Ch.17 | Playmates

113 23 24
                                    


Suara berdenting kala pintu terbuka terdengar nyaring di sebuah kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara berdenting kala pintu terbuka terdengar nyaring di sebuah kafe. Begitu memperlihatkan isi di dalamnya, netra pengunjung disuguhi oleh warna cokelat tua yang mendominasi sepenjuru ruang, juga dinding dan rangka sofa yang terbuat dari kayu. Kesan vintage agaknya berhasil disematkan sejak pertama kali masuk. Kap lampu berenda, beberapa pot bunga, serta dekorasi rak buku, makin memperkuat predikat vintage itu.

          Hampir seluruh kursi telah terisi. Tempat ini memang terletak di dekat stasiun, jadi meski seandainya sekarang bukanlah jam pulang sekolah atau pun jam makan siang, tempat ini selalu ramai dikunjungi.

          Delapan orang siswa menghambur masuk dan menempati satu meja di sudut ruang yang sudah dipesan khusus untuk mereka. Pada masing-masing lengan mendekap banyak sekali benda berbungkus rapi nan manis. Hanya ada satu pemuda tinggi—yang kontras di antara mereka—melenggang tanpa satu pun dari benda menyusahkan itu tergenggam di tangan, kecuali tas sekolah yang ia junjung di atas bahu.

          "Hari ini benar-benar, ya. Kau panen gratisan dari para gadis." Pemuda berambut cepak menumpahkan benda-benda itu ke atas meja.

          "Aku akui Shiro memang populer. Tapi ini betul-betul gila." Kali ini pemuda berambut jabrik yang angkat suara. Ia menaruh kedua lengan di atas pinggang sambil memandang tak percaya pada sekumpulan benda yang baru saja terlepas dari tangannya. "Apa boleh kuambil satu, atau dua, atau tiga ... atau enam saja sekalian ya kalau bisa."

          "Kalian boleh ambil semuanya, kok." Shiroichi menjatuhkan diri di atas sofa sementara lengan kanannya sengaja tergantung pada sandaran. Dengan melihat pemandangan ini saja orang akan menganggap ia adalah ketua geng dan yang lain merupakan kacung. "Tanpa sisa. Aku tidak butuh."

          Setelah disetujui seperti itu, tanpa menunggu aba-aba lagi, ketujuh temannya pun segera berebutan memilah-milih hadiah yang berserak di atas meja. Terlalu banyak dan beragam. Mereka sendiri saja sampai bingung. Apa jadinya kalau Shiroichi mengambil semuanya. Pasti sangat kerepotan menatanya di rumah.

          Ini merupakan hari penting bagi sang pemuda bercap casanova itu . Sudah menjadi tradisi jika 20 Juli tiba, para gadis sekolah akan memberikan sesuatu paling spesial untuknya.

          "Kau selalu begini, ya." Daiki, pemuda yang berada persis di samping Shiroichi terkekeh sambil menurunkan bokongnya ke sofa. "Padahal kalau aku jadi kau, setidaknya aku ambil beberapa untuk dibawa pulang. Yang paling bagus. Yang paling unik."

          Kemudian ia mengangkat kotak kecil dengan pita merah, lalu membukanya. Ia memang sudah curi-curi kesempatan untuk membuka beberapa kotak itu kala Shiroichi meloloskan diri di jam istirahat tadi siang dari gadis-gadis yang mengejarnya. Sejak itu pemuda ini sudah mengincar kotak yang meski kecil tetapi isinya sangat menarik.

          "Lihat. Seperti jam tangan ini misalnya. Merknya saja Azimuth. Walaupun yang ini bisa dibilang paling murah di antara model Azimuth yang lain, tapi tetap saja harganya super mahal." Pelan ia keluarkan jam itu dari dalam kotak, seolah sedang meraih sesuatu yang amat rapuh. Netranya menelusuri dengan detail. Amat jeli hingga tak bisa melewati satu mili pun permukaan dari benda berharga itu. "Shiro ... kacanya ... kacanya dari kristal saf—"

          "Sudah ambil saja dan jangan bikin aku muak dengan ekspresimu yang berlebihan." Kekaguman sang pemuda terputus begitu saja tatkala Shiroichi angkat suara. Kendati demikian, Shiroichi penasaran juga karena tahu temannya ini pengamat handal produk-produk berkelas. "Memang harganya berapa?"

          "Tidak ada label harganya. Tapi kalau aku tidak salah, kisaran empat ratus ribu yen."

          "Ha?" Shiroichi menganga tak percaya. Ia kaget setengah mati. Konyol sekali membuang uang sebanyak itu hanya untuk memberikan hadiah pada laki-laki yang sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengannya. "Dasar cewek sinting."

          "Kau yang lebih sinting. Bagaimana bisa membiarkan benda mahal ini jatuh ke tanganku."

          Daiki terkekeh dan membiarkan punggungnya meluncur di sandaran sofa. Sementara tangannya masih memegangi benda yang menjadi perbincangan mereka, masih menatap takjub. Selama ini ia hanya mencari informasi benda-benda bermerk melalui dunia maya, mengagumi keindahan dari dimensi yang berbeda. Tapi sekarang, ia mendapatkannya dengan cuma-cuma. "Wah ... rasanya aku beruntung sekali jadi temanmu. Kalau kau sih tidak butuh benda yang seperti ini, ya. Karena punyamu pasti jauh lebih mahal dari ini."

          Ucapan itu tanpa sengaja membuat ujung alis milik Shiroichi naik.

          "Aku memang tidak butuh. Tapi, kalau kau menyandingkan sesuatu dengan nominalnya, sama saja dengan meremehkan fungsi sejati dari benda itu."

          "Maksudmu?"

          "Maksudku, jam itu sebagai benda penanda waktu, 'kan? Itu fungsi utamanya. Jadi aku cukup membeli jam yang sewajarnya saja. Tidak perlu muluk-muluk." Shiroichi bermaksud memberitahukan bahwa 'ia tidak suka dengan benda-benda mahal' secara tersirat. Meski seandainya Patung Liberty sekalipun bisa dibeli, tetapi kemewahan sama sekali bukanlah jalan hidupnya.

          Bel di pintu kafe berdenting lagi. Sepasang tungkai milik seseorang terlihat melangkah ke dalam. Matanya mengedar, dan mendapati sekumpulan pemuda di sudut ruang. Ia tersenyum lalu menghampiri mereka.

          "Wah ... Takeuchi-kun. Douzo douzo." Katsuro, si pemuda berambut klimis juga berkacamata, bangkit dari duduk lalu menepuk-nepuk sofa di sampingnya.

          Senyum pada wajah Takeuchi masih mengembang sesampainya ia di hadapan sekumpulan pemuda itu. Ia berdiri pada sisi meja, memperhatikan benda yang berserak di atasnya. Lalu netranya bergeser dan berhenti pada iris hitam Shiroichi yang juga sedang menatapnya.

          Ya, Takeuchi, anak menyebalkan yang dulu menjadi musuh Shiroichi. Anak yang saat di bangku sekolah dasar selalu membuat Shiroichi gemas, dan beberapa kali membuat ia kena masalah.

          "Dulu kau menindasku karena aku sombong dan selalu bertingkah seperti raja," gurau Takeuchi, tanpa menghilangkan senyum ramah. "Apa sekarang giliranku yang harus menindasmu?"

          Shiroichi bangkit. Ekspresinya menantang seolah siap akan pertarungan. Keenam teman yang masih terduduk, ditambah Katsuro yang juga kembali pada sofanya, menatap dua orang ini dengan cemas.

          "Kau lupa dulu pernah melakukan penindasan itu padaku? Sekarang silakan saja kalau mau coba lagi."

          Lirikan Takeuchi beralih ke arah bawah, menyadari penakanan kata 'itu' pada ucapan tadi. Penekanan yang mengingatkannya akan kejadian sembilan tahun silam, di mana ia membuat Shiroichi dikenai hukuman yang bukan atas dasar perbuatannya.

          Mimik Shiroichi perlahan melunak. Sudut bibir tertarik, lantas ia terkekeh geli. Kekehan itu juga ditularkan pada Takeuchi yang kini sudah membentangkan lengan, kemudian memeluk hangat pemuda yang sedikit lebih tinggi di hadapannya ini.

          "Selamat ulang tahun, kawan. Maaf jika membuatmu tersinggung." Takeuchi menepuk-nepuk pelan punggung kawannya.

          "Itu sudah menjadi watakmu, lho." Shiroichi membalas tepukan di punggung Takeuchi dengan gerakan yang agak kasar. "Tapi awas saja. Tidak akan aku maafkan jika memfitnahku lagi." 

          Keduanya melepaskan pelukan sambil tertawa-tawa, membiarkan kebingungan terpatri di wajah ketujuh orang lainnya. Sebetulnya ketujuh orang ini sudah terbiasa dengan hubungan persahabatan yang aneh di antara Shiro dan Take. Namun, tetap saja setiap kali hendak bertengkar rasanya seperti sungguhan.

          Mereka, sembilan pemuda ini, adalah anggota inti dari tim bisbol SMA Saiden. Sejak awal hanya Shiroichi dan Takeuchi yang hubungannya sudah sangat akrab. Tidak ada yang mengagumi kemampuan permainan bisbol Shiroichi melebihi Take. Pun tidak ada yang tahu bahwa keduanya dulu pernah menjadi musuh. 

          Kecuali Katsuro. 

          Pemuda ini pernah menjadi teman sebangku Shiroichi atas sebuah keterpaksaan, saat berada di bangku sekolah dasar.

You are My Dogwood [Extended Ver.]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang