22. Promise

45 5 4
                                    

Akhir pekan sudah hampir tiba. Seminggu ini aku mencoba fokus pada ujian yang berlangsung, meski pikiranku tak terfokus pada ujian itu. Setidaknya jika aku memang tak ingin melakukannya a, aku busa menggunakan alasan ingin membanggakan Mama untuk yang pertama kalinya agar bersemangat kembali dalam melaksanakan ujian kali ini. Yah.. semoga saja otakku yang tak seberapa ini bisa diajak bekerja sama.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, aku pulang menggunakan bus yang sama dengan Sahara. Bedanya kali ini jantungku berdebar menunggu jawabnya. Aku kembali membuka room chat-ku dengan Sahara untuk yang kesekian kalinya. Chat yang kukirim seminggu lebih akhirnya terbaca juga olehnya setelah sebelumnya hanya menunjukkan centang dua abu-abu. Dalam hati, aku melonjak kegirangan. Akhirnya penantianku selama ini terbalas. Aku menjulurkan leherku ke depan—tempat di mana Sahara duduk sekarang. Lantas berbisik di telinganya.

"Gimana? Lo belum jawab pertanyaan gue beberapa hari kemarin."

Dia sedikit terjingkat akibat aku yang mendekatinya secara tiba-tiba. Dia menoleh padaku. Kini jarak antara wajahku dan wajahnya tak sampai satu jengkal.

"Iya, mauu..."

"Yes!!" Aku refleks mengepalkan tanganku mendengar jawabannya.

Namun.. sebuah tangan yang mengusap pelan kepalaku membuatku tersadar. Bukan tersadar... atau lebih tepatnya aku justru dibuat membeku. Senyuman di wajahnya juga usapan lembut jemarinya dikepalaku benar-benar membangunkan kupu-kupu dalam diriku.

Setelah beberapa saat dia baru tersadar akan sikapnya yang mengobrak-abrik hatiku. Netra cokelat milik kami bertemu. Aku menahan tangannya yang hampir saja lepas dari kepalaku. "Kenapa? Mau menghindar lagi?"

Lantas dengan pertanyaan itu, dia kembali mengusap kepalaku pelan. Bahkan kini tanpa sadar sudut bibirku kembali terangkat.

~õÕõ~


Keesokan harinya aku benar-benar menghampiri Sahara. Tanganku menggenggam secarik kertas lusuh yang sudah kutulis sejak aku berumur 6 tahun. Mungkin satu tahun sejak Rara berpisah denganku. Sebelumnya aku sudah menanti saat-saat ini. Sat-saat di mana aku busa memberikan surat ini langsung padanya. Ternyata mengumpulkan keberanian itu tak semudah yang dipikirkan dalam benak. Butuh waktu kama sampai keberanian itu benar-benar terkumpul. Dan saat ini.. kurasa sekarang adalah waktu yang pas untukku mengungkapkan siapa aku padanya.

Saat ini bukanlah Sahara yang menyambutku, akan tetapi sosok wanita paruh baya yang entah sejak kapan sufah berdiri di depan pintu seakan memang sudah mempersiapkan diri menyambutku. Senyum di wajahnya kali ini terlihat sendu. Seakan menemukan kebahagiaan yang entah berupa apa dengan adanya kehadiranku.

“Masih inget sama Tante?” Senyum itu masih tak lepas dari wajah yang sudah sedikit berkerut itu.

“Kemarin Tante sempat bertemu dan ngobrol sebentar sama Mama kamu.” Wanita yang tak lain adalah Bunda Sahara itu menatapku lekat.

“Sekarang Tante mau ngobrol sebentar sama kamu.”

Setelah itu Tante mengajakku ke dalam. Tak ada Sahara di sana. Mungkin saja saat ini dia tengah bersiap-siap. Tante bahkan menyiapkan teh hangat untuk kuminum seraya menunggu Sahara.

“Tante tahu gimana perasaan kamu ke Sahara selama ini,” ujar Tante sesaat setelah duduk di hadapanku. Dan benar saja.. kata-kata Tante yang satu itu berhasil membuatku tak tahu apa yang akan aku katakan untuk menjawab pernyataan Tante itu. “Tapi Tante juga nggak bisa biarin gitu aja tanpa alasan yang kuat.”

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang