat jelas dari matanya. Mata mereka menyatu cukup lama, sampai akhirnya Danu beranjak tanpa mengatakan apa pun. Malam ini, untuk pertama kalinya ia bertekad tidak akan peduli pada Zia lagi.

Melihat punggung Danu yang kian menjauh, rasa bersalah luar biasa kini menjalar di seluruh titik hati Zia. Seolah-olah apa yang ia katakan malam ini memang sangat menyakiti hati cowok itu.

*****

Pukul 03:00 dini hari, masih terdengar lantunan lagu-lagu mellow dari kamar dengan nuansa warna klasik itu. Sang empunya kamar berharap jika lagu-lagu itu dapat membunuh sesak yang kian terasa nyata.

Di sana, Zia masih terjaga meski berulang kali berusaha terlelap. Namun, setiap kali terpejam, sorot kecewa Danu justru menghalangi pandangannya. Ia tidak mempedulikan matanya yang sudah sembab akibat menangisi kejadian beberapa jam yang lalu itu. Bukan hanya Danu yang terluka, tetapi ia juga. Rasa bersalah mengerubunginya tanpa ampun.

Tak seharusnya ia mengatakan itu pada Danu hingga menyakiti hati cowok itu sebegitu dalam. Ia sadar, jika Danu tidak terlalu berlebihan padanya, melainkan ia sadar jika api cemburu mulai menguar tatkala merasa posisinya perlahan mulai ditempati Ayumi.

Ternyata, seperti itu rasanya cemburu; sesak.

Zia menatap nanar langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Seolah di sana terpampang jelas ingatan-ingatan sewaktu kecil, bak sebuah film yang sengaja diputar kembali. Ia tersenyum miris saat sadar akan ketidakpeduliannya terhadap perasaan Danu. Padahal ia sudah berusaha dengan keras agar dapat menahan perasaan pada cowok itu. Ya, dirinya sudah menyukai Danu, bahkan jauh sebelum cowok itu menyukainya.

Namun, lagi-lagi Zia tidak ingin mengikuti ego. Ia tidak ingin hal-hal buruk merusak persahabatannya. Bertahun-tahun ia berusaha membunuh perasaan itu, bertahun-tahun juga perasaan itu tumbuh kian membesar. Sebab memaksa diri untuk melupa, justru membuat hati semakin suka.

Setiap kali Danu tersenyum, tertawa, atau menunjukkan perhatian, di saat itu juga Zia harus menahan rona merah agar tidak hadir di pipinya. Ia yakin jika ia sedang tidak menyakiti dirinya sendiri. Menurutnya, tidak apa ia terluka karena tidak bisa memiliki Danu, asal cowok itu tidak pernah pergi darinya.

Zia mengusap air matanya dengan punggung tangan kemudian mengambil ponsel. Semula ia ingin meminta maaf pada Danu, tetapi seketika urung saat ia pikir bahwa dirinya harus meminta maaf secara langsung. Jarinya bergerak menuju ruang obrolan dengan Devan.

Devan

Van, besok jemput Zia, ya.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang