Pagi ini, di bawah sorot mentari yang mengecup malu. Beberapa pemuda-pemudi baru saja turun dari bus yang mengantarkan mereka ke sekolah. Terlihat dengan jelas bagaimana tiga orang anak dalam pandanganku tengah sibuk bercengkrama. Dua orang laki-laki dan satu orang lagi perempuan. Dari seberang, ketiganya terlihat sangat nyaman satu sama lain, meski terkedang, seorang gadis yang berada di antara mereka terlihat menghela napas. Bukan karena tak suka, tapi hela napas gadis itu hanya mengisyaratkan bagaimana ia belum terbiasa dengan dua temannya. Di sisi lain sorot mata juga senyum tipis yang terlukis di bibir gadis itu sudah cukup membuktikan bagaimana perasaannya saat ini.
Jika kalian berpikir kalau sudut pandang ini dari Naveen, kalian tentu salah besar. Karena cerita kali ini berbeda dari sebelumnya. Cerita ini menceritakan tentangku, perempuan yang telah melahirkannya. Perempuan tak tahu diri yang sudah menemuinya setelah sekian lama tak berkabar.
Semalam, masih teringat jelas dalam benakku tentang bagaimana Naveen menyambut kehadiranku. Anak yang dulu manis, kini telah berubah. Aku tahu aku salah karena sudah meninggalkannya bersama seorang yang bahkan menganggapnya tak ada. Sejauh ini, kukira aku adalah orang yang paling memahaminya. Nyatanya, anak itu justru terlihat asing di mataku. Dia yang dulu tak pernah mau berpisah dari Ibunya, kini menjadi seorang anak yang kelewat mandiri sampai tak lagi mengharapkan kehadiran Ibunya.
Sudah sejak lama aku memerhatikan anak tersayangku itu sembari berdoa semoga suatu saat kami dapat bersama kembali. Jika hal itu benar-benar terjadi, maka kuharap aku bisa memberikan kebahagiaan lebih padanya. Aku akan membuatnya lebih bahagia dibanding dulu saat ia masih kecil.
Percakapan semalam masih melekat dengan jelas di semua panca inderaku. Bgaimana suaranya, bagaimana sentuhan lembut angin yang menerpa kami berdua, bagaimana wajah dengan rahang tegasnya yang mirip dengan ayahnya.
"Sayang.. apa kabar?" Sapaku, yang saat itu tengah memberanikan diri. Dia terdiam, membuat atmosfer di sekitar semakin tegang. Selama beberapa saat, hanya suara angin yang menghiasi sekitar, sampai ia membalas sapaanku dengan sebuah pertanyaan yang tak bisa kujawab.
"Mama, kenapa baru sekarang?" Sederhana, namun suara yang bergetar saat melontarkan pertanyaan itu membuatku tak bisa mengeluarkan suara.
Kalian tak pernah bisa membayangkan sehancur apa hati seorang Ibu yang melihat anaknya menderita di situasi yang justru membuatnya harus terlihat kuat.
"Mama kangen..." Sehingga hanya kalimat itulah yang dapat keluar dati mulutku.
"Naveen tanya, kenapa Mama baru datang sekarang?"
Lagi-lagi aku terdiam. Lantas bibirku mulai tergerak.
"Maafin, Mama.." Lirihku kemudian.
"Naveen nggak butuh maaf dari Mama. Naveen udah terlalu sering denger kata itu dari Mama. Jadi.. bisa tolong jelasin sekali aja, di mana salah Naveen sampai Mama ninggalin Naveen?"
"Kamu nggak salah, Nak.. Naveen nggak salah apa-apa.."
"Apa Mama tahu, bagaimana selama ini Naveen nyalahin diri Naveen sendiri karena kepergian Mama? Selama ini Naveen selalu bertanya-tanya di mana letak kesalahan Naveen."
"Naveen--"
"Naveen juga nggak pernah minta buat dilahirin ke dunia, Ma! Naveen nggak pernah minta semua itu! Tapi kenapa..." Emosi Naveen yang selama ini ia tahan meluap begitu saja di hadapanku. Aku menghampirinya, dan bersiap untuk membawa tubuhnya yang tegap ke dalam pelukanku seperti dulu. Namun, ia menepisnya.
"Mama nggak pernah paham gimana perasaan Naveen." Anak itu menyeka air di ujung matanya yang nyaris terjatuh, "...kenapa seakan-akan semua kesalah itu ada pada Naveen."
"Mama minta maaf." Aku menunduk--tak ingin air mata yang sudah mati-matian kubendung itu terlihat di hadapan anakku satu-satunya. Aku merasa malu pada diriku sendiri yang tak mampu untuk menyelesaikan semua ini.
"Apa Mama tahu gimana rasanya berpisah tanpa mampu mengucapkan selamat tinggal?" Kilatan cahaya dalam bola matanya semakin membuatku paham akan arti dari tatapnya malam itu, "...seperti memilih neraka abadi untuk melepaskan penderitaan sesaat yang dialami."
Anak itu berpaling meninggalkanku yang masih berdiri di sana. Lalu dalam siluet punggung tegapnya, aku dapat merasakan betapa kesepiannya anak itu selama ini.
"Mama... hari ini adalah hari baik buat Naveen. Jadi tolong..." Anak itu menghentikan langkahnya, lantas membalikkan badannya hanya untuk melihatku kembali. "... jangan memperkeruh suasana. Jangan buat Naveen jadi anak yang durhaka."
Setelah selesai mengatakan itu, anak itu kembali berbalik dan benar-benar meninggalkanku.
Dalam kesunyian malam itu, diiringi dengan suara jangkrik, juga suara samar piano yang dimainkan entah dari mana. Resmi menjadi pengiring perpisahan antara orang tua dan anak untuk malam itu. Dalam hati aku berteriak memaki diriku sendiri. Sebenarnya apa yang sudah kulakukan pada anak kecil itu. Setelah perlakuanku padanya masih bisakah aku disebut sebagai Ibu. Tak ada seorang Ibu yang tega meninggalkan anaknya seperti ini.
"Naveen, Mama..." Aku tahu kalau Naveen sangat tak menyukai kalimat ini. Namun lagi-lagi kalimat yang mampu kuucapkan saat bersamanya hanyalah, "...maafkan Mama, Nak.."
Sampai tanpa kusadari ketiga ketiga anak yang baru saja turun dari bus sudah hilang dari pandanganku. Kini, hanya kesnduan yang tersisa. Suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya tak lagi mampu mengalihkah atensiku pada bayang ketiga anak tersebut.
Sudah sejak lama aku melakukan semua ini. Memperhatikan perkembangan anakku secara diam-diam saat ada waktu. Bahkan sosok Naveen yang sering bolos sekolah hanya untuk pergi ke sebuah panti kecil juga tak luput dari perhatianku. Hanya saja... sesering apapun aku memerhatikannya, aku tak pernah bisa memahami anakku sendiri.
Apakah keputusanku untuk melahirkannya ke dunia adalah sebuah kesalahan? Namun segera setelah pikiran itu terlintas dalam benakku, aku segera menepisnya jauh-jauh. Aku memutuskan untuk melahirkannya ke dunia ini bukan tanpa alasan. Malaikat kecil yang menghiasi hari-hariku dan menjadi sumber kekuatanku itu, tak mungkin lahir ke dunia ini tanpa alasan. Hanya saja... bagaimana perlakuanku padanya yang sebenarnya perlu ditanyakan.
Bagiku dia hanyalah seorang anak kecil dengan beban berat yang yengah tanggung di pundaknya. Wajahnya yang selalu tersenyum ramah saat bersama teman-temannya hanyalah sebuah peralihan dari pahitnya kehidupan yang ia jalani. Tingkahnya yang begitu aktif hanyalah sebuah alasan untuk menutup dirinya rapat-rapat dari orang-orang disekitarnya.
Dia hanyalah... anak kecil yang tertutup oleh topeng bernamakan 'dewasa'.
•
•
Haii!! Btw, ada yang bingung nggak sama alur cerita ini?
Memang rencanaku cerita kali ini menggunakan beberapa POV yang berbeda, cuma kok aku ngerasa jadi kayak acak-adul yaaa😭
Mungkin setelah cerita ini selesai aku bakal revisi lagi, supaya alurnya lebih tertata.
Btw, kalau ada foto hydrangea love kayak yang di atas itu pas di tengah-tengah chapter, itu tandanya kita ganti POV, yaa
Thanks and See You next part❤🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Teen Fiction❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...