46 - Puti Josephine

57.2K 3.7K 770
                                    

Demi tidak di lempar ke jurang, Maxi berjanji bahkan bertanda tangan di kertas yang menunjukkan jika Maxi tidak akan bertingkah melampaui batas lagi. Pria itu menghampiri Taylor Roosevelt sebagai istri yang selama ini dia abaikan, di pandanginya wajah cantik seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak untuknya.

"Taylor, maafkan segala kesalahanku di masa lalu."

Taylor tersenyum sekilas, dia paham betul bagaimana lingkungan pertemanan Maxi. Tidak kaget jika pria itu suka bermain dengan banyak perempuan, "Tidak masalah, Milan. Yang aku butuhkan bukanlah perhatianmu atau cintamu padaku, tapi perhatian dan cintamu untuk anak kita, dia sangat membutuhkannya, Milan."

Maxi tercenung, benar, sebagai seorang Ayah, Maxi sudah begitu lalai dalam menjalani kewajibannya pada sang anak. "Maafkan aku, aku janji akan berubah demi kamu dan anak kita."

Ini kabar yang sangat baik, Taylor tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Sedangkan di kediaman tua, Portia dan Qistina tidak menerima gugatan cerai yang Eduardo layangkan pada mereka. Rose? Puti? Georgia? Mereka adalah wanita-wanita yang tidak peduli pada perceraian itu. Bahkan dengan santainya, mereka menandatangani surat cerai itu.

Terutama Georgia yang lempeng saja dengan wajah datar, Puti menghampiri anaknya. Wanita itu menunduk, "Sayang, kita akan pergi dari kediaman ini. Mau kan jika kita tinggal hanya berdua?"

"Mau kemana Ibu? Apa harus berdua? Ayah tidak bisa ikut?"

Puti tersenyum, "Tidak, sayang. Kamu adalah milik Ibu, jadi kamu akan ikut kemana pun Ibu pergi, tanpa Ayah."

"Ibu? Bagaimana kalau aku merindukan Ayah?"

"Biarkan dia di sini," suara bariton Eduardo membuat Puti Josephine menolehkan kepala, "Tidak. Aku akan pergi dari rumah ini, kita juga sudah bukan suami istri kan? Elea anakku, dia adalah milikku."

"Tapi ada darah Lund dalam dirinya! Kau boleh pergi, tinggalkan dia di sini bersamaku."

Puti terkekeh, "Tidak bisa. Aku yang mengandung dan melahirkannya, maka aku juga yang harus merawatnya sampai dia besar." Puti melangkah maju, berbisik tepat di telinga Eduardo. "Jangan lupa, Ed. Elea bukanlah anak kandungmu, kau tidak ada hak atas dirinya."

Eduardo mengeraskan rahang, pria tua itu berbalik badan dan melenggang pergi. Tidak peduli meskipun Puti pergi membawa anaknya, "Sayang. Ayo kita pergi,"

"Sekarang, Bu?"

"Iya, ayo, sayang."

Puti bersama anaknya pergi meninggalkan kediaman tua menuju sebuah rumah yang sudah Puti beli dengan uangnya sendiri, bukan uang nafkah Eduardo selama dirinya menjadi istri pria itu. Di balik statusnya sebagai istri muda Eduardo, Puti tetaplah di anggap sebagai partner ranjang saja. Tidak ada hal yang spesial seperti pasangan pada umumnya.

Membuat Puti seringkali mencari hiburan di luar kediaman, Eduardo tidak marah meski sudah berkali-kali memergoki. Puti seakan mendapat jackpot dengan itu semua, "Sayang, dia bukan Ayahmu, jadi jangan menyebutnya Ayah lagi, oke?"

Eleanor tidak mengerti, tapi dia tetap mengangguk. "Iya, Ibu."

Di usapnya kepala Eleanor dengan lembut, "Kita akan tinggal bahagia di rumah baru, Elea. Jangan khawatirkan apa pun,"

"Iya, Ibu."

Malam harinya, setelah memastikan Eleanor tidur dengan nyenyak dan ada Bibi pelayan yang akan menemani Eleanor, Puti pun pergi menggunakan taksi. Wanita itu menatap keluar kaca jendela, hidup keluarganya di desa sudah damai dan terpenuhi dengan baik. Semua uang yang dia kirim ke desa, bukan uang Eduardo, uang miliknya sendiri.

Puti tidak ingin Eduardo mengungkit masalah uang kelak, makanya dia selalu mencari uang sendiri meski sudah menjadi istri Eduardo. Yang terpenting itu, nafkah batin Eduardo tidak kurang, maka Puti akan aman mau melakukan apa pun. Benar, Puti tetap bekerja bersama Madam Adrianne. Dia bekerja sebagai pelacur para pria kaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya di desa, kini tambah satu, Eleanor.

Dari rumah, Puti memakai pakaian tertutup mantel tebal, sampai di rumah Madam Adrianne, Puti mengganti pakaiannya dengan dress ketat yang sangat kekurangan bahan, di bawa melangkah pun, bokongnya akan terlihat. "Selamat datang anak cantiknya Madam,"

Selain Anna, Puti adalah anak didik Madam yang sangat menguntungkan. Tidak kaget kalau Madam begitu baik dan memanjakan Puti, "Terima kasih, Madam. Di mana kamarnya?"

"Kamar VVIP nomor tujuh ya! Ada beberapa pria kaya yang sedang berkumpul di sana, berikan tampilan yang memukai dan Madam yakin, kau pasti bisa menggaet salah satu dari mereka hingga ke kamar." Puti tersenyum mendengar ucapan Madam Adrianne, dia pun pergi menuju kamar VVIP nomor 7 di lantai teratas gedung ini.

Sesampainya di kamar yang di sebutkan, langkah Puti melambat, wajahnya berubah pias saat bersitatap dengan mata elang yang kini menyipitkan mata. Puti buru-buru bersikap biasa saja, wanita itu tersenyum genit sembari berjalan sensual. "Benar-benar jalang," Puti mengabaikan sindiran itu, dia memilih duduk di salah satu pangkuan seorang pria kaya.

"Emilio, kau terlihat sangat membencinya."

Yang di sebut hanya mendengus, "Aku tidak membencinya, hanya menyesali kenapa bisa bermalam dengan wanita bekas pakai seperti dia."

Kedua tangan Puti terkepal erat mendengarnya, "Jaga ucapan Anda, Tuan. Saya memiliki harga diri!"

"Oh? Punya? Kirain sudah putus," Emilio Benedict sangat santai menanggapi Puti yang semakin emosi bukan main.

Pria itu berdiri setelah mendapatkan sebuah pesan, "Aku harus pergi. Ada urusan mendesak,"

"Baiklah, hati-hati, Emil."

"Ya,"

Emilio Benedict pergi dengan mobil mewahnya menuju salah satu restoran terkenal di Ibu kota, restoran Veitch. Sesampainya di sana, Emilio langsung menuju ruangan miliknya.

***

"Hati-hati, sayang."

Iris meninggalkan kecupan di kedua pipi anaknya, "Siap, Mom! Bye Mommyku sayang!"

Selepas Koa masuk ke dalam mobil, Elazein mendekati istrinya. Pria itu berhadapan dengan Iris sembari melingkari tangannya di pinggang ramping Iris. "Tidak mau menciumku juga?"

Iris terkekeh, Elazein masih saja cemburu pada anaknya sendiri. Wanita itu pun turut melingkari tangannya di leher Elazein, melangkah mundur supaya kegiatan keduanya terhalang pilar besar dan tak terlihat oleh Koa. Sepasang suami istri berciuman dengan mesra hingga meninggalkan suara kecupan basah yang menggairahkan, tak sadar jika Koa di dalam mobil, begitu kebosanan menunggu.

"Aku jadi malas bekerja, sayang." Elazein menatap sayu istrinya, membuat Iris tertawa. "Sepulang kerja, kau akan mendapatkan apa yang kau mau. Sekarang, berangkatlah, Koa sudah menunggu di dalam mobil."

Dengan wajah lesu, Elazein menganggukkan kepala. "Aku pamit, sayang."

"Iya, hati-hati."

Iris melambaikan tangannya saat mobil yang di kendarai asisten Ludwig dan di tumpangi oleh Koa juga Elazein telah melaju. Wanita itu tersenyum sangat manis, kehidupan kedua ini membuat Iris tiada henti mengucapkan syukur. Dia berhasil melewati rintangan demi rintangan di kehidupan kedua ini, dengan baik dan tidak kehilangan suami juga anaknya.

Terima kasih Tuhan.

***

Karena sekarang jam 20.50 maka untuk bab selanjutnya,

500 KOMENT UNTUK NEXT CHAPTER!!

Byee!!

Perjuangan Dia Yang Terlahir KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang