Siang ini Syaqira terlihat lebih bugar. Begitu Bunda Annisa dan Ayah Fahri datang menjenguk nya, Syaqira merasa lebih baik dibanding sebelumnya. Tadinya yang seakan tidak nafsu makan, saat ini malah terlihat sangat lahap karena disuapi oleh Bundanya. Umi Hafsah mengulas senyumnya melihat Syaqira yang tidak selemas tadi.
Sebelumnya, Umi Hafsah dibuat khawatir oleh Syaqira. Sebab, sedari semalam panas ditubuhnya tidak turun-turun. Tapi Alhamdulilah nya, setelah kedatangan orang tuanya, Syaqira sedikit lebih baik. Setidaknya menantunya itu tidak selemas tadi.
"Syaqira memang begitu, Mi. Kalau sudah kepikiran sampe kebawa mimpi pasti ujung-ujungnya sakit. Sama Ira nya dijadikan beban soalnya, dipikirkan terus sampe bumpet." Ucap Bunda Annisa seraya terkekeh pelan.
"Yo wajar, Bun. Ira masih kecil yo? Kalau sudah kangen ya maunya harus ketemu. Kayak Ibra dulu, waktu Tsanawiyah itu kan masih lugu-lugunya, pertama kali juga dipesantren yang beda. Masih nempel-nempel nya sama saya, setiap telefon ya pasti mewek. Sama saja kayak Ira. Bedanya, waktu Aliyah udah besar, sudah betah juga jadi ndak nangis-nangis lagi." Ucap Umi Hafsah sembari terkekeh kecil mengingat bagaimana Ibra saat dipesantren dahulu.
"Ternyata Gus Ibra sama saja." Batin Syaqira terkikik geli.
Cukup Lama mereka berada dikamar Gus Ibra. Sampai tidak terasa Gus Ibra, Ayah Fahri dan Kyai Abdullah telah selesai sholat berjamaah di masjid. Gus Ibra memasuki kamarnya dengan sopan, lalu berdiri disamping Umi Hafsah.
"Sudah selesai to, Ibra? Abi sama Pak Fahri sudah pulang juga?" Tanya Umi Hafsah.
"Sampun, Mi. Itu dibawah." Jawab Gus Ibra.
"Oh yasudah, ayo Bun makan dulu kalau gitu." Ucap Umi Hafsah bangkit dari duduknya.
"Repot-repot sekali, monggo njenengan mawon." Ucap Bunda Annisa.
"Heee! Yo ndak, makan sama-sama. Saya sudah masak banyak tadi." Ucap Umi Hafsah tidak merasa direpotkan sama sekali.
"Silahkan Bun, Ira biar saya yang suapi." Ucap Gus Ibra sopan.
"Yasudah, titip Ira ya nak." Ucap Bunda yang diangguki oleh Gus Ibra. Sepeninggal Umi dan Bunda. Gus Ibra kembali menyuapkan nasi itu kemulut Syaqira.
"Tadi teman-teman kamu kesini. Nanyain kamu ada disini atau tidak." Ucap Gus Ibra seraya mengusap kepala Syaqira dengan lembut.
"Terus, gus bilang apa?" Tanya Syaqira.
"Ya saya bilang, ning kalian sedang sakit." Ucap Gus Ibra.
"Gus! Maskdunya apa sebut Ira ning dihadapan mereka? Gus nyari mati, ha?! Gus Ibra ini yah, kok malah cari-cari masalah baru." Ucap Syaqira dengan tidak santainya. Gus Ibra malah terkekeh pelan melihatnya yang membuat Syaqira seketika naik darah.
"Tidak ning, yang benar saja. Bisa-bisa saya diamuk sama kamu. Nasib saya akan seperti Fahira nanti." Ucap Gus Ibra seraya mencubit pelan hidung Syaqira.
"Tuh tau. Ira kan belum mau diumbar dulu pernikahannya, pasti kalau dikasih tau orang-orang akan omongin kita yang engga-engga." Ucap Syaqira.
"Kok begitu?" Tanya Gus Ibra dengan dahi berkerut.
"Ya kan, Ira beda jauh kalau sama Gus. Sudah pasti banyak yang ngga suka. mereka itu kaum pendukung kapal Gus Ibra sama Ustadzah Ana. Mereka selalu cerita seolah-olah Gus Ibra sama Ustadzah Ana emang ada hubungan, terus bakalan nikah suatu saat nanti. Mereka aja malah udah bayangin kalau Gus Ibra punya anak sama Ustadzah Ana, pasti lucu katanya." Ujar Syaqira.
"Tapi yang dikatakan mereka kan tidak benar." Ujar Ibra.
"Buktinya istri saya itu kamu, bukan Ustadzah Ana." Lanjutnya sembari membelai kedua pipi Syaqira.
KAMU SEDANG MEMBACA
IBRA [Sudah Pernah Terbit]
General FictionIni kisah Syaqira yang harus menerima kenyataan jika dirinya akan menikah dengan gus nya sendiri, juga Gus Ibra yang harus membimbing santri Abinya yang kini berubah status menjadi istrinya. Sifat keduanya sungguh berbanding berbalik, Gus Ibra yang...