"Dasar brengsek! Bangun! Jelaskan apa maksudmu, sialan!"
DREEEEESSS
"Beraninya pergi tanpa pamit, tanpa mengatakan yang sebenarnya! Bagaimana nasib anakmu, sialan!....
...Bangun.! ARSENIO TYAGA EMILIO GARSON!! BANGUN..! BANgun.. tolong!"
Derasnya hujan hari ini meredam teriakan Ivander. Awan kelabu bertengger sedari pagi diatas sana, tidak memberi ruang Sang mentari untuk menghangatkan jiwa yang sedang dirundung duka.
Tanah berhias batu hitam dengan ukiran nama Arsenio di atasnya itu menjadi target kepalan tangan Ivander bertubi-tubi. Jelas, tangan pria itu yang kalah.
Tidak ada suara tangis, atau mungkin tidak terdengar. Petir beberapa kali menggelegar, air dari langit yang jatuh tidak berniat untuk berhenti barang sebentar saja. Shenna duduk di kursi roda dengan pandangan kosong, Vicenzo beberapa saat yang lalu jatuh terduduk di samping istrinya.
Ivander? Sedari dirinya sampai di tempat paling ia benci ini, mulutnya terkatup rapat tanpa sepatab kata pun. Telinganya sengaja ia tulikan dari semua suara yang bisa ia dengar. Mata setajam elang itu akan menyorot lebih sadis bak belati, siap menghunus siapapun yang mendekatinya.
Hingga detik pusara itu tertutup dengan batu nisan penanda, pecah tangis Ivander. Tidak ada yang berani mendekatinya, pun tak seorang pun mencegah Ivander melukai jari-jarinya akibat memukuli batu.
Hanya ada beberapa orang di tempat itu, para kolega keluarga Garson, petugas pemakaman, dan beberapa rekan Arsenio sudah beranjak sesaat setelah peti berisi tubuh kaku Arsenio terkubur. Hujan pula lah yang menjadi alasan orang-orang ini untuk segera pergi.
Tersisa keluarga inti Garson, Keandra dan Alexis Mikolas, dokter Danu, asisten pribadi Arsenio, staff rumah sakit yang bertanggung jawab untuk Shenna, Varish dan Arasyaa.
Ivander beranjak dari duduknya. Tubuhnya basah kuyup karena menolak menggunakan payung. Mata sayunya menyorot kearah kedua orang tuanya. Shenna benar-benar kosong, Ivander yakin bahwa yang dilihatnya hanyalah raga Sang ibu sedangkan batin Shenna mengembara entah kemana.
Ivander melihat betapa hancurnya Sang Ayah, Vicenzo hanya diam, bahkan Ivander bisa membedakan mana air hujan dan mana air mata Vicenzo yang mengalir di wajah Sang Ayah.
"Bicaralah jika ada sesuatu yang ingin kau sampaikan." ucap Ivander pada Varish
Varish mendongak, menyeimbangkan tubuhnya yang sedikit kebas karena harus menggendong Arasyaa yang tertidur dan menjaga payung hitam itu agar tetap melindungi mereka dari air hujan.
"Ah..iya." ucap Varish
"Barikan Asaa padaku." Keandra berjalan mendekat
Dengan perlahan Varish memindahkan tubuh Arasyaa ke rengkuhan Keandra. Sedikit bocah kecil itu menggeliat, namun kembali menyamankan tidurnya saat mencium aroma yang familiar untuknya.