Jam makan siang sebentar lagi usai. Meteka bertiga masih menghabiskan waktu di kantin meski hidangan mereka sudah ludas sampai lambung.
"Ka, lo percaya ngga kalau Pak Bos katanya punya tunangan?" celetuk Halim memulai ghibah.
Azka mengerutkan keningnya. "Kenapa harus ngga percaya? Pak Bos pria normal."
Halim berdecak. "Bukan itu maksud gue."
"Terus?"
"Secara logika nih ya, biasanya calon-calon istri para Bos tuh suka keliatan di sampingnya. Kayak mesra-mesraan gitu lah."
"Tapi beda sama Bos kita. Dia sama sekali ngga mau nunjukin tunangannya. Bahkan kabar-kabar buat pegawainya aja ngga ada. Padahal kan kita mau kasih selamat," kedik Halim seraya menyeruput kopi hitamnya.
Azka malah semakin tidak mengerti dengan alur bicara rekan kerjanya ini. Memang apa yang salah dengan hubungan private seperti Pak Bos? Bukanya seperti itu lebih nyaman karena tidak diusik?
Nabiga menunjuk Halim seraya berisik," Temen Bapak ini kayanya exited banget buat kondangan."
Pria itu berusaha menahan tawa membuat Halim bertanya-tanya. "Kenapa dah?"
"Ngga. Ngga papa," ucapnya dengan setengah terkekeh.
Halim memicing curiga namun tidak terlalu memikirkan. Dia segera mengingatkan Azka. "Eh jangan lupa lo ada ketemuan sama Pak Bos setelah ini."
Azka langsung teringat dan segera membereskan piring bekas nasi gorengnya dan membawanya ke tempat khusus pengembalian.
Pria itu kembali ke meja mereka. "Gue duluan ya?"
"Sok atuh!" Halim mempersilahkan. Dirinya masih ingin menikmati dua menit terakhir sebelum kembali bekerja.
Azka melirik Nabiga yang masih duduk di kursi kantin dan memberi isyarat untuk ikut bersamanya. Tidak mungkin juga pria itu meninggalkan Nabiga. Nanti hilang lagi seperti tadi.
"Kamu mau nunggu di sofa tunggu lagi?" tanya Azka.
Nabiga menggeleng. "Saya mau ketemu Pak Bos yang udah tunangan itu."
Pria itu terkekeh. "Kenapa? Kamu juga ikut kepo seperti Halim teman saya?"
"Pengen liat aja. Seberapa ganteng sih Pak Bos perusahaan ini. Kalau sesuai drama-drama, perangainya pasti keren. Suka nge gym, perutnya kotak-kotak."
Sang empu meliriknya sekilas. "Dasar hantu genit."
"Terserah apa kata Bapak aja." Nabiga sedang malas beradu mulut.
Keduanya menunggu di depan pintu lift yang selang beberapa detik terbuka lebar. Nabiga menyilangkan kedua tangannya. "Saya udah berapa kali ya naik lift hari ini?" gumamnya.
"Ngapain aja selama kamu ngga ada di sisi saya?" Azka balik bertanya.
Nabiga meringis. "Liatin pegawai pada kerja, lari-lari di lorong, nge liatin pemandangan gedung-gedung sama jalanan dari lantai paling atas."
Azka terkejut mendengarnya. "Kamu sampai lantai dua puluh?"
"Iya mungkin. Saya ngga nge hitung lantai berapa aja, Pak." gadis itu menggaruk pelipisnya.
Gadis itu memandang layar kecil yang berada di atas pintu lift. "Kita mau balik ke lantai dua puluh?"
"Hm. Ruangan Pak Bos ada di lantai paling atas gedung ini."
Ting!
Pintu lift kembali terbuka menampilkan hal yang sama kala Nabiga datang kemari tadi. Gadis itu hanya berjalan mengekor di belakang Azka. Hingga pada akhirnya sampailah mereka persis di depan ruangan pimpinan perusahaan.
"Jangan gugup, Pak. Saya yakin Bapak ngga akan dipecat segampang itu kok," kata Nabiga berniat menyemangati justru malah membuat Azka berwajah masam.
Tok tok
Azka membuka pintu tersebut perlahan. Pintu ruangan hanya menyisakan sedikit celah, Azka sepertinya tidak ingin Nabiga ikut campur di dalam.
Namun jangan lupa bahwa gadis itu dapat dengan mudahnya menembus benda. Apalagi pintu? Sangat easy!
Sebagai pimpinan sekaligus pemilik tentu saja ruangannya sudah seperti tamu undangan VIP. Terkesan mewah dan yang pasti tidak sebanding dengan kubikel kerja pegawai.
Azka mengerut bingung saat tidak ada sosok yang ia cari di sini. Atau memang Pak Bos sedang ada acara mendadak?
"Kamu Azka yang saya panggil, benar?"
Baik Nabiga maupun Azka menoleh pada pria berkemeja hitam yang keluar dari ruangan kecil sembari membawa dua cup kopi panas.
Azka membungkukkan badanya sejenak sebagai tanda penghormatan. "Benar, Pak. Saya Azka Herlino dari divisi pemasaran."
Pak Bos menyodorkan segelas cup kopi kepada Azka yang segera menerimanya dengan santun. "Ngga usah terlalu kaku, ini bukan pertemuan formal."
Tebak Nabiga sedang apa? Dari tadi dia kesemsem dengan wibawa Pak Bos. Benar-benar definisi Tuan Muda dalam novel. Melihat Azka duduk tanpa menarik kursi lainnya membuat Nabiga cemberut.
Gadis itu malah dengan tidak sopannya berlutut serta menangkup wajah di atas meja antara dua pria yang sedang saling berbicara. Berulang kali Azka meliriknya agar segera pergi dari situ. Namun Nabiga berpura-pura tidak paham maksudnya.
"Kamu tau tentang project perusahaan kita kali ini?"
Azka mengangguk. "Tentang peluncuran produk berbasis teknologi."
Pak Bos menyesap kopinya sejenak. "Saya ingin kamu menghandle project ini sebagai ketua tim."
Nabiga melototkan matanya tak percaya. Dia langsung menoleh pada Azka yang dengan bodohnya terdiam. "Wow! Bapak harus merayakan ini!"
"Bagaimana?" tanya pemilik perusahaan itu.
Meski begitu Azka tidak langsung mengiyakan. "Maaf, Pak sebelumnya jika lancang, Pak Zayn memilih saya berdasarkan apa? Karena Bapak tau sendiri bahwa jabatan saya hanya pegawai biasa."
Pemilik perusahaan yang bernama Zayn itu tersenyum miring mendengarnya. "Kamu adalah salah satu dari pegawai terbaik. Saya akui, skill kamu cukup mumpuni."
"Dan tim untuk project ini juga tidak hanya mengambil pada divisi berkaitan, tapi melihat siapa yang mampu di sini."
"Jadi, apa argumentasi saya bisa diterima?"
Nabiga memandang jenuh pada Azka yang bimbang. "Bapak mikirin apa lagi, sih? Ini kesempatan bagus buat Bapak. Coba deh bayangin kalau Bapak berhasil jadi ketua tim, peluang naik jabatan lebih besar!"
"Saya juga akan sering ke lapangan untuk memantau. Jadi bisa meminimalisir kesalahan," ujar Pak Zayn dengan maksud membujuk.
"Ayo Pak Azka, terima tawarannya." Nabiga jadi gemas sendiri.
Azka menghembuskan napasnya lantas dengan mantap mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan menerima tawaran Bapak sebagai ketua tim di project ini."
Pak Zayn tersenyum mendengarnya begitu juga dengan Nabiga yang tak kalah senang. Walaupun hanya mengamati, tapi ia bisa merasakan kebahagiannya.
"Kalau begitu, Selamat bergabung menjadi bagian dari tim Hercules," kata Pak Zayn seraya mengulurkan tangannya.
Dengan mantap Azka menjabat tangan sang pemilik perusahaan. "Terimakasih, Pak Zayn."
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...