"Mama, kita mau pindah ke mana? Kenapa kita pindah?" Tanya seorang anak kecil kepada Ibunya.
Ibunya yang saat itu tengah berusaha mati-matian agar air matanya tak terjatuh di depan anaknya hanya bisa terdiam. Ia tak tahu harus memberikan penjelasan apa pada anaknya yang masih berusia 6 tahun itu.
"Ezar.. Ezar paham 'kan kalau di dunia ini itu nggak semua orang harus suka sama kita?"
"Paham, Mama.."
"Jadi, kita juga harus bisa membentengi diri kita sendiri dari orang-orang jahat yang nggak suka sama kita..." Perempuan itu menjeda ucapannya, hanya untuk menahan tangis yang kian membuncah--meminta untuk segera diluapkan. "...dan ini cara Mama untuk membentengi diri dari orang-orang itu, Nak.."
"Tapi kita 'kan nggak harus pindah Mama.. Ezar masih punya Rara yang sayang sama Ezar. Rara itu bukan orang jahat Mama."
"Ezar!!! Dengerin Mama!! Semua manusia di dunia ini itu munafik!! Nggak ada orang yang bener-bener baik!! Kamu nggak bisa terus-terusan percaya sama orang!! Nggak ada orang yang bisa kamu andalkan di dunia ini!!"
Perempuan itu kalut. Ia sangat paham bahwa semuanya yang terjadi saat ini bukan kesalahan anaknya. Tapi dia juga telanjur lelah menahan semua beban di pundaknya seorang diri.
Ia tak ingin anaknya terus-terusan mendengar sebutan anak haram dari lingkungan sekitarnya. Ia ingin anaknya bahagia, ia sangat takut jika suatu saat anak yang ia sayangi itu menyalahkannya atas semua penderitaan yang dia alami. Bahkan kini, suaminya yang dulu sangat memanjakannya berbanding terbalik, dan menyukai wanita lain selain dirinya.
Seharusnya dari dulu ia paham akan semua ini. Seharusnya ia tak menyetujui saat laki-laki itu meminta mahkota yang ia jaga selama bertahun-tahun. Seharusnya ia tak terbuai dengan bujuk rayunya sampai mau-mau saja menikah dengan laki-laki itu.
"Setelah ini... kamu tinggal sama Papa, ya? Nanti kalau sama Papa kamu bisa main ke mana aja yang kamu mau."
"Nggak mau! Kalau nggak ada Mama nggak seruuu."
Wanita itu susah payah kembalu menunjukkan senyuman di depan anaknya. Sungguh, sejujurnya ia juga tak ingin meninggalkan anaknya sendiri.
"Ezar anak yang nurut, kan? Mau 'kan ngabulin permintaan Mama kali ini."
Anak kecil itu mengangguk. Lantas perempuan itu mengusap lembut kepala anaknya.
"Anak pintar..." Wanita itu membentangkan tangannya, lantas membawa tubuh mungil itu ke dalam dekapnya. "Ezar yang bahagia, ya... Ezar harus janji apapun keadaannya, entah itu sama Mama atau bukan, Ezar harus bahagia," Wanita itu melepas pekukannya, lantas menatap wajah polos anaknya dalam-dalam. Kemudian dengan kedua jari telunjuk di masing-masing tangannya menaruk sudut bibir anaknya sampai membentuk sebuah lengkung indah di san, "...harus selalu tersenyum begini, ya..."
Anak itu mengangguk. Ia sama sekali tak memahami apa yang sedang dialami Mamanya sampai menangis seperti itu. Anak kecil itu hanya bisa menduga-duga apakah Mama baru saja kehilangan sendok cantik kesayangannya, atau apakah Mamanya baru saja di olok-olok oleh teman-temannya seperti yang pernah dialami sendiri oleh anak itu.
Lalu dengan tangan mungilnya, anak itu menghapus air mata yang tersisa di pipi sang Mama. Lantas berujar dengan lembut. Suara khas anak kecil yang membuatnya terlihat menggemaskan jusyru terasa semakin menyayat hati sang Mama.
"Iya, Mama... Ezar janji akan bahagia terus, dan tersenyum seperti ini..." Anak itu mengikuti apa yang telah dilakukan Mamanya dengan cara menarik sudut-sudut di bibirnya dengan jari telunjuknya.
"Pinter... Anak Mama memang yang paling pinter." Puji wanita itu di tengah isakannya. Lantas dengan kedua tangannya ia kembali mendekap anaknya. Erat.. Sangat erat seakan dia adalah satu-satunya harapan yang ia punya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Teen Fiction❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...