4 | Saat Gelap Datang

13 2 0
                                    


Yang pertama kali menyambut Zia saat tiba di gerbang sekolah adalah wangi petrichor yang menyeruak dari tanah akibat hujan semalam, juga sisa-sisa embun pada daun di ranting pohon. Langit belum cerah sempurna saat tiba di sekolah.

Bukan tanpa alasan Zia ingin berangkat lebih cepat dari biasanya, sebab saat selesai salat subuh, ia teringat akan tugasnya yang belum dikerjakan. Dan sialnya lagi, gadis itu baru ingat jika buku fisikanya tertinggal di dalam laci meja. Alhasil, ia harus menyia-nyiakan waktu setelah salat subuh untuk tidur sebentar.

Zia bernapas lega setelah menemukan bukunya. Kemudian dengan cepat ia mengerjakan soal-soal yang ada di sana.

"Duh! Bego banget sih, Zia." Ia menepuk dahinya saat sadar telah memilih tidur di pojok kelas saat Pak Dedi memberi materi. "Ini buku kenapa lagi pake ketinggalan segala? Kan, jadinya Zia enggak bisa nyontek punya Danu."

Tak ada pilihan, Zia menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja. Tak lama kemudian, saat dirinya baru saja ingin terpejam, sebuah buku menghantam kepalanya pelan. Karena kesal, ia mendongak cepat untuk melihat sang pelaku.

"Udah, cepat selesain!" kata Danu saat kepala Zia baru saja terangkat.

Danu memang selalu menjadi malaikat bagi Zia. Gadis itu tersenyum lebar, lalu memeluk tubuh Danu dari samping sambil berujar, "Makasih! Danu selalu baik sama Zia, hehe! Jadi sayang, deh."

Mendengar kalimat terakhir Zia, Danu tersenyum. Nyatanya, rasa sayang itu tidak akan bisa mengubah pemikiran Zia untuk menerima Danu bukan hanya sekadar sahabat, tetapi pacar.

Zia memberhentikan kegiatan menyonteknya saat sadar akan satu hal. "Kok, Danu tahu kalau Zia udah ada di sekolah? Bukannya Zia belum ngabarin, ya?"

"Gue tadi memang pengin datang cepat buat ngajak lo sarapan di warung Bu Asih, tapi pas gue jemput, lo malah udah pergi," jelas Danu, dengan mata yang masih menatap ponsel.

Gadis itu melirik bungkusan di tangan Danu. "Terus sarapan itu buat Zia?"
Belum sempat Danu mengangguk, Zia sudah merampas bungkusan itu dari tangan Danu.

"Lo laper?" tanya Danu yang dibalas anggukan cepat oleh Zia. Danu menarik dua buku yang ada di hadapan Zia. "Makan dulu, biar ini gue yang nulis."

****

Setelah beberapa menit bel istirahat berbunyi, 3DZia segera melangkah ke kantin, tetapi sayangnya tempat itu sudah penuh. Hanya ada satu meja tersisa, yaitu meja yang diduduki oleh murid yang baru masuk di kelas mereka kemarin.

Dengan cepat, Zia menggandeng tangan Danu dan tangan sebelahnya lagi menggandeng tangan Devan serta Davin sekaligus. Tanpa meminta izin terlebih dahulu dengan orang yang sudah lebih dulu duduk di sana, ia langsung mengisyaratkan ketiganya untuk ikut duduk.

"Kita gabung di sini, ya." Davin yang tidak enak akhirnya bersuara.

"Ngapain harus izin, sih? Emang meja ini punya dia? Kan, ini tempat umum," bisik Zia ke telinga Davin.

Ayumi tersenyum. "Iya, enggak perlu izin, kok. Ini tempat umum," katanya yang tadi sempat mendengar bisikan Zia.

"Maaf, ya, Zia ngomongnya emang gitu." Danu tersenyum sebentar.

Ayumi mengangguk. "He-he! Iya, nggak papa. Santai aja!"

"Iya, cewek ini emang rada sinting. Gue juga enggak tahu dia manusia jenis apa." Devan tertawa di akhir kalimatnya.

"Sorry, Zia bidadari," kata Zia yang dipenuhi dengan kepercayaan diri.
Zia memang memiliki tingkat kepercayaan diri di luar batas manusia normal. Anehnya, hal itu yang membuat ketiga temannya betah.

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang