13. Apa Itu Rumah?

24 8 3
                                    

Sepulang sekolah, aku melihat Sahara yang sudah lebih dulu masuk ke dalam bus. Ah, kenapa dia bisa secantik bahkan di saat hari sudah hampir sore?

Dia baru saja menyandarkan punggungnya saat aku duduk di sebelahnya.

"Sahara, lo nggak mau main ke apart gue?"

Jujur saja, aku melontarkan oertsnyaan itu padanya karena aku sendiri tak tahu pembahadan apa yang cocok kugunakan untuk membuka percakapan antara kami saat ini.

"Iya, kapan-kapan."

Setelah menjawabku dia benar-benar memejamkan matanya. Kubiarkan dia menikmati tidur siangnya yang sempat tertunda. Bus pun sudah melaju membelah padatnya jalanan. Sahara terlihat sangat cantik ketika sinar keemasan mentari menerpa wajah putih pucatnya. Namun, aku takut jika sesuatu yang membuatnya terlihat indah itu justru akan membangunkannya dari mimpi indahnya. Sehingga kulepas jaketku, lantas kuletakkan di samping jendela untuk menghalau sinar matahari.

Dia benar-benar terlelap dalam sekejap. Aku membiarkannya, sampai dia membuat kerutan di dahinya. Apakah dia sedang mimpi buruk? Pelan-pelan aku menyentuh dahinya itu, sampai kembali seperti semula. Aku berniat meletakkan kepalanya di pundakku agar ia sedikit lebih nyaman. Namun, sebelum aku benar-benar melaksanakan niatku. Kepala itu sudah jatuh tepat pada pundakku. Membuatku benar-benar mati kutu.

Kubiarkan ia bermimpi indah di sana. Saat kurasa jantungku berdegup tak keruan, bus yang kami tumpangi berhenti. Sudah tiba.

"Sahara..." Aku memanggilnya pelan. Namun ia tak menyahut. Lantas kutepuk pelan tubuhnya. Tapi lagi-lagi ia hanya bangun dari pundakku tanpa membuka mata.

"Rara..." Tetap tak ada sahutan. Kupandangi sekeliling yang mulai terlihat sepi. Kudekatkan wajahku di sampingnya, lantas menarik napas panjang.

"SAHARAAA!!!!"

Deg! Nyaris saja. Belah kenyal nan ranum itu hampir saja menyentuh milikku, jika ia tak lantas menghentikan laju kepalanya yang terkejut saat kubangunkan. Netra kami bertemu, sehingga membuat kami sama-sama terpaku.

"Hwaa!! Mata gue ternodai!!"

Suara Ezar menyadarkanku atas apa yang sedang kulakukan dengannya.

"Ah, maaf." Ujarnya yang langsung mengalihkan wajahnya dariku. Sejenak, aku masih terpaku akan apa yang nyaris terlaksana tadi. Namun, lagi-lagi aku harus menekan perasaanku ini.

"Nggak, harusnya gue yang minta maaf karena gue udah teriak-teriak bangunin lo." Ujarku, segera setelah tersadar.

Aku lantas berdiri dan bergegas meninggalkan Sahara yang masib terduduk di sana. Wajah ini terasa panas. Aku harus mampu mengontrol raut wajahku sendiri agar tetap terlihat tenang, aku tak mau Sahara menyadari perubahan raut wajahku yang sangat drastis ini.

"Parah lo! Anak baru main di sosor aja!" Ezar menyusulku lantas menepuk pundakku dengan keras saat di rasa Sahara sudah tak melihat kami.

"Bacot lo!" Makiku kemudian. Ia hanya tertawa. Namun instingku justru merasa bahwa tawa Ezar saat itu.. adalah sebuah tawa yang ia paksakan.

~~~

Aku pulang. Ah, apakah tempat ini masih bisa kusebut rumah? Hari ini, setelah insiden di bus barusan. Papa menyuruh seseorang untuk menjemputku pulang. Kemudian tanpa mengganti seragam atau bahkan menaruh tas pada apartemenku, aku pergi ke rumah Papa yang selama ini membesarkanku.

Apa kalian tahu bagaimana rasanya tinggal di sebuah rumah yang bahkan tak pernah menganggap kalian ada? Begitulah kiranya aku di rumah ini, mereka semua Papa ataupu istri keduanya, mereka sangat sibuk dengan persiapan kelahiran anak mereka. Bahkan ketika anak yang seharusnya menjadi adik tiriku itu tumbuh, dan terlihat seperti bayi normal pada umumnya.

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang