4. Dia dan Lukisannya

22 7 2
                                    

Satu tahun lebih berlalu semenjak hari itu. Setelah semua yang terjadi di hari itu, aku jadi sedikit paham dengan arti keberadaanku di dunia ini. Sepulang sekolah aku tak pernah absen untuk mengunjungi panti asuhan itu. Bahkan kini Ibu dan Bapak panti pun sudah menganggapku bagian dari keluarga panti tersebut.

Tak terkecuali sore ini. Lagi-lagi Harsa dan aku melukis bersama. Kadang kala anak tuna rungu yang kemudian kuketahui bernama Farel juga ikut bersama kami. Sedangkan Papa? Tentu saja dia tidak tahu kalau aku pergi ke panti ini. Syukurlah.. akan lebih baik kalau pria itu tak tahu aku di mana.

Di tengah itu semua Farel datang. Anak itu menarik-nari ujung lenganku--mengajakku berbicara. Aku mulai sedikit paham dengan bahasanya karena Harsa mengajariku beberapa bahasa isyarat untuk digunakan pada anak tunarungu.

"Kakak sudah makan?" Begitulah arti dari pergerakan tangan yang ia lakukan. Namun, setelahnya aku tak lagi paham dengan apa yang ingin dia sampaikan. Sehingga aku memutuskan untuk menoleh pada Harsa--meiminta pencerahan darinya.

"Katanya dia udah buatin kamu nasi goreng, jadi kamu boleh makan dulu." Ujar Harsa yang langsung cepat tanggap saat aku menoleh padanya.

"Oh.. gitu..." Selanjutnya aku kembali mengarahkan atensiku pada Farel dan mulai menggerakkan tanganku padanya untuk memberi pengertian kalau aku akan makan masakannya nanti, setelah lukisanku selesai.

Farel kembali menggerakkan tangannya. "Jangan, nanti..." Lantas aku kembali menoleh pada Harsa karena tak paham dengan arti pergerakan tangannya itu. Harsa menghentikan pergerakan tangannya di atas kanvas kemudian menghela napas sejenak lalu kembali menjadi penerjemahku

"Jangan, nanti nasi gorengnya dingin."

Farel menatap Harsa dan aku secara bergantian, lalu tanpa berbasa-basi lagi, kedua tangannya menarik tanganku dan Harsa yang masih belepotan cat. Bahkan tangan Harsa masih menggenggam sebuah kuas.

"Farel sebentarr!!!" Teriakku dan Harsa spontan. Yah.. Meskipun kami berdua tahu kalau Farel tak mungkin mendengarnya.

Farel berhenti menarik kedua tangan kami setibanya di dapur panti. Harsa kemudian memberikan pengertian pada Farel kalau kami ingin mencuci tangan dulu. Farel begitu bersemangat karena ini adalah masakan pertamanya, dan kebetulan kami pernah berjanji kalau kami akan menjadi orang pertama yang akan mencicipi masakannya.

Selesai membersihkan diri kami pun mencoba nasi goreng buatan Farel. Aku dapat melihat Farel yang menunggu kami dengan tatapan penuh harap. Mungkin juga dia takut kalau-kalau kami akan menilai masakannya dengan rating yang rendah. Selain itu kami berdua juga sudah bersiap kalau masakan yang dibuat Farel bisa saja terasa aneh. Toh, kesalahan itu wajar saja bagi orang yang baru pertama kali mencoba.

Namun diluar dugaan. Jujur saja, nasi goreng buatan Farel sungguh lebih tinggi dari ekspetasiku. Sontak aku dan Harsa bersitatap. Mata kami membola. Harsa sampai manggut-manggut selesai mencicipinya.

"Kamu belajar dari siapa?" Tanya Harsa yang langsung dijawab oleh tudingan jari oleh Farel.

"Lo bisa masak?!" Tanyaku yang sama terkejutnya dengan Harsa.

"Ya bisa, sih.. Tapi gue cuma pernah ngajarin dia sekali doang."

Yang benar saja, bagaimana mungkin Farel bisa memasak seenak itu hanya dengan satu kali pengajaran.

"Mungkin karena dia juga giat banget belajarnya, setiap kali ada kesempatan pasti gue liat dia lagi bikin nasi goreng," Harsa menjeda sejenak ucapannya. Dirinya terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, "...kira-kira ini udah percobaan ke berapa kalinya, ya?"

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang