Vicenzo mengusap wajahnya kasar. Tubuhnya lelah, hatinya tak tenang, bahkan pikirannya kacau. Beberapa operasi besar yang harus dipimpinnya ia serahkan pada dokter spesialis lainnya.
Performanya turun sedari Deon pergi meninggalkan keluarganya. Vicenzo sedang tidak fokus dalam pekerjaannya, sering sekali kepala keluarga Garson itu melamun di tengah kegiatannya."Haaah.." entah yang keberapa kali Vicenzo menghela nafasnya pagi ini
Pria paruh baya itu masih dengan steril gown dan cap serta masker medis. Tubuhnya yang lelah hanya bisa bersandar pada dinding ICU yang dingin.
Bunyi pip mononton setia menemaninya, lampu yang menyilaukan mata sedikit membuatnya pusing.
Melihat jam tangannya, terhitung sudah 2 jam Vicenzo berdiri disana. Di ruang ICU priority, ruangan khusus pasien dengan kondisi paling buruk.Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan yang hanya berisi mesin dan alat kedokteran lainnya.
"Kau tidak berencana menyusul Deon kan, Arsha?" tanya Vicenzo
si pemilik nama tentu saja tidak menjawabnya, atau bahkan tidak mendengar pertanyaan Vicenzo kepada dirinya.
"Cukup Deon yang harus papa antar ke rumah barunya. Jangan menyusulnya..
...untuk sekarang...
...Ayahmu sangat terpukul melihat Arsha di dalam ruangan ini...
..Arsha tahu, saudara kembarmu jatuh pingsan dan sampai sekarang belum juga sadar..
..Rajaa.., maaf Papa belum tahu dimana adikmu itu sekarang."
Masih berdiri bersandar dinding, Vicenzo mengobrol dengan Varsha yang masih menutup mata.
"Kenapa semua anak-anak tampan Papa hobi sekali menutupi wajahnya dengan selang dan kabel rumah sakit, ha..
..tidak Deon, tidak dirimu. Sama saja."
Vicenzo membuat lelucon sedih untuk dirinya sendiri.
"Jangan terlalu lama tidur ya, Arsha..
..Papa, dokter Danu dan semua staff rumah sakit akan melakukan segala cara untuk menyembuhkan Arsha...
...jadi Arsha harus janji pada Papa dan semua orang untuk bertahan..
..sebentar lagi, Arsha.. sebentar lagi..
..tolong beri Papa kesempatan untuk menebus kegagalan Papa kepada Deon.."
###############
Rajendra tersenyum memandangi ponselnya yang menampilkan foto cucunya, Arasyaa.
Pria tua yang sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya duduk di atas kursi roda itu mempunyai hobi baru, yaitu meneror Sandra, menantunya untuk mengiriminya foto Arasyaa setiap hari.Rajendra sebenarnya ingin Arasyaa tinggal bersamanya, namun itu tidaklah mungkin dengan kondisi dirinya sekarang dan mengingat usia Arasyaa masih kecil, cucunya itu masih memerlukan ibunya.
Rumahnya sepi, hanya ada dirinya dan beberapa pekerja. Gaffandi akan datang di pagi hari dan pulang saat dirinya sudah tidur. Rajendra kesepian di rumah besarnya, rumah yang menyimpan banyak kenangan ketiga putranya.
Pernah satu kali Rajendra menawari Sandra untuk tinggal di rumahnya, agar dirinya bisa bertemu dan bermain bersama Arasyaa setiap hari. Namun jawaban Sandra membungkam mulutnya untuk kembali memaksa.
"Maaf Ayah, bukan Sandra tidak mau,
..jika Ayah meminta Sandra dan Asaa untuk tinggal disini, maka Ayah juga harus menerima Varish kembali lagi."
Dan Rajendra hanya bisa diam mendengar jawaban Sang menantu. Ia tidak marah, justru semakin mengagumi bagaimana sosok perempuan yang menjadi ibu dari cucunya itu.
Tembok kebencian yang dia bangun untuk Varish begitu kokoh dan tinggi menjulang. Layaknya mesin berkarat, egonya tidak pernah mau di gerakkan untuk kembali memeluk putra satu-satunya yang dia miliki sekarang.
Bahkan Alexandro dan Faraa sudah menyerah untuk memaksanya meruntuhkan tembok tak kasat mata itu.
"Cucu anda sangat tampan, Tuan." ucap Gaffandi
Asisten pribadinya yang kini merangkap menjadi perawat meletakkan nampan berisi makan siang di atas meja di samping kursi rodanya terparkir.
"Aku merasa seperti melihat Arsha kecil. Mereka sangat mirip." ucap Rajendra semangat
Gaffandi hanya tersenyum mendengar lagi-lagi Rajendra menyebut nama putra tengahnya. Pria paruh baya yang mengabdi pada Rajendra itu melihat betapa hancurnya hidup Sang Tuan ketika putra kedua dan ketiganya pergi selamanya.
Melihat bagaimana suramnya kehidupan Rajendra sejak saat itu. Dan kini melihat senyum tulus Rajendra perlahan kembali menghiasi wajahnya yang semakin menua.Arasyaa nyatanya menjadi pelangi di tengah badai kegelapan hidup Rajendra. Layaknya anak kecil yang menggemaskan dan selalu ingin tahu, gerak-gerik dan celotehan Arasyaa mampu menarik perhatian Rajendra yang sempat berhenti di satu titik.
Wajah mungil nan rupawan anak itu mampu menggetarkan hati siapa saja. Bahkan Gaffandi ingat bagaimana seorang Alexis, putra bungsu Mikolas yang terkenal sangat serius dan dingin tak tersentuh itu mampu tertawa lepas saat menanggapi ocehan Arasyaa.
Anak berusia 5 tahun itu benar-benar menjadi matahari di kala hujan, menjadi pelangi di tengah badai. Namun tak jarang juga Gaffandi melihat Rajendra terisak pelan ketika melihat foto Sang cucu. Dalam benaknya mungkin Rajendra sedang berandai-andai jika Varsha, putra tengahnya itu masih bersamanya.
Wajah Arasyaa benar-benar mirip dengan Varsha, bahkan anak itu tidak ada kemiripan dengan Varish yang notabene adalah Ayahnya. Orang yang tidak mengenal mereka pasti akan mengatakan jika foto Arasyaa adalah foto masa kecil Varsha.
Dan Gaffandi cukup tahu, jika Arasyaa adalah senjata Varish untuk menghancurkan dinding pemisah hubungannya dengan Rajendra. Entah Rajendra menyadari atau tidak, yang jelas semua orang di lingkungan mereka paham hal itu.
Memang belum sempurna dan kembali seperti sedia kala, namun Gaffandi yakin suatu saat nanti hubungan Varish dan Rajendra akan kembali seperti sedia kala, berdamai dan hidup bahagia bersama.
Setidaknya hal itu adalah keinginan Gaffandi dan semua orang yang dekat dengan mereka. Bagaimanapun juga, Nama besar Wijaya hanya tinggal mereka berdua yang menyandangnya.
Gaffandi pun masih ingat ucapan penuh pengharapan dari putra sulung Rajendra,
"Katakan aku adalah Ayah yang egois, menumpukan harapan besar pada bahu kecil Arasyaa yang tidak tahu apa-apa...
...tapi jujur, aku sudah tidak tahu harus dengan cara apa lagi agar Ayah mau melihatku."
********************^^*********************
bubyeeee 😘