deep talk sore hari

47 6 0
                                    

Pintu lift terbuka tepat di lantai sepuluh. Satu manusia dan satu arwah itu keluar dari benda berwarna silver tersebut. Kedatangan Azka disambut oleh Halim dari bangkunya.

"Habis dapet wejangan apa dari Pak Bos?" tanyanya.

Andai saja Nabiga menjadi manusia sekarang, ia akan berteriak sekencang-kencangnya di telinga Halim dan memberi tahukan bahwa Azka ditawari pekerjaan penting.

"Cuma masalah kerjaan," ucap Azka dengan nada biasa.

"Gue juga tau kali. Kalau lo dipanggil atasan ngga bakal jauh-jauh dari kerjaan. Habis diapain hayooo?" Ucapan Halim cukup ambigu didengar.

"Nanti juga lo tau," kediknya.

Halim berubah masam. "Sok misterius banget lo!"

Azka tidak mempedulikan perkataan rekan kerjanya. Ia beralih pada Nabiga yang masih berdiri di sampingnya. "Saya mau kembali bekerja. Sisanya terserah kamu mau apa. Intinya setelah jam lima sore kamu kembali lagi ke sini."

"Saya mau tiduran di sofa tunggu aja, Pak."

Pria itu memandang punggung sang gadis yang berjalan menjauh dari kubikel kerjanya. Tanpa menyadari bahwa Halim tengah memperhatikan gerak-geriknya yang aneh.

"Ka, lo ngomong sama siapa?" katanya dengan suasana merinding.

Azka melototkan matanya lantas menoleh pada Halim yang menyembul dari balik sekat kubikel. Dia lupa bahwa harus mengurangi kontak bicara dengan Nabiga.

"Gue lagi ngomong sendiri aja," gugupnya sembari memegang mouse komputer.

Bukannya melupakan, Halim justru semakin penasaran. "Jujur aja nih ya, gue mulai curiga sama lo hari ini. Apalagi sewaktu di kantin tadi."

Azka merapatkan bibir berusaha fokus memandang layar komputer. "Curiga gimana?"

"Ohh gue tau nih!" Azka meliriknya sekilas dengan ketar-ketir.

Halim menyipitkan matanya sambil menunjuk Azka. "Lo pake pesugihan kan?"

Azka langsung menoleh tak suka. "Enak aja! Jangan asal nuduh lo!"

Sang lawan bicara menyilangkan kedua tangannya. "Biasanya sih gitu. Suka diikutin setan kemana-mana. Hidupnya ngga tenang."

"Gue harap sih lo ngga gitu ya." Halim menepuk-nepuk bahu temanya lantas kembali ke kubikel kerja miliknya.

Azka bergidik ngeri. Meskipun kehidupannya hanya pas-pas an, ia tidak bisa membayangkan jika dirinya benar-benar melakukan pesugihan. Adanya Nabiga bukannya membuat Azka kaya malah makin pusing.

Jam dinding semakin lama menunjukkan pukul lima sore. Azka sendiri tengah membereskan meja kerjanya serta memasukkan segala macam peralatan miliknya ke dalam tas.

Pria itu melangkah menuju sofa tunggu dimana Nabiga tengah memejamkan mata. Entah benar tidur atau tidak, Azka tidak tahu apakah hantu juga bisa tidur.

"Nabiga," panggil Azka pelan.

Tanpa memanggil dua kali, kelopak mata gadis itu terangkat. Sosok yang begitu familiar berdiri di hadapannya dengan kerutan wajah lelah yang tidak bisa ditutupi.

"Saya sudah selesai bekerja. Ayo pulang."

Gadis itu pun langsung menurut dan beranjak dari sofa. "Bapak ngga laper kah? Pulang kerja langsung ke apartemen?"

"Nanti ada yang iri lagi," sindir Azka membuat Nabiga merasa disebut secara tidak langsung.

"Perlahan-lahan saya mencoba untuk menerima takdir saya jadi arwah gentayangan, kok, Pak. Saya cuma khawatir sama Bapak aja. Bapak kan masih seorang manusia."

"Ya iya lah, Nabiga. Kalau saya sudah menjadi hantu seperti kamu, saya tidak akan bekerja di sini." Azka lelah sendiri dengan kerandoman gadis itu.

"Terus kalau nggak kerja di sini, Bapak kemana?" malah dilanjutin.

"Ke surga lah," jawabnya tanpa berpikir.

Justru Nabiga yang kepikiran. Jika memang dirinya sudah meninggal, mengapa Tuhan tetap membiarkan jiwa nya melayang-layang di dunia.

"Tapi kok saya ngga di akhirat ya, Pak?" herannya.

"Mana saya tau."

Azka berjalan dengan fokus memandang ke depan. "Saya ngga tau ini mitos atau fakta. Katanya, jika ada jiwa seseorang yang masih berada di dunia, itu berarti ada masalah yang belum terselesaikan sehingga menghambat kepergiannya ke akhirat."

Pria itu menoleh pada Nabiga yang menunjukkan ekspresi bingung. "Kamu ada masalah, Nabiga?"

Nabiga merapatkan bibirnya sejenak. "Saya lupa semuanya, Pak."

Azka mengerutkan keningnya. "Tapi kenapa kamu berhasil mengingat nama kamu sendiri? Setau saya, jika para arwah hilang ingatan, maka akan terhapus semuanya."

"Nah itu saya juya bingung. Kok bisa gini gimana caranya."

"Tapi kamu punya keinginan untuk pergi ke akhirat kan? Tidak mungkin kamu akan selamanya berada di dunia."

Secara tidak sengaja mereka menghentikan langkah.

"Ingat, Nabiga, kamu tinggal bersama saya tidak bisa seterusnya."

Nabiga terdiam. "Bapak terganggu ya dengan keberadaan saya?"

Azka menghela napas. "Dengerin saya oke? Saya berkata begitu karena saya akan menikah nantinya dan hidup bersama dengan istri yang saya cintai."

"Saya tidak bisa membiarkan kamu berada di kehidupan rumah tangga saya, meski kamu hanyalah sebuah arwah."

"Kita punya batasan untuk berkomunikasi."

Nabiga merunduk memandang lantai yang lebih mengkilap dari sepatu kulit. Ia tidak menyukai pembicaraan mereka sore hari ini.

Ia sama sekali tidak sakit hati dengan ucapan Azka.

Nabiga hanya belum bisa sepenuhnya menerima takdir yang diberi Tuhan saat ini.

NICE TO MEET YOU (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang