Sedari tadi...aku terus memandangi pintu kedatangan terminal 3 bandara Soekarno Hatta. Bukan sebagai sang penunggu, tapi dirikulah yang pergi. Aku tau, kalau tak ada seorang pun yang menungguku di arah sana. Tapi entah kenapa, rasanya kakiku terlalu berat untuk berjalan.
Ah, benar. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Aftaza Rizaldi. Aku pemuda yang memiliki darah keturunan Indo-Turki. Maka itulah aku memiliki 2 nama panggilan. Bila di Indonesia semua teman memanggilku Afrizal/Rizal. Maka orang tuaku di Turki akan memanggilku dengan nama Afta. Memang keren, tapi rasanya itu seperti aib tersendiri.
Tujuanku berada di Bandara ini, ya...karena ingin kembali ke Turki. Sebenarnya bukan ingin. Tapi harus, dan mungkin aku akan meninggalkan tempat ini selamanya. Beralaskan perjodohan antar orang tua terhadap anak-anaknya, yang kini sudah masuk usia pertunangan saja. Itu semua ku setujui karena pertanyaan yang telah ku ajukan padanya. Sesungguhnya aku bisa saja kabur dari semua situasi itu, tapi...keadaan tak mendukung. Padahal aku ragu, namun kalau bukan karena bulatan tekat ini...rasanya mungkin aku menyesal.
“Sudahlah Rizal, tak ada yang menunggumu. Ayo cepat, jangan buang-buang waktu. Anne dan Baba sudah menunggu di Turki,” batinku berusaha untuk menyadarkan diri sendiri dari kelamun abu yang tak jelas.
Senyum pedih terpatri di bibirku. Inikah akhirnya? Aku terus bertanya-tanya akan segalanya.
“Hey, Viola. Maaf karena pergi tanpa memberi tahumu. Aku takut bila menyampaikan ini padamu...bunga yang sudah susah payah kutanam akan layu sebelum mekar. Aku takut kau melupakanku. Maka dari itu, lebih baik aku yang menjadi pria brengsek di sini. Cukup, biar aku yang menanggung semuanya. Jangan kau, ataupun hatimu”
Mungkin itu kata-kata yang akan kuucapkan bila memiliki tekat serta keberanian untuk memberi tahumu, Viola Larasati. Gadis yang selalu kusukai dan kucintai (anak didik ku sendiri).
“Selamat tinggal Indonesia. Selamat tinggal, Viola Larasati”
✳️✳️✳️
Bandara Udara Istanbul Atatürk...
Saat pertama kali aku menapaki tanah kelahiran yang harus di tempuh selama 12 jam 2 menit ini, ada sosok kedua orang tuaku yang tengah berdiri sembari menatap rindu kepadaku. Tak ayal Anne merentangkan tangannya seolah memintaku untuk segera memeluknya.
“Assalamualaikum, Anne..Baba”
“Waalaikumsalam. Oh putraku, Afta,” Anne menangis saat aku sudah ada di dekapannya. Baba? Dia hanya menepuk punggungku sahaja.
Btw, aku belum memperkenalkan mereka. Ini Anne ku, namanya Afika Zea. Dia yang kini merengkuhku. Sedangkan ini Baba ku, namanya Riffat Laveant. Dia yang tadi hanya menepuk pundaku. Anne merupakan orang asli keturunan Indonesia. Sedangkan Baba merupakan keturunan pribumi Turki.
“Ayo kita pulang. Besok kita akan mengadakan pertemuan keluarga sebelum acara. Kamu belum pernah bertemu dengan calonmu, kan?” Baba memisahkan acara lepas kasih ini.
Dia mengambil koperku, sementara Anne sudah menggandeng tanganku. Derita anak tunggal yang sudah 5 tahun tak pulang sama sekali ke Turki. Pastinya akan dimanjakan (hanya sebentar).
Di Rumah...
“Sudah selesai bebersih?”
Mataku sekilas melirik. Tangan yang sedari tadi mengusak-usak rambut basahku berhenti saat itu juga. “Sudah Anne,” begitulah jawabku. Singkat, padat, dan jelas. Aku malas berbelit-belit. Jujur, citra bawaanku masih melekat. Apa namanya kata anak sekarang? Cool? Tsunder? Apa lagi? Entahlah. Akhir-akhir ini aku jadi seperti orang gila yang tak tahu arah pikiran akan berlanjut kemana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi Lain Sang Pembully
Teen FictionAku adalah murid baru di SMP Royal. Hari pertamaku saat masuk sekolah, sangatlah tidak menyenangkan. Mulai dari sebuah teror kejahilan, hingga hal-hal tak terduga yang dibuat oleh sang pembuly disekolah. Namun apa jadinya, jika aku mengetahui alasan...