'Ibrahim untuk Syaqira'
______•••______
Hari ini terakhir Gus Ibra berada dipesantren, sedari tadi pun dirinya sudah menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke pesantren At-Taqwa. Dibantu oleh Umi Hafsah, Gus Ibra kembali mengecek barang bawaannya. Besok siang, Gus Ibra akan berangkat ke pesantren At-Taqwa. Pesantren milik teman Kyai Abdullah yang meminta Gus Ibra mengajar disana untuk sementara waktu.
"Istrimu wes dikasih tau?" Tanya Umi Hafsah menatap putranya yang masih merapikan barang-barang nya.
"Sampun Umi," Jawab Gus Ibra seraya menutup kopernya.
"Ndapapa to kamu tinggal? Takutnya nanti kesepian kalau tidak ada kamu." Ujar Umi Hafsah.
"Tapi teman Ira iku banyak, sepertinya ndak masalah. Paling cuma rindu saja yo? Itu pun bisa diobati dengan telefon kamu kan." Imbuhnya.
"Ngga apa-apa Umi, nanti dua minggu sekali Ibra pulang kesini." Jawab Gus Ibra seraya mendudukkan dirinya diatas kasur.
"Yowes, kamu hati-hati lho disana. Kalau ada apa-apa bilang Umi, jangan lupa kalau disini sudah ada istri. Jangan sampe ya, Ibra pulang-pulang bawa istri baru." Peringat Umi Hafsah.
"Astaghfirullah Umi, yo ndak mungkin Ibra begitu. Bagi Ibra, Ira saja sudah cukup." Ucap Gus Ibra seraya mengelus dadanya pelan, tidak habis fikir dengan ucapan Uminya.
"Bagus, emang seharus e kayak gitu to? Umi ndak mau dapat menantu lagi. Sudah cukup Hilya, sama Ira saja." Ucap Umi Hafsah.
"Umi percaya, anak Umi ini anak yang sholeh, tidak mungkin melakukan hal seperti itu, ya to? Tidak ada niatan menikah lagi kan?"
"Mboten Umi. Umi ndak perlu khawatir, Ibra tidak mau nambah istri. Satu saja sudah bikin Ibra bahagia, mik." Ucap Gus Ibra.
"Iyo, Umi wes percaya. Anak Umi kan anak baik, anak sholeh. Ndak mungkin berpikiran seperti itu. Apa lagi ada niat untuk menduakan menantu Umi." Ujar Umi Hafsah nengusap lengan Gus Ibra pelan.
"Ibra titip Syaqira ya Umi. Ira memang sedikit bandel, tapi kalau dibimbing sama Umi InsyaAllah, anaknya langsung nurut." Kekeh Gus Ibra.
"Hus, kamu ini. Emang e kalau sama kamu nduk Ira ndak nurut?" Ucap Umi Hafsah.
"Nurut Umi, tapi kalau sama Ibra kadang banyak protesnya. Kalau sama Umi pasti iya-iya aja anaknya. Beda kalau sama Ibra harus debat dulu." Jawab Gus Ibra mengingat setiap dirinya menasehati Syaqira, adanya malah adu mulut. Lebih tepatnya Syaqira yang tidak mau disalahkan padahal kadang dirinya memang salah.
"Maklum mas Ibra. Syaqira itu masih kecil, kamu yo sing sabar bimbing nya. Umi tau Ira itu anak baik, karena masih kecil saja jadi belum bisa ngotrol emosinya, masih labil." Ucap Umi Hafsah terkekeh pelan.
"Kalau Ira manjat-manjat pohon atau bolos-bolos lagi langsung bilang Ibra ya Umi." Ucap Ibra.
"Iyo, nanti setiap pergerakan Ira tak kabarin wes kamu." Kekeh Umi Hafsah melihat kekhawatiran putranya.
"Nduk Ira itu insyaallah aman kalau sama Umi." Lanjutnya.
"Iya, wong kalau didepan Umi anaknya langsung jaga sikap." Ucap Gus Ibra tertawa kecil mengingat sikap Istrinya yang langsung kalem jika dihadapan Umi dan Abinya. Umi Hafsah ikut tertawa melihatnya. Lucu sekali memang kedua anaknya ini.
"Assalamu'alaikum," Salam Syaqira seraya menyembulkan kepalanya dari balik pintu.
"Wa'alaikumsalam. eh, anak Umi. Masuk nduk." Ucap Umi Hafsah. Senyumnya merekah mendapati Syaqira yang berada diambang pintu kamar putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IBRA [Sudah Pernah Terbit]
Ficción GeneralIni kisah Syaqira yang harus menerima kenyataan jika dirinya akan menikah dengan gus nya sendiri, juga Gus Ibra yang harus membimbing santri Abinya yang kini berubah status menjadi istrinya. Sifat keduanya sungguh berbanding berbalik, Gus Ibra yang...