8. Reka Ulang

20 6 4
                                    

Kembali pada tahun di mana aku tergeletak akibat trauma masa lalu. Aku tebangun di sebuah kamar bernuansa putih. Kamar yang masih terasa sama meski sudah beberapa tahun berlalu.

"Lo udah mendingan?" Suara Ezar membuat atensiku terjatuh padanya.

Aku berusaha menegakkan tubuhku agar lebih nyaman saat berbicara dengannya.

"Berapa lama gue nggak sadar?" Tanyaku kemudian.

"Tujuh."

"Hari?!!" Mataku membola, memang rasanya aku sudah tidur terlalu lama. Tapi aku tak menyangka jika akan selama itu.

"Jam." Ezar menjawab. Syukurlah, karena aku tidur tak sampai sehari. Namun meski jawaban Ezar membuatku lega, disisi lain aku juga merasa kesal karena Ezar tak lantas memberi tahu dengan jelas.

"Minum dulu obat lo."

"Gue nggak sakit."

"Terus kenapa lo tidur disitu?"

"Males aja."

"Tinggal minum elah.. Hobi banget debat perasaan."

Sejujurnya aku sangat malas untuk meminum obat tersebut. Memangnya siapa orang yang mau meminum obat? Di mana-mana obat itu adalah sebuah momok bagi orang-orang, kecuali untuk mereka yang kecanduan.

Tak lama kemudian, Farel muncul dari balik tirai dengan membawa buah-buahan yang sudah ia potong. Lantas disuguhkan kepadaku.

"Cepet dimakan, kak.. supaya cepet sembuh. Nanti kita melukis bareng."

Aku terkekeh melihat apa yang Farel ucapkan. Lantas membalas ucapannya.

"Kalau Farel yang minta, kakak pasti bakal nurutin."

Farel tertawa. Tawa yang mungkin terdengar aneh bagi orang lain. Tapi tidak bagiku, tawa itu justru terdengar menggemaskan di telingaku.

Setelah selesai kuhabiskan beberapa potong, Ezar mengantarku untuk pulang.

"Sebentar lagi kita lulus." Ezar tiba-tiba mulai bersuara. Tumben sekali dia yang membuka percakapan.

Aku terkekeh geli. "Masih ada kelas dua belas."

Dia berdecak kesal. Lantas kembaki mengungkap keresahannya. "Gue nggak tahu apa yang bisa gue kasih ke orang tua gue nanti."

Aku terdiam sebentar. Menyadari betapa kontrasnya perbedaan antara apa yang Ezar dan aku pikirkan.

"Orang tua lo itu cuma pengen lo baik-baik aja. Mereka nggak muluk-muluk pengen lo membalas kebaikan mereka. Cukup dengan lo berbahagia, mereka juga ikut bahagia."

"Lo nggak pernah tahu gimana rasanya tinggal di tempat yang bahkan itu bukan orang tua kandung lo sendiri." Ezar berkata dengan nada yang lebih tinggi dibanding biasanya.

"Dan lo juga nggak pernah tahu rasanya punya orang tua yang nggak pernah nganggap anaknya sendiri sebagai anak." Balasku kemudian.

Mungkin ini memang bukanlah waktu yang tepat untuk kami membicarakan hal semacam ini. Sehingga baik aku maupun Ezar tak ada yang berpikir dengan kepala dingin.

Setelah balasan terakhirku. Masing-masing dari kami terdiam. Kembali tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Sampai Ezar selesai mengantarku ke apartemen pribadiku.

Aku sengaja meminta apartemen pribadi agar tak ada yang mengganggu ketenanganku. Masih jelas teringat dalam pikiranku ketika aku Ayah memarahiku habis-habisan hanya karena aku menghabiskan waktu liburku untuk melukis.

Aku tak tahu sampai kapan orang itu akan menekanku sampai sebegitunya. Rasanya aku sama sekali tak ada bedanya dengan hewan ternak. Harus selalu menuruti apa yang ia mau, juga tak boleh memberikan pendapat sendiri. Benar-benar membosankan.

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang