"Rupanya kamu benar-benar datang."
Pak Latif membuka pintu ruangan saat diketuk dari luar. Azka tersenyum canggung membalasnya.
"Silahkan masuk," ucapnya mempersilahkan.
Azka duduk di kursi tamu yang mungkin biasanya digunakan para mahasiswa untuk konsultasi. Pak Latif turut menjatuhkan diri di hadapan Azka persis.
"Apa yang ingin kamu tahu dari mahasiswa saya?" benar-benar tidak mau berbasa-basi.
"Ah iya sebentar," cegahnya saat Azka akan berbicara.
"Jawab pertanyaan saya kemarin. Apa urusan kamu dengan Nabiga? Apakah kamu saudaranya? Temannya?" tanyanya berbondong-bondong.
Azka mengangguk, "Saya temannya."
"Kalau begitu apa jaminan kamu bahwa kamu benar-benar temannya? Bisa saja kamu berbohong kan? Tidak ada yang tahu," kediknya cuek.
Azka harus membuktikannya bagaimana? Bagaimana cara membuktikan hubungan? Semuanya terjalin seiring berjalannya waktu.
Pria itu memandang wajah Pak Latif yang menunggu-nunggu jawabannya. "Kalau saya bilang bahwa jiwa Nabiga ada di sisi saya sekarang, apakah Pak Latif bisa percaya?"
Nabiga melototkan mata saat mendengar pengakuannya. "Kenapa Bapak bocorin kemampuan Bapak? Gimana kalau Pak Latif ngga percaya? Dia orangnya rasional."
Azka tidak mengindahkan suara gadis itu. Ia hanya perlu menunggu reaksi sang dosen menanggapi ucapannya.
Tanpa diduga-duga Pak Latif tertawa. Entah apa yang lucu. "Arwah maksud kamu?"
"Saya tau bahwa beberapa orang memiliki kemampuan khusus. Sejujurnya saya percaya kamu memilikinya, namun untuk perihal 'jiwa Nabiga' saya meragukan itu."
"Apa yang membuat Pak Latif ragu?" Azka tanya balik.
Kini wajah Pak Latif menjadi lebih serius. "Karena Nabiga masih hidup."
Bagaikan petir di siang bolong, Nabiga terkejut setengah mati mendengarnya. Nafasnya seolah tercekat. Begitu juga dengan Azka yang menatap tidak percaya.
Jika Nabiga masih hidup, siapa yang ada di sampingnya sekarang?
Jika dirinya masih hidup, kenapa tubuhnya menjadi tembus pandang?
"Nabiga ... Masih hidup?" ulang Azka untuk memastikan. Melihat Pak Latif mengangguk membuat Nabiga semakin lemas.
"Tapi bukankah dia—"
Pak Latif menghela napas pelan. "Maka dari itu saya bertanya siapa kamu sebenarnya. Jika memang kamu adalah temannya, sudah pasti tahu bahwa Nabiga masih hidup."
Azka terdiam sejenak. "Iya, benar. Saya memang bukan teman Nabiga. Bahkan bukan siapa-siapanya."
"Tapi itu dulu ... Sebelum saya bertemu jiwa Nabiga yang tersesat."
Pria itu melirik jiwa yang tengah terguncang di sampingnya. "Nabiga bilang, dia lupa segalanya. Mulai dari identitasnya, siapa keluarganya, teman-temannya."
"Satu-satunya orang yang dia ingat hanya dosen kampusnya yang tidak lain adalah Pak Latif sendiri."
"Dan ternyata saya dan Pak Latif bertemu secara tidak sengaja di lift apartemen tempat saya tinggal. Itulah alasan saya mengejar Bapak hingga saya duduk di sini sekarang."
Pak Latif mendengar semua penjabaran dari Azka tanpa luput. Hati dinginnya cukup tergores.
Nyatanya, Nabiga adalah mahasiswa nya cukup sering berkomunikasi dengannya. Gadis itu sering kali mendapat ucapan kejam darinya akibat seenaknya sendiri.
Pria di hadapannya menatap dengan memohon. "Jadi saya mohon sekali kepada Pak Latif untuk memberi tahu segalanya tentang Nabiga, sekaligus dimana pemilik jiwa Nabiga sekarang."
****
Clara menatap ponselnya dimana ia tengah mendial nomor telepon sang kekasih.
"Padahal sekarang udah jam istirahat, kenapa Azka ngga jawab telfonku?" gumamnya.
Sudah berulang kali gadis itu menganggil, namun Azka tidak kunjung menjawabnya membuat Clara menghembuskan napasnya. Mungkin pria itu sedang sibuk mengurus projectnya, pikir Clara.
Seorang perempuan kini duduk di hadapannya sembari membawa semangkuk mie rebus. Terlihat belum tersentuh sama sekali. Ia nampak sibuk menelfon seseorang yang tak kunjung dijawab.
"Kenapa, Kak?" tanya Clara kepada perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah Laura.
"Pacar aku ditelfon ngga mau diangkat," decaknya.
Sekarang Laura tidak sembunyi-sembunyi lagi tentang laki-laki yang sering ia telfon. Clara akhirnya tau rupanya Laura benar-benar memiliki pacar. Hanya saja aktris cantik itu masih menyembunyikan identitasnya.
"Kok samaan ya? Pacar aku juga gitu," jawab Clara menyamakan kondisi mereka.
"Kenapa ya laki-laki susah banget buat ngabarin, padahal cuma modal bicara kita udah tenang," curhatnya seraya meletakkan telepon di meja.
Clara terkekeh, "Sering banget aku kepikiran hal kaya gitu, tapi aku berusaha maklumin karena sekarang dia lagi sibuk-sibuknya."
"Pacar kamu kerja dimana emang?"
Clara mengingat-ingat nama perusahaan tempat Azka bekerja. "Laskar company kalau ngga salah."
Laura terdiam seraya menaikkan satu alisnya. "Lagi-lagi kita punya kesamaan, Clara."
"Eh? Pacar Kak Laura kerja di situ juga?" kagetnya.
Mau tidak mau perempuan cantik itu mengangguk. "Iya."
Clara menutup mulutnya tidak percaya. Rupanya dunia sesempit ini ya? Sampai-sampai orang sering kita temui juga sebenarnya ada hubungan lain di luaran sana.
"Hari ini aku niatnya mau ketemu pacar di kantornya," kata Clara.
"Kamu ngajakin aku pergi bareng? Kapan-kapan deh kalau aku udah siap mental," guraunya disusul tawa dari keduanya.
Baru saja Laura akan menyantap mie rebus nya, ponselnya berdering. Tanpa menunggu berlama-lama, perempuan itu langsung menjawabnya.
"Kamu udah makan siang?" tanyanya perhatian kepada seseorang di seberang sana.
Namun sepertinya respon di sebarang terlihat kurang mengenakkan membuat ekspresi Laura berubah seperti orang bingung. Clara yang duduk di depannya tentu dapat memperhatikan dengan jelas. Tetapi gadis itu beralih pada ponselnya, tak ingin ikut campur.
"Kamu udah sampai di depan lokasi?" kagetnya.
"Oke, aku ke situ sekarang."
Usai Laura memutus sambungan telepon, ia memandang Clara sekilas. "Aku ke area depan dulu ya? Jagain mie rebusku, jangan sampai dimakan Virdian," candanya membawa nama lawan peran flm nya.
"Iya, Kak santai," sahutnya dengan kekehan.
Laura berjalan menuju area depan setting lokasi syuting. Di sana rupanya sudah terdapat kendaraan milik sang kekasih. Perempuan itu tersenyum sambil melambai tangan kecil.
"Zee!"
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...