9 | Luka Mereka

5 2 0
                                    

Rida—Ibunda Danu—ingin membeli sesuatu di warung yang ada di seberang jalan. Namun, langkahnya seketika terhenti saat mendengar panggilan seorang gadis.

"Bunda...."

Zia memanyunkan bibir saat Rida menoleh. Gadis itu baru saja bergerak dari rumahnya dan bertemu dengan Rida di halaman rumah. Spontan, ia memeluk tubuh wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri itu.

Setelah menangis beberapa saat tadi, Zia merasa belum meredakan rasa rindu pada sang Ibu. Maka dari itu, ia memilih untuk menemui Rida dan memeluknya agar rasa rindu yang menguar bisa sedikit hilang. 

Rida mengelus rambut panjang gadis itu sembari senyum. "Kangen sama Ibu, ya?" tanya Rida saat mendengar isakan dari mulut gadis itu.

Zia mengangguk dan isakan yang keluar terdengar semakin keras. Wanita paruh baya itu membiarkan Zia menangis dalam pelukannya. Bukan kali pertama Zia memeluknya ketika merasa rindu pada orang tuanya sebab semua itu telah berlangsung sejak kepergian sang ibu sembilan tahun yang lalu.

Tak lama kemudian, tangisan Zia mulai mereda. Ia menghela napas panjang sebelum melerai pelukannya kemudian tersenyum.

"Maaf, ya, Bun, udah bikin baju Bunda basah." Zia mengelus bahu Rida yang basah akibat air matanya tadi.

Rida tersenyum lalu mengelus pipi Zia dengan pelan. "Enggak apa-apa, Sayang."

"Bunda, makasih udah mau jagain Zia. Kalo enggak ada Bunda, Zia enggak tau harus temuin siapa biar rindu Zia ke ibu bisa reda."

Rida kembali memeluk Zia. Dalam hati, ia berulang kali berdoa agar gadis di pelukannya bisa menerima dan berdamai dengan masa lalu. Tak lupa juga ia selalu memanjatkan doa agar Tuhan menguatkan hatinya ketika masalah kembali menghampiri. Ia sudah cukup banyak menyaksikan luka yang melukai Zia. Bahkan ia bisa merasakan setiap luka kala melihat air mata menggenang di pelupuk mata gadis itu.

"Kamu udah makan?" tanya Rida yang dijawab Zia dengan gelengan. "Ya, udah, makan, gih. Di dalam ada Danu."

Tanpa menunggu lama, Zia bergerak masuk ke dalam rumah. Sedangkan Rida masih berdiri di tempatnya dengan kepala yang menengadah ke atas langit agar bisa melihat taburan bintang. Matanya berfokus pada bintang paling terang di sana. Entah karena apa, ia merasa bahwa bintang itu adalah Azura, ibu kandung Zia. 

Rida tersenyum sekilas, sorotan tulus terpancar di sana. "Aku pasti jagain Zia, tapi—" Kalimatnya terputus saat teringat dengan pesan terakhir Azura.

"Sampai kapan aku harus tutupi rahasia ini?"

*****

Seorang gadis meringkuk kala kesedihan di dalam mimpi buruknya datang lagi. Hal yang paling disesali seumur hidupnya itu terulang dalam ingatan. Kejadian yang mengiris hatinya tanpa henti hingga saat ini. 

Saat terbangun, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menangis. Dadanya terasa sesak, tenggorokan terasa tercekat saat teringat akan setiap detik kejadian itu. Ia membenci dirinya, hidupnya, dan juga membenci Tuhan.

Jam digital di dalam kamar gelap itu sudah menunjukan pukul dua dini hari, tetapi matanya tidak juga kembali terpejam. Ia hanya ingin melupakan setiap kejadian itu. Namun, sayangnya kejadian itu terus terulang jelas dari awal hingga akhir bak sebuah film yang berputar tanpa diperintah. 

Tangisnya pecah malam itu juga. Gelap yang tadi menyelimuti tak juga membuatnya merasa tenang. Ia bangkit dari posisinya, mengambil kunci mobil, dan bergerak cepat keluar rumah. Ia tidak ingin berada di dalam sana karena benci dengan kesendirian.

Gadis itu ingin pergi ke mana pun asalkan tidak berada di rumah. Ia tak peduli dengan malam yang semakin larut, tak peduli dengan kesunyian jalan yang akan dilihat sebentar lagi. Ia hanya ingin lari dari kenyataan yang menyiksanya setiap saat.

Tidak hanya Zia, Ayumi bahkan memiliki masa lalu yang tak kalah kelam. Mobil milik gadis itu melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia tidak peduli dengan apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Karena yang ada dalam otaknya adalah mengakhiri hidup malam itu juga.

Ayumi sudah begitu tersiksa hanya dengan teringat akan kejadian itu. Namun, seketika ia mengurungkan niatnya saat melihat taman kota yang sepi. Ia memutuskan untuk berhenti di sana dan duduk meratapi kesedihan di tempat itu.

Dengan langkah berat, akhirnya Ayumi berjalan ke arah taman. Matanya sudah bengkak akibat air mata yang tak henti-henti mengalir.

"Kenapa hidup gue harus semenyedihkan ini?!" teriak Ayumi sambil menatap langit.

"Kenapa harus gue?"

Ayumi kini tak bisa menahan suaranya agar tidak terisak. Ia menangis sejadi-jadinya di tempat itu. "Ambil aja nyawa gue sekalian! Jangan siksa gue secara perlahan kayak gini!"

Tepat setelah mengatakan itu, langit di atas menggelegar. Tak lama kemudian, hujan lebat turun setelah petir menunjukkan dirinya.

Seseorang menghampiri Ayumi yang begitu rapuh malam ini. Ia membuka jaket kulit yang dipakai lalu memakaikannya ke tubuh Ayumi sebelum mengangkat tubuh rapuh itu perlahan. 

"Udah, kan, nangisnya? Ayo, kita pulang!" kata laki-laki itu.

*****

Hayoloh

Siapa laki-laki ituu??

Anyway makasih udah baca sampe sini❤️
Luv

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang