Pukul 02:00 dini hari, gelap malam yang pekat memayungi langkah gontai cowok itu. Angin malam pun berembus menusuk pori-pori kulit Danu yang memilih berada di tempat ini setelah tidak kuat mendengar pernyataan perihal keadaan gadis itu.
Di sini, di sebuah lapangan yang tidak jauh dari rumah sakit berada, ia berlari kencang menggiring bola ke gawang, berteriak sekuat yang ia mampu. Berusaha membunuh setiap sesak yang sejak beberapa jam lalu menyelimuti.
Apa pun ia lakukan demi menghilangkan segala pikiran buruknya. Tidak peduli dengan kaki yang mulai lelah, pun dengan cairan merah yang membekas pada kulit telapak kakinya akibat lapangan yang hanya berlapis tanah. Rasa nyeri itu tidak sebanding dengan sesak yang ia terima sejak gadis yang ia cintai harus dirawat di rumah sakit.
Danu tak peduli itu. Yang ia ingin adalah melupakan segala ketakutannya dan berusaha tidak membenarkan apa pun perkataan dokter tadi. Penggumpalan darah yang terjadi pada otak Zia membuat dokter memprediksi bahwa umur gadis itu tidak akan lama.
Jika ia menemukan sebuah lampu ajaib yang akan mengabulkan tiga permintaan, tiga permintaan itu hanya bertuju pada kesembuhan Zia. Hanya itu.
Seolah ingin meledak, ia menendang bola sekuat yang ia bisa hingga benda itu masuk tepat pada gawang yang berjarak cukup jauh dari tempatnya berdiri. Lelah dengan dirinya sendiri, Danu merosot ke atas tanah. Membiarkan bola itu tetap berada di dalam gawang tanpa berniat ia ambil dan memainkannya lagi. Ia sudah lelah, segala peristiwa yang ia terima sudah cukup memporak-porandakan hatinya.
Ia tahu, Tuhan adalah sebaik-baiknya perencana. Apa pun yang akan terjadi, itu adalah yang terbaik untuk mereka semua. Namun, mengapa segalanya begitu sulit ia terima? Ia seolah diminta menelan beribu gumpalan pahit tanpa bisa menolak.
Tangisnya pecah pada lapangan itu. Ia terisak, membiarkan air matanya mengalir tanpa berniat ia bendung. Sesak yang kian menyelimutinya seolah membiarkannya pada posisi itu.
Malam ini, untuk pertama kalinya Danu menangis untuk gadis yang ia cintai.
*****
Setelah melihat tanda-tanda matahari terbit, cowok itu kembali ke rumah sakit. Langkahnya pelan, dari beberapa meter, ia menatap pintu ruangan itu dengan nanar. Sesak lagi-lagi menghampiri meskipun sudah berusaha ia bunuh berkali-kali.
Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Ternyata, seperti ini rasanya berusaha terlihat baik-baik saja seperti yang selama ini Zia lakukan; tidak ada bedanya dengan membunuh diri sendiri.
Ia menjatuhkan tubuhnya di atas deretan bangku di tempat itu. Berusaha mengumpulkan keberanian untuk bertemu dengan gadis yang dokter prediksikan umurnya tidak lebih dari satu bulan. Juga, berusaha mengubah mimik wajah dan nada bicara yang baik-baik saja.
"Danu!"
Suara Devan membuatnya menoleh. Ia berjalan dengan langkah lebar kemudian duduk di sebelah cowok itu. Begitupun dengan kembarannya yang berjalan di belakang.
"Lo dari mana aja?" tanya Davin. Dari yang ia lihat, Danu lebih kacau dari hari-hari sebelumnya. Baju yang menyisakan noda bekas tanah, ditambah dengan wajah sepucat bulan setelah turun hujan.
"Gue gagal."
Hanya itu yang keluar dari mulut Danu dengan kepala yang masih menunduk. Keduanya saling tatap pasrah. Jika Danu bisa sekacau itu, bagaimana mungkin mereka tidak ikut merasakan hal yang sama ketika melihat hasil rontgen yang mereka terima tadi malam?
Mereka juga merasakan sesak bergumul di dada. Namun, mereka lebih cepat bisa menerima kenyataan yang ada daripada Danu. Mereka lebih bisa meyakini bahwa hal tersebut memang sudah menjadi pilihan Tuhan yang paling baik.
"Bukan cuma lo. Kita semua gagal ngelindungi Zia," kata Davin.
"Kita sama-sama nggak bisa terima kenyataan. Sama-sama nyalahin diri sendiri kenapa nggak bisa nyelamatin Zia waktu itu." Devan menyingkirkan kesedihan yang keluar dari nada bicaranya, "tapi, satu hal yang harus sama-sama kita lakuin."
Perkataan Devan membuat Danu menoleh.
"Buat Zia lebih bahagia dari biasanya sampe lupa sama segala luka yang pernah dia terima."
Ia berusaha membuat sahabat dan adiknya mengerti. Mereka memang tidak bisa menolak takdir, tetapi itu bukan berarti mereka harus larut dalam kesedihan yang ada. Bukan berarti mereka harus ikut jatuh di dasar jurang pahit menyakitkan.
Tidak. Jika Zia bisa menutupi kesedihan demi sebuah tawa untuk mereka, kenapa mereka tidak bisa melakukan itu demi membuat Zia bahagia?
"Bisa?" Satu alis Devan naikkan untuk meyakinkan dua orang itu.
Davin mengangguk, sedangkan Danu butuh waktu banyak untuk menyetujui permintaan itu sampai akhirnya ia mengangguk pelan.*****
Danu duduk berhadapan dengan Ayumi di sebuah sel tahanan. Setelah Abas dan Rani menindaklanjuti kasus yang terjadi pada keponakannya, gadis itu harus berakhir di sini, begitu juga yang terjadi pada sang abang; Juna.
Beberapa menit berlalu tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibir mereka. Dengan beberapa lembar bukti kenyataan, Danu menatap gadis itu intens sedangkan Ayumi menatap ke arah lain, tak peduli.
"Gue terlalu bego untuk nggak sadar sama niat terselubung lo," ujar Danu. "Nggak nyangka gue, cewek sebaik lo bakal ngelakuin hal sekeji itu."
Ayumi tertawa sinis tanpa mengalihkan pandangannya. "Bertahun-tahun gue hidup dalam keputusasaan, bertahun-tahun juga gue terpuruk semenjak kejadian itu. Berkali-kali gue pergi dari rumah." Air mata terkumpul pada pelupuk matanya. "Berulang kali percobaan bunuh diri gue lakuin."
Danu tidak mengatakan apa pun, membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya meskipun terbata. Dari sorot matanya terlihat jelas sebuah kesedihan yang mendalam. "Gue hancur gara-gara bokapnya...."
"Itu bukan berarti lo pantas ngelakuin itu ke Zia!" bentak Danu, "apa lo tahu gimana keadaan Zia sekarang? Dia lumpuh!"
Ayumi menoleh, kesedihan yang tadi berkumpul sekarang berganti dengan tatapan kebencian yang mendalam. "Dia luka secara fisik, dan gue hancur secara mental. Setimpal, kan?" katanya tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Rahang Danu mengeras, di dalam dadanya bergemuruh kemarahan yang begitu dalam. Cowok itu benar-benar tidak percaya dengan gadis yang ia kira baik-baik justru bisa berubah menjadi monster menakutkan.
Takut dengan kemarahannya yang akan meledak, Danu memberikan lembaran yang tadi ia pegang ke depan Ayumi. Kenyataan yang mungkin saja membuat gadis ini menyesali segala perbuatannya.
Mata Ayumi bergerak membaca setiap kata yang tertera. Keningnya mengernyit, bingung menghampiri. Dengan rasa penasaran, kepalanya mendongak meminta penjelasan pada cowok itu."Zia adik lo," katanya menjeda, "lo sama Zia sedarah. Satu ayah." Setelah mengatakan itu, Danu mengangkat tubuhnya ingin pergi.
Ayumi tersaruk di tempatnya, matanya memerah menandakan sebentar lagi akan mengalir deras air mata. Namun, kalimat Danu yang selanjutnya membuat dunia seakan runtuh di atas kepalanya bersamaan dengan rasa bersalah yang menghantamnya berkali-kali.
"Penggumpalan darah di otak. Dokter bilang, umur Zia nggak akan lebih dari satu bulan."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
3DZia : Rasa (Sudah Terbit)
Teen Fiction"Kata orang, tertawa yang membuat kita bahagia, tetapi kenapa justru luka yang hadir setelahnya?" Content creator dengan nama 3DZia team adalah milik empat manusia absurd bernama Danu, Devan, Davin, dan Zia. Karena sangat akrab, mereka memutuskan un...