22 | Mengingat Luka

2 2 0
                                    

"Zi, lo dimana? Nggak ikut syuting?" Suara Danu terdengar dari balik telepon genggam.

Zia baru ingat hari ini harusnya mereka syuting untuk konten baru mereka setelah beberapa hari libur. Ia bimbang harus ikut syuting atau belajar untuk ujian ulang.

Setelah memutuskan ia menjawab, "Enggak, deh, Zia mau belajar. Pusing kalo udah ujian ulang disuruh ujian ulang lagi."

"Hah? Gimana?"

Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal bingung dengan kalimatnya sendiri. "Pokoknya Zia mau belajar aja."

"Yaudah, deh. Sorry, ya, gue nggak bisa ngajarin lo."

"Hem, santai aja. Zia pinter kok," Jawabnya sambil mengunyah nugget yang sudah digoreng pegawai kafe tantenya.

"Pinter tapi ujian ulang," ejek Danu.

Kanzia merengut. "Udah, ah! Zia mau belajar, ganggu aja! " kata Zia langsung menutup panggilan ponsel tanpa menunggu jawaban Danu.

Ia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian kembali berkutat pada buku yang bertumpuk di depannya. Dengan seragam yang masih menempel, gadis itu memutuskan di kafe milik sang tante. Ia mulai membaca satu per satu soal latihan pada buku, lalu mulai menyelesaikan soal tersebut.

Setelah beberapa jam, satu per satu, soal berhasil ia selesaikanselesaikan.  Merasa bosan ia memilih membuka aplikasi Instagram dan membuka fitur live.

Beberapa detik kemudian penontonnya kian bertambah.

@Debbyluv
Hallo kak

@Geazmr
Cantik bgttt❤❤

Zia membaca satu per satu komentar sambil menyapa  para penggemar dengar ramah, karena ketenaran bukanlah sebuah hal yang harus disombongkan.

Beberapa komentar positif menambah rasa bahagia dan semangat untuk membuat konten.

Namun ada beberapa komentar yang membuat senyumnya memudar. Komentar negatif dari beberapa penggemar Ayumi yang sibuk membandingkan dirinya dan gadis cantik itu.

Tidak hanya itu, beberapa orang juga sibuk meledek dirinya semakin gendut. Namun, dari banyaknya komentar negatif masih banyak juga yang memberinya semangat.

"Hai!" Sapa seseorang yang sekarang duduk di sebelahnya.

Zia sontak menatap cowok itu. Kemudian tersenyum. "Kak Juna. "

"Lagi sibuk?"

Zia menggeleng. "Cuma belajar buat ujian ulang."

Juna mengangguk paham. "Mau gue ajarin, nggak?"

Sejak Juna datang, Zia melupakan satu hal, ia belum meakhiri siaran langsungnya. "Bentar, ya, Kak." Gadis ini menyapa  penonton terlebih dahulu sebelum mengakhiri siaran langsungnya.

"Mau gue ajarin?" Alis Juna terangkat sebelah sambil mengulang pertanyaan. Suara lembut dan mata teduhnya membuat Zia terdiam sebentar. Sesuatu yang hangat menjalar di hatinya. Cepat-cepat ia menepis rasa hangat tersebut.

"Zia udah selesai, kok," ucapnya yang diakhiri dengan cengiran.

"Kalau gitu, temenin gue, yuk! "

"Kemana?"

"Kerumah."

"Hah? " Zia bingung, kenapa Juna minta ditemanin ke rumahnya sendiri.

"Mama gue ulang tahun, temenin gue buat ngasi surprise," jelas Juna.

Zia terlihat senang dengan mata berbinar. "Ayo!" Dengan semangat, ia langsung berdiri dan mengaitkan tangannya ke lengan Juna agar cowok itu berdiri. "Kita beli kue dulu kali, ya, " ucap Zia penuh semangat.

Kalau soal ibu, Zia akan dengan senang hati membantu.

Arjuna terkekeh pelan melihat tinggal gadis yang selama ini sedikit kamu saat bersamanya. Kemudian mereka bergerak meninggalkan kafe itu.

*****


Rida membuka lemari perlahan, kemudian mengambil sebuah benda yang disimpan sendirian sejak sembilan tahun silam. Hari ini, ia memutuskan untuk mengatakannya pada seorang gadis. Ia sudah lelah menyimpan semua rahasia ini sendirian. Namun, sebelum melakukan hal itu, ia harus membicarakannya kepada sang suami.

"Pa!" Ia keluar dari kamar dan menemui sang suami yang sedang duduk di sofa. "Aku mau bilang ini ke Zia," katanya saat Anton menoleh.

Anton mengernyit, kemudian menghela napas panjang. "Sabar, Ma. Kamu ingat, kan, apa pesan Azura?"

Rida duduk di sebelah Anton. "Tapi, Pa ..., aku enggak bisa biarin Zia hidup tanpa orang tua kayak gini."

Anton menggeleng tidak setuju. "Enggak. Aku tetap enggak setuju. Ini amanah, Ma. Belum waktunya untuk Zia tahu."

Rida terdiam. Memang benar apa yang dikatakan sang suami, tetapi ia benar-benar kasihan dengan Zia yang terus sedih tatkala mengingat lukanya. Ia hanya ingin Zia tinggal bersama sang ayah dengan rasa aman tanpa harus ketakutan.

"Kamu harus sabar, seminggu lagi umur Zia tepat enam belas tahun."

*****

"Makasih, ya, Kak," kata Zia sebelum keluar dari mobil.

"Gue yang makasih udah dibantuin, " Balas Juna.

"Sama-sama," balas Zia yang diiringi tawa.

"Hati-hati."

Setelah membalas ucapan Juna dengan anggukan, Zia membuka pintu mobil dan keluar. Mereka tidak pergi ke mana-mana selain berkunjung ke rumah cowok itu. Ternyata banyak hal yang belum diketahuinya tentang  Arjuna, seperti dia yang memiliki seorang adik hingga dia yang menyukai kucing.

Keluarga mereka begitu hangat, sehangat keluarga Zia sebelum sang ayah suka bermain judi dan mabuk-mabukan. Meskipun tak lagi memiliki keluarga yang utuh, tetapi ia disayang layaknya seorang anak oleh orang tua sahabatnya.

Gadis itu berjalan santai dengan senyum yang juga belum reda sejak keluar dari mobil Arjuna. Namun, begitu melihat sebuah benda, lengkungan itu sirna seketika. Ini bukan pertama kalinya ia menemukan sebuah surat di depan pintu rumah. Saat baru pulang dari rumah sakit dan saat para sahabatnya bolos ke sana, awalnya ia mengira jika surat itu dibuat oleh Devan atau Davin yang memang sangat jahil. Namun, sepertinya bukan mereka sebab sudah beberapa kali terjadi.

Ia membungkuk demi mengambil surat itu lalu memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang setelah membaca isi surat. Ia kembali teringat akan sosok ibu yang telah tiada.

KAMU AKAN MATI SEPERTI IBU!!!

Ia menarik napas berkali-kali demi menahan air mata agar tidak tumpah. Sepertinya ia harus mencari tahu siapa pengirim surat-surat misterius tersebut sebelum menyangkut para sahabatnya. Ia berlari ke kamar dan membaca semua surat yang belum sempat ia baca.

AYAH MEMUKUL IBU DENGAN KAYU.
AYAH MELEMPAR IBU DENGAN BATU.
AYAH MENENDANG IBU SAMPAI PINGSAN.

Lagi, ia harus menahan tangis demi mencari jejak pada surat-surat itu. Ia kembali menghela napas panjang kemudian bergerak untuk membuka surat yang terakhir.

AYAH UDAH BUNUH IBU!

Tak ada petunjuk. Surat-surat itu hanya tertuju pada kisah masa lalu yang membuat dadanya kembali sesak. Bertahun-tahun ia berusaha menjalani hidup dengan tegar seorang diri agar dapat melupakan setiap kejadian itu. Kejadian di mana sang ayah menyiksa mendiang ibu hingga meregang nyawa.
Zia menyerah. Sekuat apa pun ia menahan air mata agar tidak tumpah, dirinya tidak akan bertahan. Ia merosot duduk di atas lantai sambil terisak dan menunduk. Surat-surat yang tadi ia pegang kini berserakan.

Tidak ada yang mengetahui penyebab kematian ibunya selain dirinya dan orang yang telah membunuh. Satu-satunya orang yang diyakini sebagai sang pengirim surat adalah ayahnya yang baru saja keluar dari penjara.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang