9. Dia yang Kutunggu

22 6 2
                                    

Pernahkah kalian tengah merindukan seseorang. Lantas tiba-tiba saja mereka hadir dihadapan kalian bagai sebuah keajaiban? Namun sayangnya tak ada yang bisa kalian perbuat. Kalian ingin bertanya, tapi takut jika seandainya orang yang sangat dirindukan itu tak mengenali kalian, atau bahkan dia telah melupakan kalian. Kalian sangat takit jika ternyata apa yang terjadi tidak sesuai dengan ekspektasi kalian. Apa yang akan kalian lakukan?

Tentu saja jika itu aku, aku akan menunggu sampai waktunya tepat untuk mengungkapkan semuanya. Salahkah jika aku terlalu pengecut untuk mendengar sebuah kata "siapa sebenarnya kamu?" atau sekedar reaksi kecil yang menunjukkan bahwa orang yang sangat dirindukan ternyata tak pernah memikirkanku barang sedetik. Salahkah semua itu?

Aku terlalu pengecut untuk mengatakan semua itu. Namun meski menyadari akan semua itu, tetap saja aku sangat senang sekarang.

Di luar, bulan terlihat begitu cantik. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang kosong dan gelap. Langit malam di hari ini begitu terang bertabur bintang. Sosok bulan yang acapkali bersembunyi mulai menunjukkan eksistensinya.

Entah karena cantiknya suasana malam ini, atau karena betapa menyenangkannya hari yang telah kulewati. Perasaanku menghangat di malam yang dingin ini.

Gadis tadi... baik wajahnya, maupun caranya berbicara. Sebenarnya apa yang perlu kupastikan lagi? Bukankah semua itu sangat mirip dengan dia? Lantas apakah dia masih mengingatku?

Tak peduli beberapa kali aku mencoba untuk melupakan perasaan itu. Tetap saja, pertanyaan-pertanyaan remeh itu melintas dengan mudahnya.

"Akh!" Aku memegangi kepalaku yang tiba-tiba saja terasa berputar. Ah, penyakit sialan ini selalu saja datang di waktu yang tak seharusnya.

Aku merogoh obat yang selalu kusiapkan di saku celana. Lantas setelah berhasil membaringkan badan. Aku menenggaknya begitu saja tanpa bantuan air mineral.

Itu hanyalah penyakit kekurangan darah biasa yang diderita oleh kebanyakan orang. Bukan penyakit berbahaya yang bisa membahayakan nyawa. Namun yang namanya penyakit tetaplah penyakit. Meski tak berbahaya, penyakit ini tentu sangat mengganggu keseharianku.

Ah, sudahlah. Tak ada gunanya aku bercerita tentang hal remeh seperti ini. Setelah beberapa saat, rasa sakit di kepalaku perlahan mereda. Namun sialnya adalah aku tak kunjung mengantuk, sehingga untuk beberapa lama mataku tetap setia terbuka. Karena bosan, aku mulai bangkit dari tidurku, dan berjalan ke arah balkon.

Mumpung malam ini adalah malam yang indah, maka kuputuskan untuk menyeduh secangkir coklat panas favoritku untuk kunikmati dengan rembulan di sisa malam yang lumayan panjang ini.

Lagi-lagi bukannya menikmati keindahan rembulan. Mataku justru menangkap keindahan yang lain. Rambut yang berkibar indah saat tertiup angin. Mata yang menatap sendu pada sang rembulan seperti tengah memohon sesuatu. Juga jemari lentik yang tengah menggenggam secarik kertas lusuh--yang kemudian baru kusadari kalau itu adalah pesawat kertas pemberianku.

Sebenarnya apa yang sudah ia lalui sampai wajahnya menjadi seperti itu?

~õÕõ~

"Rara, mau aku buatin pesawat kertas?" Tanya seorang anak laki-laki yang tengah duduk di atas dahan kepada gadis kecil yang sibuk dengan beberapa lembar kertas di sekitarnya.

"Aku bisa sendiri." Gadis kecil itu menolak. Tangannya yang mungil ia gunakan sebaik-baiknya untuk ia bentuk menjadi pesawat seperti yang diinginkannya.

"Gapapa Rara... Kalau Rara nggak bisa itu bilang, nanti Ezar bantu.."

"Rara bisa sendiri!!"

[√] Hydrangea Love | [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang