Menenangkan Diri

15 2 0
                                    

Sudah 7 hari berlalu setelah meninggalnya Kaylen. Sebuah luka duka, masih terasa dihati mereka yang telah ditinggalkan.

Pilu, dan menyedihkan. Penyesalan selalu datang disetiap kejadian yang telah terjadi. Bak sekelebat kejadian, mengingatkan kita akan masa-masa buruk yang telah ditorehkan ke hatinya maupaun kotak memorinya.

Air mata, selalu tercipta dimata sang istri yang ditinggalkannya. Isak tangis, selalu terdengar dari mulut putrinya yang terkatup rapat.

Sudah banyak orang datang untuk menghibur sepasang ibu dan anak ini. Mereka mungkin duduk di satu meja yang sama. Tapi satu kursi kosong yang berada disamping mereka, selalu membuat memorinya tenggelam akan masa lampau itu.

Sebagai penopang hati bagi sang ibu yang bersedih, Karin hanya bisa tersenyum miris melihatnya.

Matanya sudah sembab berulang kali. Kepalanya pusing, setiap habis menangis. Mungkin gejala yang terjadi padanya sangatlah ringan. Tapi tidak dengan Narala.

Setelah Kaylen tiada...dia jadi lebih kurus dan tirus. Wajahnya kadang pucat, akibat tak mau makan sama sekali. Istri dari Alvero ini hanya mau makan, jika dibujuk oleh putrinya.

Itu semua membuat Karin jengah dan lelah. Dia masih berduka, namun ia harus menjadi orang dewasa dalam sekejab mata. Syalvero itu butuh menenangkan diri. Sang gadis tak bisa selamanya terkekang dimasa sulit seperti ini. Kalau tidak, mungkin tepramentalnya bisa kumat lagi.

Karin mulai meneguhkan hatinya, untuk meninggalkan sang ibu untuk sementara waktu. Dia yakin, sang bunda adalah orang dewasa yang bisa mengatur emosinya dengan baik.

Tok...Tok...

Tangannya mengetuk pintu bercatkan hitam didepannya. Lebih tepatnya, pintu ruang kerja ayahnya. Setelah kematian kepala keluarga Alvero itu, tempat ini menjadi ruang menyendiri bagi istrinya untuk mengenangnya. 2 ketukan ia berikan, untuk menarik perhatian orang yang ada didalamnya.

"Bunda, apa Karin boleh masuk?" Tanyanya pada sang ibu yang mungkin sedang melamun, sembari melihat foto ayahnya.

"Ya, silahkan," jawab Narala.

Setelah mendapatkan izin, Karin memasuki ruangan itu dengan pelan dan hati-hati agar memberikan kesan ketenangan.

Dan sesuai dugaannya. Narala masih saja duduk di meja kerja Kaylen, sembari mengelus pelan kaca figura foto suaminya.

Gadis berhijab ini tersenyum tipis. Dia mendekat kearah meja, dan terkejut saat melihat beberapa kertas-kertas yang berceceran diatas meja.

Dia mengambil kertas itu satu per satu, dan menyusunnya dengan rapih. Setelahnya ia membaca tulisan yang ada dikertas itu secara perlahan, untuk mengerti isinya.

Matanya terbelak. Tangannya bergetar. Jemarinya mulai meremat kertas itu, hingga sedikit lecek dibeberapa sudut.

"Apa maksudnya ini bunda?" Tanyanya untuk memastikan.

"Seperti yang telah kamau baca, Karin. Mereka mulai bermunculan, setelah ayahmu tiada. Para kerabat yang gila harta itu, mulai menyerang kita untuk mengambil alih perusahan ayahmu. Padahal mas Kaylen membangunnya dari titik nol. Bisa-bisanya mereka seperti ini," jawab Narala denga sebuah lirih ke kecewaan.

"Lalu bunda tidak mempertahankannya? Kenapa bunda tak melawan? Ini, kan usaha yang telah dibangun ayah dengan susah payah dari titik paling bawah. Masa mau dihancurkan dalam sekejap mata oleh perjanjian berkas konyol"

Mendengarkan perkataan putrinya, Narala mulai sedikit terbangun dari masa terpuruknya. Kepalanya terangkat. Ia terkejut, saat melihat sosok anaknya yang sedang bersikap seperti suaminya.

Sisi Lain Sang PembullyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang