Pagi tadi, seperti biasanya. Aku selalu mengunjungi panti asuhan itu untuk menyambangi Bapak dan Ibu panti, serta bermain dengan beberapa anak kecil di sana. Atau sekedar melukis bersama Farel. Oh, ya.. Farel adalah anak yang sangat berbakat. Anak itu sudah beberapa kali berhasil menjuarai lomba memasak. Sedangkan akhir-akhir ini, ia bercerita kalau ia ingin sekali berpartisipasi dalam pameran yang akan diadakan beberapa bulan lagi di kota kami. Aku turut senang dan mendukungnya. Meski aku tak mungkin bisa berpartisipasi dalam acara pameran itu. Setidaknya Farel telah mewakili salah satu mimpiku.
Saat aku hendak pulang. Ibu panti membawakanku beberapa bingkisan dengan jumlah yang cukup banyak, sampai-sampai aku tak habis pikir, akan di kemanakan bingkisan-bingkisan makanan itu. Haruskah aku membagikannya pada tetangga sebelah? Lagi pula kenapa Ibu panti membawakanku bingkisan sebanyak ini, di saat beliau sendiri tahu jika aku tinggal seorang diri.
Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membagikan beberapa bingkisan itu pada para tetangga yang tinggal di sebelah. Dengan langkah pasti, aku bersiap keluar untuk membagikan bingkisan-bingkisan itu, dan seperti biasa mereka hanya akan mengucapkan terimakasih seraya tersenyum. Terkadang ada yang mempersilakanku untuk mampir yang tentu saja kutolak.
Meski menurut orang-orang aku adalah anak yang tak bisa diam. Jiwaku masih sama saja seperti pemuda kota pada umumnya yang tak begitu pandai berbaur dengan orang seusia orang tuaku. Aku juga bukanlah orang yang pintar bersosialisasi, jadi jangan harap aku akan mampir tanpa alasan begitu saja di rumah orang lain.
Tinggal satu bingkisan lagi, pas sekali karena aku juga telah sampai pada rumah paling ujung di lantai tempatku tinggal. Namun lagi-lagi, pemandangan di hadapanku berhasil membuatku terkesiap. Gadis ini... rambutnya yang hitam panjang tergerai dengan indahnya. Raut wajahnya yang menatapku dengan malas, seolah aku telah mengganggu ketenangannya itu. Entah kenapa justru membuatku semakin ingin mendekat padanya. Lagi-lagi aku harus mengendalikan diriku sendiri.
"Oh, ternyata yang ini tempat lo?" Pertanyaan itu kutunjukkan hanya untuk menyembunyikan gelombang dalam diriku yang meletup-letup.
"Masuk." Aku tahu, saat ini dia sepeeti tidak ingin diganggu. Raut wajahnya saat ini sudah sangat jelas menggambarkan hal itu. Tapi kenapa.. aku sulit menolak ajakannya ini? Namun, setelah kupastikan tidak ada siapa-siapa di rumahnya, aku justru semakin takut untuk menerima ajakannya.
"Nggak usah, gue cuma ngasih ini aja," Ya, lebih baik seperti ini, "...hadiah penyambutan tetangga baru,"
Ah, sial. Kenapa sulit sekali untuk meninggalkannya begitu saja? Tubuhku seolah lumpuh sementara sehingga sulit digerakkan.
"Lo sendirian di rumah?" Aku bertanya hanya untuk mengulur waktu agar bisa bersamanya lebih lama.
"Iya." Jawabnya, segera setelah aku bertanya.
"Bosen, nggak? Lo mau gue temenin?" Dasar bodoh!! Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol mulutku sendiri.
"Eh, tenang! Gue nggak ada maksud aneh-aneh, kok, kalau lo nggak mau gue juga nggak maksa."
Setelah mengatakan itu, aku bersiap hendak benar-benar meninggalkannya. Namun, suaranya yang lembut nan singkat itu kembaki mengurungkan niatku.
"Masuk."
"Beneran boleh, nih?"
Dia bergeming, lantas meninggalkanku tanpa menutup pintu apartemennya. Apakah dia benar-benar menginginkanku untuk menemaninya? Namun, aku tak lagi sempat memikirkan hal itu, karena langkah kaki ini spontan membawaku untuk mengikuti kemana perginya gadis itu.
"Oke, gue temenin lo sebentar,"
Aku duduk di sofa ruang tamunya. Penglihatanku tiba-tiba saja menangkap secarik kertas lusuh yang di saat berikutnya baru kusadari bahwa kertas itu merupakan pesawat kertas kemarin yang kuberikan padanya saat pertemuan pertama kita. Ternyata gadis ini belum membuang kertas itu. Pas sekali, karena di sampingnya terdapat sebuah pena. Jadi kuputuskan untuk menuliskan nomor handphone-ku agar suatu saat dia bisa menghubungiku. Entah kapan waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Teen Fiction❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...