16. Kenangan

22 8 5
                                    

"Gue cowok kalau lo lupa."

Ah.. kenapa tatapannya padaku saat ini sangat menggemaskan sekali? Aku kembali berjongkok di depannya, lantas menatapnya lekat-lekat. Dia memalingkan wajahnya dariku, lantas menyuapkan satu sendok ke dalam mulutnya. Aku lantas berdiri, tapi kini ia justru menatapku seperti anak kecil. Menggemaskan sekali. Aku lantas menepuk puncak kepalanya pelan.

"Anak pintar."

Suapan keduanya terhenti di depan mulutnya. Namun, mulutnya yang menggembung serta tatap matanya yang terkejut membuatku benar-benar tak ingin mengalihkan pandanganku darinya. Ah.. ini bahaya.

Aku menggeser lukisanku sebagai peralihan agar tak terlalu lama menatapnya.

"Itu pohon apa?"

Suaranya itu tentu saja membuatku kembali menoleh padanya. Tangannya menunjuk pada lukisan yang selesai kubuat.

"Ini?"

Dia mengangguk semangat. Aku lagi-lagi dibuat tersenyum oleh tingkahnya yang kelewat menggemaskan ini.

"Pohon kenanga," Jawabku.

Dia terlihat berpikir sejenak. Apakah dia menyadarinya?

"Kenapa?" Tanyaku sembari menunduk untuk mengikuti arah pandangnya. "Serem, ya? Pohon kenanga?"

Dia menoleh ke belakang. Aku meneguk ludahku susah payah saat mata kami bertemu. Tak cukup sampai di situ, karena kini dia juga melempar senyum yang membuat jantungku hampir saja meledak karena melihat senyumnya dalam jarak sedekat ini. "Nggak, kok."

Aku balas tersenyum. Lantas mengusap kepalanya pelan.

"Baru kali ini, ada yang bilang gitu."

Baru saja aku menyadari kalau kini, kursi yang cukup usang di sampingku ini, kiranya masih cukup kokoh untuk menopang tubuhku. Aku lantas kembali mengamati lukisan yang kubuat sendiri. Ah.. menyedihkan sekali.

"Lucu, ya? Orang-orang itu gampang menilai sesuatu sembarangan, tanpa mencari tahu makna dari sesuatu yang mereka nilai." Ketika tersadar aku sudah mengucapkan kalimat itu dengan keras. Sekiranya, apa yang akan dipikirkan Sahara ketika mendengar kalimatku ini?

Namun, dia tertawa, dan justru hal itulah yang membuatku bingung.

"Kenapa ketawa?"

"Nggak papa." Tawanya terhenti. Namun, lengkung senyum di bibirnya masih tersisa. "Kenapa pohon kenanga?"

Aku terdiam sebentar. Haruskah aku mengatakannya? Bahkan saat ini aku tak lagi sanggup menatap mata Sahara.

"Karena dia mirip gue." Akhirnya kata itulah yang keluar dari mulutku. Lebih baik, kalau dia tak paham dengan maksud ucapanku.

Dia menatapku bingung. Aku berusaha mencari topik untuk mengalihkan pembicaraan kami sebelum dia menanyakan lebih lanjut.

"Kenapa nggak dimakan?"

"Ini dimakan, kok," Lirihnya yang lantas segera menyendok makanan itu kembali.

"Dihabisin," Ujarku, lantas kembali mengusap kepalanya. Sepertinya mulai saat ini aku sudah menemukan hobi baru selain melukis, yaitu mengusap kepala Sahara.

Aku terkejut ketika secara tiba-tiba tangannya sudah berada di depan mulutku. Namun, aku juga tak bisa menhontrol mulutku yang langsung terbuka ketika dia menyuapiku.

"Kok di makan?!" Dia spontan berteriak.

"Kan lo duluan yang nyuapin," Jawabku dengan mulut yang masih dipenuhi makanan. Ini... bukan salahku, kan?

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang