Nabiga membuka kelopak matanya ketika mendengar bising suara vacum cleaner. Terlihat Azka tengah membersihkan karpet bulu di dekat sofa yang ia tiduri persis.
Mata Nabiga menyipit memandang jam dinding yang masih menunjuk pukul lima pagi.
"Bapak kok bangunnya gasik banget?" tanyanya sembari terduduk.
"Saya sudah biasa bangun pagi."
Nabiga berdiri seraya meregangkan otot-otot semunya. Dia menepi saat Azka hendak membersihkan sofa panjang itu. Tidak lama pria itu pun meletakkan kembali vacum cleaner ke dalam gudang yang sebenarnya kamar yang tidak terpakai.
"Bapak mau kemana?"
Melihat Azka menali sepatu membuat gadis itu bertanya-tanya akan kemana pria itu di pagi buta begini.
"Jogging."
"Serius? Bapak nggak takut masuk angin? Langit masih gelap loh, Pak."
"Justru karena masih gelap, udaranya masih sejuk. Kalau gitu, saya pergi dulu."
Nabiga menggembungkan pipinya kala Azka meninggalkan dirinya sendirian di apartemen. "Jujur gue mager banget ikut Pak Azka keluar sekarang."
"Tapi daripada ngomong sama mbak kunti ... " gadis itu melirik sosok tersebut yang berdiri di sudut ruangan.
Azka melangkah dengan ritme yang konstan. Ia menghirup udara segar sebanyak-banyaknya sebelum pusing bekerja nanti. Dia hanya berlari tak jauh dari wilayah apartemennya.
"Capek ngga Pak lari-lari?"
Pria itu dikejutkan dengan keberadaan Nabiga di sampingnya. Gadis itu tidak berlari. Dia malah melayang-layang di atas aspal dan bergerak menyetarai langkah Azka. Nabiga tidak mau susah payah berlari.
"Saya kira kamu tetap tinggal di apartemen," sahutnya.
"Kan sudah saya bilang, setiap Bapak pergi, saya ikut."
"Bapak rutin jogging walaupun hari biasa gini?" Azka berdehem sebagai respon.
Azka memandang langit gelap yang lambat laun tersiram oleh sinar mentari. "Lari pagi itu bagus untuk kesehatan. Memangnya selama kamu masih hidup tidak pernah melakukannya?"
"Ah iya saya baru ingat, kamu kan pemuda kaum rebahan. Jadi mana sempat jogging. Iya kan?"
Jujur saja bagi Nabiga ekspresi Azka cukup menyebalkan pagi ini. Tapi tidak masalah, dia tidak akan membawanya sampai hati. Lagipula pernyataan pria itu benar adanya. Maka dari itu, sampai menjadi setan pun dirinya masih jompo.
Langkah Azka lambat laun berhenti. Dia duduk di bangku taman menatap bangunan apartemennya berdiri kokoh. Pria itu meminum air mineral yang sengaja ia bawa dari rumah.
Dia tidak bisa langsung mandi ketika sampai di apartemen sebab tubuhnya yang bermandi keringat. Maka dari itu ia beristirahat untuk menghalau metabolisme kulit.
Nabiga pun mengambil ruang yang tersisa di sebelah Azka. "Enak juga ya ternyata liat sunrise. Timing nya pas banget."
Azka turut mendongak menatap arak permadani keemasan. "Saya pernah membaca bahwa sunrise memiliki arti sebagai bagi awal baru mereka yang sedang berjuang dalam kehidupan."
Gadis itu menoleh. "Kalau gitu saya tanya, apa yang sedang Bapak perjuangkan sekarang?"
Belum apa-apa Nabiga sudah memotong. "Ah iya saya baru inget. Bapak kan punya pacar. Udah jelas kalau Bapak akan memperjuangkan dia sampai ke pelaminan. Benar kan?"
"Yah ... Itu salah satunya."
Nabiga memandang wajah Azka dari samping. "Dilihat-lihat, umur Bapak ngga jauh beda sama Dosen saya di kampus. Bedanya, Bapak belum punya istri."
"Kamu sedang mengejek saya?" datarnya.
Ia menggeleng sok polos. "Engga, kok. Saya cuma ngasih tau aja."
Azka beranjak dari bangku. "Kita harus cepat pulang. Saya harus menyiapkan makanan untuk sarapan."
Nabiga menaikkan satu alisnya tak percaya. "Bapak bisa masak?"
Pria itu tidak merespon apapun. Dia malah kembali berlari meninggalkannya membuatnya mendengus sebal. "Pak Azka, tungguin saya!"
Kini mereka berdua tengah berkutat di dapur. Bukan mereka sebenarnya. Lebih tepatnya Azka yang sibuk sendiri sedangkan Nabiga hanya menonton.
Rupanya Azka cukup terampil memasak. Bisa dilihat bagaimana caranya memainkan alat masak dan juga bumbu-bumbu dapur. Jika dilihat dari belakang, Azka seperti suami idaman Nabiga di masa depan.
"Ih Bapak ngga takut keciptaran minyak kah?" Gadis itu mundur sedikit demi sedikit saat pria itu memasak telur ceplok.
Azka melirik Nabiga sekilas. "Kelihatan ngga pernah bantu ibu di dapur."
Yang dibicarakan berdecak. "Enak aja! Tukang rebahan gini-gini sering bantuin orang tua ya!"
"Tapi ya ... Ngga di dapur juga. Yang ada malah masakannya jadi kacau."
Aroma masakan pria itu menggugah selera hantu gila yang bergentayangan di sekitarnya. "Kayanya enak tuh masakannya."
Ingin sekali Nabiga mencicipinya. Sayangnya, dia hanyalah hantu. Tubuhnya menembus segala macam barang. Mengangkat benda sekecil sendok saja tidak bisa.
Nabiga berulang kali menelan ludah saat melihat Azka makan dengan nikmatnya. Sepertinya pria itu sengaja membuatnya ngiler.
"Kenapa? Mau?" tanpa sadar Nabiga mengangguk.
Pria itu menyendokkan makanan dan mengulurkannya ke depan bibir Nabiga persis. Secara refleks gadis itu membuka mulut dan hendak melahapnya.
Sudah ke berapa kali dia lupa bahwa gadis itu bukanlah manusia.
"Maaf-maaf saya lupa," ringisnya merasa bersalah.
Gadis itu mengerut kecewa. Makanan sudah di depan mata tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. "Bapak kayaknya sengaja deh!"
"Saya beneran lupa, Nabiga. Serius." Azka berusaha meyakinkan gadis yang mulai merajuk itu.
Nabiga berdecak kesal lantas pergi begitu saja sembari menggerutu. "Gini banget jadi setan!"
Azka memandang punggung sang empu yang menjauh. Dia menghela napas lelah. Nyatanya memang salah mengadopsi hantu labil seperti Nabiga. Semoga pikirannya masih tetap waras selama beberapa hari kedepan.
****
Setelah selesai mandi, Azka tidak mendapati Nabiga di sofa seperti biasanya. Namun pria itu mengedikkan bahunya tak peduli. Sebentar lagi ia harus bekerja, tidak ada waktu untuk mencari hantu itu.
Dia memandang pantulan tubuhnya di cermin seraya mengancingkan kemeja dan menggulung lengan hingga batas siku.
Azka meraih tas kerjanya dan segera berjalan keluar apartemennya. Ketika ia membuka pintu, ia melihat Nabiga tengah berdiri bertumpu pada tembok pembatas lantai.
"Saya kira kamu pergi jauh," ucap Azka membuat sang empu tersadar akan kehadiran pria itu.
"Memangnya kenapa kalau saya benar-benar pergi jauh? Bapak juga ngga akan mencari saya," ujarnya pelan.
"Kamu yang meminta tinggal di sini. Sudah seharusnya pamit sebelum keluar apartemen. Jangan asal pergi."
Melihat Nabiga hanya diam, Azka segera menyelesaikan kegiatan memakai sepatunya lantas menghampiri gadis itu.
"Kamu masih marah sama saya?"
"Yasudah kalau gitu saya minta maaf. Tadi saya benar-benar lupa kalau kamu tidak bisa bersikap seperti dulu lagi."
Nabiga menunduk menatap flat shoes yang dipakainya. Samar-samar ia mengangguk. "Maafin saya juga, Pak, karena udah jadi hantu yang ngelunjak."
Azka terkekeh geli mendengarnya. Namun tak urung dia mengangguk dan berdehem.
Gadis itu kembali mendongakkan kepalanya. Wajahnya sudah normal. Senyuman ceria tercetak jelas di bibirnya. Secepat itukah suasana hatinya berubah?
"Jadi ... Ayo Pak kita berangkat bekerja!"
Senyum Azka meluntur. Siap-siap kembali berpusing ria karena Nabiga akan mengekorinya selama seharian penuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...