24 | Bad Day!

3 2 0
                                    


Zia meringis tatkala merasa nyeri pada bagian kaki karena harus berjalan cukup jauh. Pagi ini, ia harus dibuat kesal oleh Danu yang berangkat tanpa menjemputnya terlebih dahulu. Bahkan panggilan teleponnya tidak diangkat.

Meskipun Danu baik, tetapi cowok itu tak kalah menyebalkan dari si kembar. Ia sempat berangkat menggunakan angkutan umum, tetapi harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sebab mobil itu mendadak mogok. Saat tiba di kelas, ia melempar tas lalu duduk di sebelah Dina dengan bibir yang ditekuk.

"Kenapa, sih, masih pagi-pagi udah merengut aja?" komentar cewek yang bernama lengkap Andina Surya itu.

Zia mendengus kesal. "Kesiangan."

"Kenapa lo enggak datang sama Danu? Marahan lagi, ya?"

Mendengar nama Danu, mata Zia melebar kemudian mengedarkan pandangan. Namun, saat tak dapat melihat keberadaan mereka, ia kembali menoleh ke arah Dina. "Lah, Danu sama Devan ke mana?"

"Keluar tadi. Emang kenapa, sih?"

Zia berdiri kemudian mendatangi satu-satunya sahabat yang masih berada di kelas. Namun, sama seperti hari-hari biasa, cowok itu akan tidur di kelas sebelum bel masuk berbunyi.

"Davin kenapa, sih, enggak ngangkat telepon Zia?" Karena Davin tak mendengar suaranya, gadis itu menggerak-gerakkan tubuh Davin agar terbangun. "Danu juga ngapain tinggalin Zia segala? Capek tahu jalan kaki!"

Davin mengangkat kepala kemudian berdecak kesal. Karena sedang malas menanggapi ocehan Zia pagi ini, ia kembali menenggelamkan kepala dan berharap Zia tidak lagi mengoceh dan membiarkannya tidur dalam waktu yang singkat.

"Ish, Davin! Dav, dengerin Zia dulu!" Zia tak berhenti menggerak-gerakkan tubuh Davin. "Bangun, ih! Davin, bangun! Davin! Davin! Davin!"

"Berisik tahu, enggak?! Ngeselin banget, sih, jadi orang!" bentak Davin tatkala menegakkan tubuh. Ia menatap Zia dengan tajam. "Pergi sana!"

Gadis itu terpaku sembari menatap Davin dengan nanar. Setelah sebelas tahun menjalani persahabatan, tadi adalah kali pertama Davin membentaknya dengan nada tinggi. Nyatanya, satu-persatu sahabat yang disayangi memang akan berubah dan meninggalkannya sendirian. Ia berjalan mundur hingga kembali duduk di bangku semula. Pandangan dan pikirannya masih kosong, sebab masih tertuju pada kalimat yang diucapkan cowok itu.

"Eh, Zi! Lo tahu, enggak ... kalo si Agnes ketahuan pergi ke klub malam pake baju sekolah sama Bu Asri?" Zia melirik Dina dengan tajam. "Serius gue, Zi! Berita itu lagi heboh di SMA Surya Aksara."

Bukan Dina namanya jika tidak punya bahan obrolan setiap hari. Mulai dari berita menggemparkan hingga hal-hal kecil yang terjadi di sekolah, pasti ia dapatkan. Tidak heran mengapa ia diberi julukan ratu gosip.

"Kenapa Dina ikut-ikutan ngeselin, sih?" kesal Zia kemudian keluar dari kelas.

Alis Dina bertaut bingung. "Lah? Kok gue?"

*****

Devan:

Balik ke kelas
atau gue gak mau temenan
sama lo lagi.

Zia memutar bola mata dengan malas. Ia memang bisa memaafkan perkataan Davin beberapa jam lalu, tetapi ia juga butuh menenangkan diri agar tidak mengingat ucapan itu lagi. Ia tak ingin memiliki dendam pada seseorang yang telah menemaninya selama sebelas tahun. Maka dari itu, ia memutuskan duduk di bawah pohon rindang dengan sebuah buku yang akan digunakan untuk menciptakan satu karya seni berupa lirik lagu.

Satu hal yang tidak diketahui oleh para sahabatnya adalah Zia sangat hobi membuat lirik lagu dan menyanyikannya sendirian. Mereka memang tahu jika dirinya suka bernyanyi. Namun, setiap kali mendengar, mereka berkata bahwa suaranya sangatlah buruk.

Ditemani angin yang menelusuk di sela-sela rambutnya, ia mulai menuliskan setiap kata yang terlintas dalam pikiran. Ia adalah tipe orang yang akan menuliskan setiap kata terlebih dahulu, sebelum disusun menjadi sebuah kalimat yang akan menjadi sebuah lagu.

Untuk hati yang kian menahan luka.
Untuk hati yang tak kunjung jera.
Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini....

"Kanzia!"

Tangan gadis itu berhenti bergerak saat mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Ia menoleh dan terbelalak tatkala melihat Bu Asri berdiri sambil bersedekap.

"Kenapa kamu di sini?" kata guru berkacamata itu.

Sebelum menjawab, Zia lebih dulu menampilkan deretan giginya. "Karena enggak di kelas, Bu."

"Berdiri!" Karena bel istirahat berbunyi, Zia memutuskan bangkit agar bisa kabur dari guru BK yang satu itu. "Eh, mau ke mana kamu?"

"Istirahat, Bu."

"Kamu enggak boleh istirahat!" Wanita itu menarik tangan Zia dan menggiringnya menuju perpustakaan.

Kanzia berdecak sebal karena sudah tahu hukuman apa yang akan didapatkan. Saat Bu Asri ingin mengeluarkan suara, ia sudah lebih dulu memotong. "Susun buku sesuai sama lemarinya dan jangan sampai ada buku biologi yang terselip di buku sejarah. Zia udah hapal, Bu."

"Enggak cuma itu...." Langkah Zia seketika terhenti. "Sapu dan pel ruangan ini setelah bel masuk!"

"Ya, kok, ditambah, sih, Bu?"
Bu Asri tak menjawab, ia justru pergi dari perpustakaan untuk membiarkan Zia membersihkan perpustakaan dengan leluasa.

Zia sadar jika dirinya memang salah karena sudah bolos pelajaran, tetapi bukan berarti ia harus dihukum. Dengan bibir yang ditekuk sebal, ia mulai menyusun satu-persatu buku yang tidak sesuai pada tempatnya. Tak hanya tangan yang bergerak, mulut gadis itu juga ikut mengoceh dan terus menyalahkan Bu Asri. Rasanya sangat tak adil jika harus menjalani hukuman. Padahal ia bolos karena ingin menuangkan segala keresahan yang dirasakan dalam sebuah lagu, bukan menikmati makanan di kantin.

"Nih ..., minum dulu!" kata seseorang sembari menyodorkan minuman kepada Zia.

Tak perlu menoleh untuk tahu siapa orang yang telah memberi minuman itu. Karena cowok itu selalu ada di saat Zia membutuhkan bantuan. Ia mengambil es tersebut, kemudian menyeruputnya dengan senang hati.

"Makasih, ya, Da—" Ia terdiam beberapa detik karena terkejut saat menoleh. "Loh, Kak Juna?"

Juna menarik tubuh Zia agar duduk di salah satu meja. "Sini, duduk dulu!"

"Ada apa, sih, Kak? Zia belum selesai beres-beres."

"Nanti gue bantuin." Juna mengeluarkan sebuah kotak. "Nih!"

Bukannya senang saat menerima sebuah hadiah, gadis itu justru bingung. "Ini apa?"

"Buka dulu!"

Gadis itu menurut. Ia mulai membuka kotak itu dengan pelan karena takut jika benda yang ada di dalam kotak itu adalah cicak mainan seperti yang diberikan Devan beberapa waktu lalu.

"Happy Birthday, Kanzia Razita!" kata Juna tepat setelah kotak itu terbuka sepenuhnya.

Kening Zia mengerut. "Emangnya Zia ulang tahun?"

Juna mengeluarkan ponsel lalu menunjukkan tanggal yang tertera. "Dua puluh empat Oktober ulang tahun lo, kan?"

Gadis itu tersenyum lebar lalu mengangguk cepat. "Iya, ya ..., Zia ulang tahun ternyata."

Zia melirik isi kotak tersebut. Kotak itu berisi banyak gelang yang terbuat dari tali. Yang ia tahu, gelang-gelang seperti itu tidak ada yang menjual. Itu artinya, Juna yang membuat gelang itu sendiri.

"Kak Juna bikin sendiri?" Juna mengangguk. "Aaaa! Makasih, Kak!"

Gelang dan kerajinan tangan adalah dua hal yang sangat Zia suka. Kado dari Juna adalah kado paling istimewa yang ia dapatkan di tahun ini.

"Kok, enggak dipake?"

"Wait!" balas Zia singkat kemudian mengeluarkan ponsel dari saku dan memotret gelang tersebut sebelum memakainya.

*****

3DZia : Rasa (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang