11 | Melepas harapan

2 2 0
                                    

"Bunda!" Zia berteriak saat memasuki rumah Danu tanpa permisi. Saat tiba di ruang tamu, ia menemukan Ayah Danu yang tengah menonton acara di televisi.

"Eh, Om Anton. Baru balik, Om?" tanyanya malu-malu.

Zia memang sudah biasa masuk ke rumah Danu tanpa permisi, tetapi tetap saja selalu merasa tidak enak melakukan itu jika Ayah Danu berada di rumah.

"Iya, baru aja tadi sore. Kamu cari Danu?" kata Anton setelah meneguk minumannya.

"Danu ada di kamar, tuh, lagi beres-beres." Rida menjawab saat tiba di sebelah Zia lalu duduk pada sofa yang ada di sana.

Gadis itu tersenyum. "Sebenarnya Zia mau ngobrol sama Bunda, tapi karena ada Om Anton ... enggak jadi, deh. Hehe!"

Dalam beberapa hari belakangan, Zia memang jarang mengobrol dengan Rida. Biasanya hanya wanita itulah yang mendengar segala cerita tidak penting yang selalu ia lontarkan. Entah itu tentang kejadian di sekolah, tentang konten, atau tenjang kejahilan sahabatnya.

Anton mengernyit. "Emang kenapa kalo ada Om?"

"Enggak apa-apa, sih, Om. Takutnya Zia malah ganggu waktu Om sama Bunda." Zia tersenyum. "Ya, udah, Zia ke kamar Danu dulu, ya."

Setelah mendapat angukkan, gadis itu berlari kecil menaiki tangga satu-persatu untuk menuju kamar Danu. Yang ada di pikirannya saat ini adalah mengganggu Danu. Ia tertawa kecil saat membayangkan wajah cowok itu yang akan kesal karenanya.

Zia membuka pintu kamar dengan gerakan cepat, berlari kecil, lalu menghempaskan tubuh di atas kasur dengan seprai yang rapi. Namun, seprai hitam itu menjadi berantakan begitu pun dengan guling yang ditarik hingga terbongkar dari susunannya.

Danu yang sedang merapikan rak buku langsung berdecak sebal. "Lo apa-apaan, sih?"

Zia tak menjawab. Ia justru memeluk erat guling dan memejamkan mata seolah-olah sudah tertidur pulas.

"Ck!" decak Danu lagi dan berusaha menahan kesal karena tahu jika gadis itu akan melanjutkan aksi yang lain demi membuat dirinya semakin kesal.

Zia sudah paham, Danu paling tidak suka diganggu jika sedang membereskan sesuatu. Namun, ia sangat senang membuat cowok itu kesal.

Lama tak mendengar suara Danu, mata Zia sedikit terbuka untuk melihat keberadaan sahabatnya itu. Melihat rencananya gagal, ia bangkit, membereskan tempat tidur seperti sedia kala, lalu beranjak menuju balkon. Saat tiba, ia dihadiahi lukisan Tuhan pada langit malam yang indah. Bintang sedang bersinar terang hampir di seluruh penjuru langit.

Mata Zia terus saja memperhatikan satu-persatu bintang di sana, hingga melihat salah satu bintang yang bergerak dari tempatnya. Ia tersenyum lebar saat mengingat ucapan mendiang sang ibu yang mengatakan jika ada bintang jatuh, mintalah sesuatu karena akan terkabul.

Zia memejamkan mata kemudian mengucapkan segala harapan yang ada di dalam hatinya.

"Takhayul!"

Zia menoleh ke samping saat mendengar suara Danu. "Nyoba, kan, enggak ada salahnya."

Zia beranjak dari tempatnya berdiri, duduk di atas lantai, dan kembali menatap langit. Danu tak tinggal diam, ia turut duduk di sebelah gadis itu.

"Lo percaya sama yang begituan?" tanya Danu setelah ikut duduk.
Zia mengangkat bahu. "Zia tahu kalo itu cuma cerita buat anak-anak, tapi enggak tahu kenapa Zia bener-bener berharap Tuhan bisa mengabulkan doa di saat bintang jatuh."

Danu tertawa kecil lalu menelentangkan tubuh dan menjadikan tangan sebagai penyangga kepala. "Minta apa?"

Alis Zia tertaut. "Maksudnya?"

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang