Belum sempat Shiroichi merespons atau pun mendengarkan dengan baik ucapan si kepala pelayan.
Dalam hitungan detik, muncul seseorang di belakang lelaki tua itu. Seorang lelaki kisaran empat puluhan tahun. Orang dengan postur bugar, yang selama ini berjasa melatih kemampuan Shiroichi bermain yakyuu. Sekaligus orang yang hendak menghantarkan dirinya pada impian terbesarnya.
Seorang lelaki yang sangat ia hormati selain kepala pelayan di rumahnya.
"Sensei ...." Shiroichi bangkit setelah hampir dua jam lamanya hanya terduduk di kursi. Ia sedikit menunduk untuk memberi salam. Dalam posisi yang masih menunduk ini, sekarang, entah mengapa retinanya begitu perih. Genangan air mengumpul pada kelopak matanya yang kini terasa begitu berat.
Shiroichi terus menunduk untuk beberapa saat. Matanya mengerjap beberapa kali agar buliran bening ini menyerap masuk ke dalam netranya saja. Namun, karena tak mempan juga, akhirnya dikatupakannya kelopak mata dengan erat.
Sang pelatih mengusap punggung Shiroichi dengan lembut, merasa bahwa putra tunggal di hadapannya ini begitu terpukul. Berusaha ia berikan ketenangan namun justru air yang sudah susah-payah ditahan segera menganak-sungai dari sudut mata Shiroichi.
"Tidak apa-apa, Nak. Luapkan saja semuanya. Menangislah sampai hatimu lapang kembali," kata sang pelatih sambil terus mengusap punggung Shiroichi, berharap kehangatan dapat terhantar dari sana. "Pasti sangat berat kehilangan sosok ayah yang hebat dan baik seperti Takasugi Jinjo-san. Aku lihat, banyak sekali yang menangisi kepergian beliau di sini. Pasti beliau sudah terlalu banyak menorehkan kenangan indah bersama kalian."
Kemudian dengan suara yang lebih rendah lagi dan penuh dengan rasa keprihatinan, sang pelatih menunjukkan belasungkawanya. "Aku turut merasakan kesedihan kalian. Turut berduka cita meskipun tak begitu menganal ayahmu. Semoga kau selalu diberi ketabahan, ya, Shiro-kun. Kau bisa datang kapan saja padaku jika kau mau, sebagai pengganti ayahmu."
Likuid dalam kelenjar netra Shiroichi menguap. Aliran air dari matanya terhenti.
Tidak. Ia menangis bukan karena ketiadaan ayahnya. Tidak ada sama sekali perasaannya yang terwakili di ucapan sang pelatih. Ia memang cukup dekat dengan lelaki itu, tapi belum pernah menceritakan permasalahan hubungannya dengan sang ayah. Dan ... ia merasa ucapan tadi mengambang bagai angin. Tidak ada ketulusan di sana. Atau hanya perasaannya saja?
Shiroichi mengelap likuid yang masih tersisa di pelupuk mata serta filtrumnya. Ia ambil napas panjang lalu diembuskan dengan kasar, sembari mengangkat tubuhnya perlahan hingga tegap sempurna.
"Terima kasih sudah memberikan simpati pada saya," ucap Shiroichi, sudut bibirnya terlekuk samar. Di hadapan sang pelatih, sebetulnya ada satu hal yang sangat ingin ia utarakan. Hal ini sangat berkaitan dengan meninggalnya sang ayah. Bahkan lebih ia pikirkan semalaman ketimbang ketiadaan ayahnya sendiri. Sesuatu yang terasa lebih penting, karena sangat menyangkut dengan kelanjutan karir serta masa depannya.
Kemudian dehaman kecil dari Shiroichi memberi tanda untuk berganti topik ke pembicaraan mengenai masalah tersebut. "Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini, tapi ...." Shiroichi agak ragu mengucapkan secara langsung. Meski begitu, ia juga penasaran bagaimana reaksi pelatih ini setelahnya. Ia basahi sudut bibir sebelum melanjutkan, "Begini, Sensei, untuk kedepannya saya akan sangat sibuk dengan pemindahtanganan perusahaan dan segala yang berkaitan dengannya. Mungkin, saya tidak akan pernah sempat lagi berlatih yakyuu. Jadi ... jadi ...," Shiroichi meneguk saliva. Sulit sekali melanjutkan kalimat ini. Jelas ia sangat tidak rela, "aku tidak bisa ikut bertanding. Aku mengundurkan diri dari tim."
Ia membuang napas banyak-banyak setelah mengatakan itu. Segala mimpi turut menguap bersamaan dengan karbondioksida yang keluar dari rongga pernapasannya. Udara yang dibuang terlalu banyak. Dadanya jadi sesak sekali.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti dan memakluminya." Sang pelatih menepuk pelan pundak Shiroichi, sementara pupil pemuda ini bergetar.
Semudah itu? Semudah itu pelatihnya merelakannya? Padahal Shiroichi berharap paling tidak, ada sedikit raut keprihatinan serta kalimat yang menyayangkan ketidakmampuan dirinya bermain bisbol lagi.
"Kira-kira siapa yang akan menggantikan posisi saya sebagai pitcher utama?" Shiroichi berusaha menahan kekecewaannya. Semoga tidak terlihat jelas.
Lalu seolah menjawab pertanyaan itu, seorang pemuda muncul dari balik dinding pemisah antara teras dengan ruang utama. Langkahnya mendekat dan suara pantofelnya seakan menggema di telinga Shiroichi. Senyumnya masih terpatri, tetapi bukan jenis senyuman yang biasa diperlihatkan sehari-hari. Tersirat sedikit rasa sedih dan prihatin dari senyuman itu serta sorot matanya.
"Kono tabi wa goshusou sama desu," [Aku turut berduka cita,] ucapnya sambil sedikit membungkuk, dengan seluruh simpati yang terlihat dari wajah tirus itu.
Setelah menegakkan tubuh, ia melangkah lebih dekat lagi, lantas mendekap erat sahabatnya. Ia mengucapkan beberapa kalimat demi menguatkan dan menenangkan hati sahabatnya ini.
"Takeuchi-kun yang akan menggantikanmu sebagai pitcher utama," jawab sang pelatih setelah tertunda dengan kehadiran sosok yang dimaksud.
Takeuchi melepaskan pelukannya. Ia melihat sorot yang tak bisa dijelaskan dari netra sahabatnya itu. Sorot dari mata yang masih sembab.
"Maaf ... Shiro. Aku terpaksa menerima tawaran untuk menggantikanmu karena tahu kau tidak bisa melanjutkan pertandingan ini."
Shiroichi mendecak dalam hati. Padahal ia baru saja mengundurkan diri. Tetapi tahu-tahu sudah ada penggantinya begini. Jangan-jangan mereka sudah merencakanannya dari jauh-jauh hari. Kalau begitu, apa menandakan bahwa dirinya tidak diinginkan dalam tim? Namun, saat ia bermain yakyuu, semua orang bersorak untuknya. Seolah-olah ia sangat dicintai. Seolah-olah ia adalah pemain yang paling diinginkan.
Kemudian ingatannya berputar pada halusinasi yang terjadi tadi malam, sesaat sebelum ayahnya mengembuskan napas terakhir. Jangan-jangan, ejekan seperti itu yang sebenarnya selama ini ia dapatkan. Jangan-jangan, dukungan yang diberikan untuknya semuanya topeng belaka.
Kepala Shiroichi mendadak pening. Ia merasa dikhianati dari segala penjuru. Baik dulu maupun sekarang, saat masih kecil ataupun sudah sebesar ini, ia tetap tidak diinginkan oleh siapa pun. Rasanya mau mati saja.
Di tengah-tengah kekalutan itu, jauh di belakang Takeuchi dan sang pelatih, ada seorang wanita yang melintas. Penampilannya tidak spesial namun terasa sangat kontras di antara para pelayat yang berada di sana. Kehadirannya ini berhasil membuyarkan segala yang ada di pikiran Shiroichi, sampai-sampai ia tidak memedulikan lagi tiga orang yang masih berada di hadapannya karena sekarang fokusnya teralih pada wanita yang kini sudah mendekati altar itu.
Shiroichi memperhatikan bagaimana wanita itu membungkuk dalam-dalam, memberikan dupa, dan menyatukan tangan untuk memanjatkan doa. Cukup lama ia berdoa. Setelahnya wanita itu juga membungkuk demi memberikan belasungkawa pada saudara kandung ayah yang berdiri di sisi altar. Dan saat membalikkan tubuh, tatapan mereka bertemu. Shiroichi bisa melihat perubahan ekspresi pada wajah wanita itu ketika melihatnya.
Atmosfer pun berubah. Berpasang-pasang tatapan dari orang lain seolah menghilang, menyisakan mereka dalam geming panjang yang menyesakkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
You are My Dogwood [Extended Ver.]
RomanceTakasugi Shiroichi sudah tidak mau lagi menaruh harapan pada cinta. Ia menjadi seorang Casanova demi mempermainkan hal itu, mempermainkan kaum wanita yang telah menghancurkan kehidupannya. Hanya satu yang saat ini mampu menyelamatkan Shiroichi dari...