Perih dan panas. Terdengar suara teriakan Bibi di seberang. Mungkin saja punggungku telah remuk akibat benturan vas yang kini sudah berserakan di lantai. Sakit, tapi biarlah. Lagi pula saat ini bukanlah situasi yang tepat untukku mengungkapkan rasa sakit. Ah.. atau memang aku sendiri sudah lupa bagaimana cara mengekspresikan rasa sakit itu sendiri? Entahlah..
"Ya Ampun!! Raveen!!" Istri muda Papa datang. Ia menghampiriku sekaligus anaknya yang berada dalam pelukku. Lantas menariknya, dan meninggalkanku yang masih terduduk menahan rasa sakit yang mulai menjalari tubuhku.
"Apa yang sudah kamu lakukan?! Dia itu anak kamu!" anak kamu itu bukan ditujukan untukku. Melainkan dia yang dipanggil Raveen.
Aku terkekeh pelan. Bolehkah aku jujur? Setidaknya untuk saat ini, aku ingin jujur pada diriku sendiri. Aku hanya ingin mengakui bahwa perlakuan yang sudah terlampau biasa padaku ini, tak pernah terasa menyenangkan. Bahkan jika dibandingkan oleh rasa sakit, panas, perih, remuk, yang bercampur di punggung ini. Sedikit pun, rasa sakit itu tak mampu mengalahkan rasa sakit di dalam sini.
Sampai kudapati sepasang tangan membantuku bangkit. Bibi? Karena terlalu fokus pada penderitaanku, aku sampai lupa bahwa masih ada orang yang mempedulikanku di rumah ini.
"Naveen nggak apa-apa?" Bibi bertanya sesaat setelah aku berhasil kembali berdiri dengan susah payah. Aku menggelengkan kepala, pelan.
"Kalian semua sama saja!" Papa meneriaki orang-orang yang berada di sini. Melampiaskan segala kekesalannya. Matanya memerah karena marah, juga rahangnya yang mengeras sejalan dengan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Terkadang, aku justru bersyukur karena Mama telah berhasil lepas dari sosok pria tak berperasaan ini.
Prang!!
Lagi-lagi pria itu dengan saja mengobrak-abrik barang yang ada di dekatnya, membuat Istri kedua dan anaknya itu ketakutan dengan menutup kepalanya. Bahkan seolah tak cukup dengan keributan yang ditimbulkan Papa, adik tiriku yang bernama Raveen itu, kini sudah menampar-nampar wajahnya sendiri seraya berteriak tak karuan.
"Ayo kita pergi." Bibi dengan tubuh yanh sudah terbilang tak muda lagi, menarikku untuk menjauh dari keributan itu. Aku ingin menahan Bibi agar tidak membawaku kabur, tapi aki tidak punya alasan yang cukup kuat untuk menolaknya.
Setelah sampai di kamar, Bibi justru menangis tersedu-sedu di depanku. Ia melihat kebelakang--bagian punggungku yang terasa perih karena terkena lemparan vas tadi. Setelahnya Bibi mengambil kotak P3K, lantas menyuruhku untuk melepas seragam yang saat ini kukenakan.
Aku baru tahu kalau noda darah itu telah merembes rata pada bagian belakang seragam putih milikku. Separah itukah lukanya? Maka tak heran jika Bibi sampai menangis seperti itu.
"Nggak Papa, Bi.. Ini nggak sakit." Ujarku, untuk menenangkan Bibi yang masih menangis sambil melihat luka yang cukup besar di punggungku.
"Maafin Bibi.. Maaf, karena Bibi nggak bisa ngelakuin apa-apa buat kamu tadi." Bukannya berhenti, Bibi malah semakin terisak ketika aku selesai mengatakannya.
Aku meringis saat Bibi mulai membersihkan lukaku. Dan lagi-lagi aku mendengar Bibi terisak. Namun, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.
"Bibi.. Kenapa orang dewasa selalu melakukan apapun semaunya?"
Hening. Tak ada jawaban dari pertanyaanku. Kupikir aku telah melakukan kesalahan dengan bertanya seperti itu, sampai Bibi mulai mengeluarkan hela napas panjang. Lantas setelah kecanggungan di antara kami mereda. Bibi menjawab pertanyaanku.
"Kita... orang-orang dewasa itu, justru sebenarnya memiliki pemikiran yang tidak lebih luas dari anak kecil. Sama-sama butuh sandaran, sama-sama butuh pelampiasan ketika marah. Hanya saja.. tuntutan di dunia tak mengizinkan kita untuk menunjukkan semua itu secara cuma-cuma. Sampai akhirnya, ada beberapa yang meluapkan itu semua dengan cara yang salah."
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Ficção Adolescente❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...