"Jangan di paksa,” lirihku.
Dia mendongak untuk menatapku. Matanya membesar karena terkejut dengan aku yang tiba-tiba balik mencekal tangannya. Maaf, tapi aku sangat takut akan kembali menyesal jika tak menahannya.
"Ayo ikut gue." Tanpa menunggu jawabnya, aku lantas menarik tangannya untuk kubawa pergi dari sesuatu yang ia takuti itu.Entahlah... aku mungkin benar-benar sudah gila. Alih-alih perlakuan yang kuterima dari keluargaku selama ini, kenapa aku justru lebih sakit saat melihatnya menerima perlakuan tak mengenakkan dari orang tuanya?
Sahara juga tak memberontak selama aku membawanya ke tempat tinggalku. Setelah memasuki apartemen itu, aku mencari handuk bersih yang sekiranya bisa ia pakai, juga beberapa kaos dan celana milikku—karena memang aku tak punya barang milik perempuan.
"Badan kamu basah semua. Mandi dulu, gih." Aku menyerahkan sepasang itu padanya yang kemudian dibalas dengan tatapan menyelidik olehnya. Tatapannya seolah menelanjangiku dari atas sampai bawah.
"Kenapa? Nggak mau mandi?" tanyaku.
Namun pandangannya masih jelas terpaku padaku. Aku mendekatinya, lantas dengan kedua tanganku. Aku mengingatkan ujung handuk yang sudah lebih dulu kutelungkupkan di atas kepalanya. Sehingga saat ini, tampilannya seperti tokoh Masha dalam kartun Masha and The Bear. Aku mengacak rambutnya yang berbalut handuk itu pelan, dan memberikan senyum termanisku padanya.
"Atau mau gue mandiin?" lanjutku.
Matanya membola. Detik berikutnya tangannya sudah terayun untuk memukulku. Namun dengan kekuatan refleks yang kumiliki aku menangkap tangannya.
"Eitts... Gue nggak bakal kena lagi—sshh..."
Ah... sial! Aku sama sekali tak memperkirakan jika kakinya akan ikut melayang padaku. Setelah melakukan kekerasan seperti itu, dia lantas pergi menuju kamar mandi. Aku menatap punggungnya yang terlihat kecil dari belakang.Aku sudah terbiasa menatap punggung seseorang. Sampai tak pernah sedikit pun ada pikiran untuk mengharapkan seseorang berbalik menghampiriku. Tapi kali ini... untuk pertama jalinya, aku mengharapkan bahwa suatu hari nanti pemilik punggung yang kini kutatap dapat berbalik untuk melihatku. Setidaknya sekali saja, aku tak apa. Tak apa, karena impianku berhasil terkabul.
Aku mengeluarkan kanvas yang baru saja kubuat di sekolah tadi untuk memperbaiki bagian yang sedikit menghitam karena hampir terbakar. Selepas itu, kembali kubiarkan terpajang pada easel untuk mengeringkannya. Tak lama setelah itu, Sahara selesai. Aku pun bersiap untuk menanti giliranku mandi. Saat berpapasan dengannya, aku dapat mencium aroma sabun yang menguar dari tubuhnya, juga handuk yang ia lilitkan di kepalanya itu semakin membuat debar jantungku memacu lebih cepat.Yah... aku juga hanyalah manusia biasa bukan yang bisa khilaf kapan saja? Aku bergegas menuju kamar mandi untuk menepis rasa berdebar dalam diriku.
Kini, aku berdiam di bawah guyuran air yang keluar dari shower. Yah.. setidaknya ini lebih baik dibanding berdiam di bawah guyuran air hujan. Merasakan dinginnya air yang perlahan mengaliri tubuh. Bukankah itu bisa sedikit melepaskan beban di pundak yang menggunung? Suara gemercik air yang berhantaman dengan lantai juga air yang lebih dulu terjatuh sehingga menimbulkan genangan.Selama beberapa saat kunikmati segala perasaan yang ada saat itu, juga perih di punggungku yang masih sangat terasa, meski sudah lewat beberapa hari.
Setelah puas menikmati segala perasaan itu, aku pun melanjutkan aktivitasku. Saat keluar aku mendapati Sahara yang terdiam di balkon seraya memandangi langit malam. Kelihatannya menikmati secangkir coklat panas bersamanya sangat cocok untuk menghabiskan malam ini.Aku pun lantas membuat dua cangkir cokelat panas untuk kunikmati bersamanya.
Dia mendongak menatapku saat aku menyodorkan secangkir cokelat panas padanya. Lantas setelah dia menerimanya, aku ikut berdiri di sebelahnya seraya memandangi langit malam tanpa bintang itu. Suara hewan malam menjadi melodi penghias di antara kami.Aroma coklat dan juga sabun dari tubuhnya bercampur menjadi satu. Lantas ketika masing-masing kepulan asap dari coklat panas itu ikut menyatu, aku menatap manik matanya yang sedari tadi memandangiku. Selama beberapa saat, hanya keheningan yang berbicara melalui netra kami masing-masing.
Aku tersenyum. “Manis?” tanyaku, yang lantas dibalas anggukan pelan olehnya.
“Belum ngantuk?” Aku kembali bertanya. Namun lagi-lagi dia hanya membalasku dengan bahasa tubuhnya. Dia menggeleng sambil memalingkan matanya untuk menghindari tatapku.
Aku lantas pergi meninggalkannya untuk mengambil lukisan dirinya yang tadi kubuat di sekolah. Lukisan diriku yang kulukis beberapa waktu lalu juga ikut kubawa untuk kutunjukkan padanya. Lukisan diriku dengan bunga hortensia ungu. Aku kembali padanya untuk menunjukkan lukisan itu.
Selama beberapa menit dia terdiam seraya memandangi lukisan itu. Seakan menyelami makna yang tersembunyi dari lukisan yang kubuat.
"Mau aku ajari?"Udah.. Segini aja dulu spoilernya. Soalnya sekarang masih open PO, mwehehehe..
Meskipun aku tetap melanjutkan cerita ini di sini, pasti akan tetap ada sedikit banyak perbedaan sama versi novelnya, yaa😃
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
ספרות נוער❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...