Entah kenapa aku merasa sikap Sahara terhadapku tadi sedikit berubah. Aku tahu dia memang tipe anak yang tidak banyak berbicara. Namun setelah aku menjadi pemandunya ke kelas ini tadi, ia menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Aku tak tahu pasti apa sebabnya, hanya saja sikapnya itu telampau aneh. Bahkan meski aku melakukan sesuatu yang membuatnya kesal pun, ia tak sampai mendiamkanku seperti ini.
Hari ini aku mencoba memejamkan mata sejenak karena terlalu lelah dengan kejadian semalam. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Mama mampir mengunjungiku. Dulu, kupikir saat Mama mengunjungiku suatu hari nanti, aku akan senang dan langsung memeluknya. Namun nyatanya justru sebaliknya. Alih-alih merasa senang, hatiku justru terasa sesak menyadari sosok yang sangat menyayangiku telah meninggalkanku sendiri dengan orang yang jelas-jelas membenciku.
Jam istirahat hari ini terasa lebih tenang dari biasanya. Aku jadi lebih leluasa untuk beristirahat meskipun tak pernah benar-benar tertidur. Aku hanya menggunakan tidur sebagai alasan agar aku tak terlihat mengenaskan di mata mereka yang mengasihaniku. Jika aku bangun nanti, mungkin saja aku akan mendengar bisik-bisik orang yang membicarakanku, entah itu mengasihani atau ujaran kebencian. Semuanya lengkap sudah. Sayangnya, aku tak menyukai keduanya. Sehingga aku memilih untuk berpura-pura tertidur. Setidaknya dengan begini, mereka akan memganggap bahwa aku tak pernah mendengar ucapan mereka, agar orang-orang itu lelah tanpa alasan dengan sendirinya.
Aku sudah cukup lama dalan posisi ini, aku ingin mengangkat kepalaku. Namun kuurungkan ketika mendengar langkah kaki samar yang berjalan di sekitarku. Itu bukan langkah kaki Sahara.
"Aslinya itu buat Naveen, tapi tu bocah malah tidur,"
Hah.. yang benar saja. Padahal biasanya dia selalu mengganggu tidurku saat datang membawa makanan. Tapi sekarang justru beralih ke orang lain.
"Yaudah simpen aja."
Suara Sahara. Jadi sejak tadi anak itu tetap di sini?
"Buat lo aja, dia kalau udah tidur nggak bisa di ganggu, sampe jam pulang nanti juga masih begitu biasanya."
Memang benar jika aku tak bisa diganggu saat sedang seperti ini, tapi aku tak membenarkan bagian tidurnya.
"Oh iya, ngomong-ngomong lo bisa kenal Naveen gimana? Ah, ralat! Maksud gue Naveen bisa kenal lo gimana?"
"Tempat tinggal kita satu gedung,"
Sebenarnya aku ingin bangun untuk menyahut percakapan mereka berdua. Namun di sisi lain, aku juga ingin mendengar percakapan mereka, dan sejauh mana percakapan di antara mereka.
"Kalian berdua temen dari kecil?" Sahara bertanya. Hah.. yang benar saja. Aku baru mengenalnya saat SMP. Apakah itu masih bisa disebut kecil? Tentu saja tidak 'kan?
"Oh, soal itu, sebenernya nggak dari kecil kecil amat, sih, mungkin sejak SMP? Sebenernya meskipun nama gue Ezar, kebanyakan anak-anak di sini manggil gue Aziel atau kadang Theo, cuma Naveen yang manggil gue Ezar,"
Haruskah aku merasa lega, atau justru merasa kesal? Sungguh, aku benar-benar tak apa jika seandainya Sahara sudah memiliki orang lain sebelumnya, asalkan itu bukan orang yang kukenal. Aku tak ingin lagi kehilangan satu orang pun yang ku kenal.
"Dulu waktu masih kecil.. Kamu pernah punya teman dekat, nggak?"
Akhirnya, percakapan yang kutunggu datang juga. Aku hampir mati penasaran akibat terlalu lama menunggunya. Namun jawaban Ezar selanjutnya, justru membuatku semakin takut akan kehilangan sosok dirinya.
"Punya."
Apakah suatu saat nanti, Rara akan berakhir memilih Ezar? Jika sudah begitu, maka hal yang bisa kulakukan hanyalah... merelakannya, bukan?
KAMU SEDANG MEMBACA
[√] Hydrangea Love | [TERBIT]
Teen Fiction❗Pemberitahuan❗ Cerita ini adalah spin-off dari novel pertama berjudul "KENANGA(N)" yang juga masih banyak sekali kekurangan. Meski sudah diterbitkan cerita ini masih perlu revisi lagi kedepannya. Tidak disarankan untuk membaca cerita ini sebelum r...