Extra Part 2 ─ Everett

3K 128 5
                                    

"Tuan, ada sedikit hal yang harus saya selesaikan. Saya pamit sebentar,"

Meski tahu Elgar tidak akan pernah menjawab ucapannya, Dom tetap mengatakan, dia tersenyum tipis sebelum pergi meninggalkan Tuannya yang duduk seorang diri di tepi ranjang dengan pandangan lurus yang setia menatap kosong, sekosong hatinya saat ini, saat lalu, atau pun di masa depan kelak.

Kepergian Dom, membawanya menuju mansion di pinggir kota. Dia pergi menggunakan helikopter untuk meminimalisir lamanya waktu yang akan terpakai, dia tiba di halaman luas kediamannya hanya dalam waktu 15 menit. Jika lewat jalur darat, bisa memakan waktu lama karena medan jalan yang terjal dan menyulitkan.

Dia turun dari helikopter, berjalan dengan kedua tangan di dalam saku celana. Dia bertemu seorang pria di sana, berjabat tangan singkat dengan lirikan mata ke arah perempuan yang memejamkan mata di atas sofa panjang. "Saya Emilio, Tuan. Utusan Nyonya Isabella yang ditugaskan mengantar Nona Everett ke kediaman ini."

"Oh, kau orang pesuruh itu? Baik, kau bisa pergi."

Emilio menatap Everett yang masih memejamkan mata, "Saya mohon jaga dia. Dia masih terlalu muda untuk menerima keadaan ini,"

"Selagi dia berguna, dia akan saya jaga. Silakan kau pergi,"

"Baik, saya permisi."

Emilio pergi meninggalkan kediaman megah milik Dom, yang dia pikir, kelak, dia bisa datang ke kediaman ini kembali untuk menjenguk Everett. Tapi nyatanya, setelah kepergian Emilio, Dom memerintahkan anak buah perempuannya membawa Everett ke dalam helikopter yang baru disiapkan.

Dia akan langsung membawa Everett ke kediaman Elgar yang jauh dari kota, Elgar tinggal di tengah-tengah hutan. Dia suka kesunyian, dia benci suara mobil atau kendaraan apa pun itu. Benar, kecelakaan yang membuatnya kehilangan indera penglihatan, membuat Elgar membenci suara kendaraan terutama mobil, dia selalu menutup telinga dengan musik bervolume besar jika terpaksa menggunakan mobil.

Bagi Elgar, hidupnya telah mati sejak indera penglihatannya direnggut. Dia tak memiliki gairah hidup seperti orang pada umumnya, dia cenderung menikmati kesendirian, kesunyian, dan tak memiliki emosi apa pun yang bisa dia luapkan. Dia hanya mampu memendam segalanya seorang diri selama bertahun-tahun.

"Tuan, saya Jane."

Elgar tak menjawab, Jane pun sudah paham. Wanita yang tengah mendorong troli berisi makan malam itu mendekat, "Makan malam Anda sudah siap, Tuan. Apa Anda sudah membersihkan diri?"

Elgar tetap bungkam.

Lagi-lagi Jane tersenyum, dia akan bertanya pada Dom saja nanti karena Dom seperti pita suara dan mata untuk Elgar. Pria itu bisa jadi multifungsi, "Makanan saya simpan di depan Anda ya, Tuan. Saya ke depan, permisi."

Tepat setelah suara knop pintu tertutup terdengar, Elgar mengulurkan tangan, dia mendorong semua piring dan mangkuk di atas troli hingga jatuh berantakan ke atas lantai, pecah berserakan tanpa peduli mengenai kakinya. Di depan pintu kamar, Jane menatap nanar, dia mendengar suara pecahan yang sudah biasa dia dengar tiap sehabis mengantar makanan.

"Semoga penderitaan Anda cepat berlalu, Tuan."

Jane pun kembali ke dapur, bukan kodratnya membersihkan pecahan piring atau masuk di saat Elgar tengah meluapkan secuil kegelapan di hatinya. Jika dia nekat, dia hanya akan mengacaukan suasana hati Elgar. Biarkan Dom yang nanti mengurus sisanya, karena biasanya juga begitu.

***

"Ada apa, Jane?"

Jane melihat Dom keluar dari lift, benar, Dom baru tiba dan langsung memerintahkan anak buahnya membawa Everett ke dalam kamar yang telah disiapkan. Ini sudah malam, makanya dia menemui Jane lebih dulu. "Wajahmu terlihat khawatir dan cemas, ada apa?"

"Tadi saya mengantar makan malam untuk Tuan,"

Dom langsung terkoneksi, pria itu mengangguk. "Saya akan melihat Tuan lebih dulu,"

"Baik, saya akan membawa makan malam yang baru, Tuan Dom."

"Ya, bawakan yang masih hangat."

Ketika Dom membuka pintu kamar Tuannya, pria itu menggeleng pelan dengan tatapan sendu. Dia melihat Tuannya yang seperti mayat hidup di tepi ranjang, dia tak berubah posisi sejak Dom pergi. Hanya saja, ada aksesoris tambahan di atas lantai yang tidak lain, pecahan piring, mangkuk, gelas, juga isinya yang berserakan mengotori.

Dengan telaten, Dom mengambil alat kebersihan yang selalu ada di kamar Tuannya, dia membersihkan pecahan di atas lantai, membersihkan pula sisa makanan hingga tak meninggalkan sedikit pun aroma tak sedap. Setelahnya, dia berdiri di hadapan Tuannya. "Anda harus makan malam, Tuan. Tidak ada pilihan untuk tidak makan malam,"

Dom melirik ke arah ambang pintu di mana Jane berdiri, dia mengangguk, mempersilahkan untuk Jane masuk mendorong troli. "Jika Anda tak ingin makan, saya akan meminta Dokter memasang infus. Anda perlu asupan, Anda tidak boleh dehidrasi."

Dengan cekatan dan begitu telaten, Dom mengambil mangkuk berisi sup daging, dia menyendok kan sedikit nasi merah yang dia campur dengan kuah sup daging. Pelan-pelan dia suap kan pada Elgar yang beruntung mau membuka mulutnya, "Tuan, hidup menghadapi kegelapan itu butuh asupan. Anda tidak boleh kelaparan juga kehausan untuk bergerak berperang,"

"Anda tahu, Tuan? Tidak akan ada yang menghakimi Anda jika Anda bisa meluapkan emosi. Anda memang harus meluapkannya, jangan memendam seorang diri terus menerus. Anda tampan, tidak boleh depresi karena banyak yang Anda pendam."

Tiba-tiba,

Prang!

Mangkuk di tangan Dom jatuh pecah setelah Elgar menepis tangannya, Dom tidak marah, dia malah tersenyum tipis dan meminta Jane yang terkejut untuk kembali ke dapur sekarang juga. Setelah kepergian Jane, Dom berdiri, dia melepas jasnya yang terkena kuah sup. "Sudah ada peningkatan untuk Anda melampiaskan emosi, Tuan. Bagus, sekarang, Anda makan lagi ya. Jane sudah menyiapkan tiga mangkuk sup daging untuk jaga-jaga,"

Elgar benar-benar seperti mayat hidup, dia akan membuka mulut lalu menepis tangan Dom hingga mangkuk di tangan pria itu jatuh menghantam lantai tiap kali merasa tak ingin makan. "Baik, tiga mangkuk sudah pecah semua. Anda mau membersihkan diri sendiri?"

Tanpa kata, Elgar berdiri, dia melangkah dengan mengulurkan tangan untuk melihat keberadaan tempat di depannya. Dia tak acuh ketika kakinya menginjak pecahan mangkuk, dia juga tak mengindahkan darah yang bercetak telapak kakinya di atas lantai yang putih.

Di belakang, Dom melihat semuanya dengan senyum nanar. Tak menyangka, kehilangan indera penglihatan menjadi hal utama Elgar kehilangan hidupnya. Dia benar-benar hanya berlakon layaknya patung hidup, dia tak mau bicara, tak mau berekspresi, dan hanya mengungkapkan emosi seadanya tanpa perlawanan atau hal mengerikan lain.

"Semoga, perempuan itu perempuan yang tepat untuk Anda, Tuan. Anda harus bisa bahagia bagaimana pun caranya,"

Dom menatap iba pada segala penderitaan Elgar selama pria itu hidup puluhan tahun.

***

Chapter 3 sudah ada di karya karsa ya!!

Jangan lupa tinggalkan jejak!

Dan untuk kalian yang menanyakan cerita Everett, mana nii? Coba absen🤩

Perjuangan Dia Yang Terlahir KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang