Azka dan Nabiga menunggu-nunggu respon dari Pak Latif mengenai segalanya tentang gadis itu.
"Nama lengkapnya adalah Nabiga Lintang Permata. Mahasiswa semester dua fakultas MIPA."
"Dia putri tunggal dari keluarga yang berada. Bahkan saya mengenal dekat keluarganya."
"Nabiga sering kali mendapat teguran dari saya. Mulai dari terlambat mengumpulkan tugas, terlambat masuk kelas dan suka menitip absen pada teman-temannya."
Pak Latif memandang objek lain menerawang sosok mahasiswa yang satu itu. "Jika ditanya bagaimana dia di kampus? Dia orang yang ceria. Suka sekali bersosialisasi."
"Entah benar atau tidak, saya mendapat kabar bahwa Nabiga sedang menjalin hubungan serius dengan seseorang. Tapi kami belum tau secara pasti."
Nabiga terhenyak mendengar ucapan dosen kampusnya. Dirinya sedang menjalin hubungan serius? Diusianya yang masih muda? Tapi dengan siapa? Dia tidak merasa dekat dengan siapapun.
"Terakhir kali kami bertemu di kelas mata kuliah tiga bulan yang lalu."
"Tiga bulan?" beo Azka.
Berarti sudah terhitung dua bulan jiwa Nabiga bekeliaran bebas dan satu bulan ini bersama Azka.
Pak Latif mengangguk. "Sebelum dia tidak lagi terlihat di kelas, ada suatu kejadian yang menimpa Nabiga. Dia mengalami kecelakaan."
"Seseorang berhasil menyelamatkan tubuh Nabiga yang jatuh tenggelam di danau."
Nafas Nabiga seolah tertahan. Ambang kematiannya cukup mengerikan.
"Dan sampai sekarang ia dalam keadaan koma di salah satu rumah sakit bernama Dominiq Hospital."
"Mungkin selama koma inilah, 'jiwa Nabiga' yang kamu maksud, pergi berkeliaran di tempat kamu menemukannya."
Meskipun Azka bukanlah Nabiga, ia bisa merasakan bagaimana sakitnya gadis itu tidak bisa menemukan dimana dirinya sendiri. Sendirian di antara banyak orang. Tidak tahu harus kemana.
Bagaimana jika saat itu Nabiga tidak bertemu dengannya? Apakah gadis itu akan meminta tolong kepada orang lain? Bagaimana jika orang itu hanya memanfaatkan Nabiga?
Pak Latif menghembuskan napasnya. Ia memandang kursi kosong di sebelah Azka. "Jika memang Nabiga benar-benar ada di depan saya, saya ingin mengatakan suatu hal."
Nabiga menatap wajah dosen tegasnya itu.
Azka pun mengangguk, "Iya, Nabiga ada tepat di depan Pak Latif sekarang.""Mungkin kamu saat ini lupa siapa saya. Tapi saya yakin, kepribadian dosen killer ini melekat di pikiran kamu. Sehingga kamu berhasil meminta teman kamu datang ke sini."
Itu benar. Sangat benar. Nabiga mengakuinya.
"Saya harap informasi yang didapatkan bisa membuat kamu kembali menjadi Nabiga yang ceria di kampusnya. Menjadi Nabiga yang selalu kena tegur saya," katanya disusul kekehan kecil.
"Tentu saja saya ingin meminta maaf karena sering membuat kamu kesal dengan teguran dan hukuman saya. Tugas kamu menjadi menumpuk juga gara-gara saya. Maaf ya?" tulusnya.
"Saya dan teman-teman kamu di sini, menunggu kamu pulang."
Nabiga mengalihkan pandangan, berusaha untuk terlihat biasa saja. Perkataan Pak Latif begitu menyentuh hatinya.
Pak Latif lantas menatap Azka yang terdiam. "Apa dia bicara sesuatu?"
Sang empu menggeleng pelan membuat Pak Latif menghela napas maklum. Nyatanya tidak mudah menerima kenyataan yang berada di luar dugaan.
Azka memandang waktu yang terus memutar keheningan. "Sebentar lagi waktu kami habis."
Pak Latif ikut menilik jam tangannya. "Saya sampai lupa karena ada urusan."
"Maaf sudah menggangu waktu Pak Latif dan terimakasih sudah mau menyempatkan waktunya untuk berbicara dengan kami."
"Tidak masalah. Saya juga mengerti."
Saat ketiganya hendak beranjak pergi, tiba-tiba Pak Latif menyodorkan kartu namanya. "Jika ada yang dibutuhkan, kamu bisa menghubungi saya kapan saja."
Azka menerima kartu nama itu. "Terimakasih, Pak."
Pak Latif termangu memandang punggung Azka yang semakin menjauh. Semoga saja gadis itu bisa menerima perkataannya tadi.
Dalam perjalanan, Azka terpaksa menghentikan langkahnya karena menyadari tidak ada Nabiga di sisinya. Dia berbalik badan.
Nabiga tengah menangis.
Gadis menutup wajah di antara lutut dan lipatan kedua tangannya. Suara sesenggukan tidak bisa tersamarkan begitu saja. Sangat jelas di telinga pria itu.
"Nabiga," panggil Azka lembut.
"Dengerin saya, kamu ngga perlu sedih. Kamu tinggal beberapa langkah lagi pulang ke pelukan keluarga. Meskipun banyak hal yang belum kita berdua tau."
"Saya yakin semuanya akan dipermudah. Jadi kamu jangan khawatir."
Di antara sesenggukannya Nabiga mencoba bicara. "Saya ngerasa bakal banyak kejutan nantinya. Saya ... merasa belum siap."
Azka tersenyum hangat. "Apa yang membuat kamu ngga siap? Ada saya di sini. Saya akan terus bersama untuk membantu kamu."
Betapa tulusnya Azka kepada Nabiga. Gadis itu benar-benar bersyukur bisa bertemu pria sebaik dirinya.
"Maaf ya karena saya sering ngerepotin Bapak."
Azka terkekeh mendengarnya. "Akhirnya sadar juga kalau kamu memang selalu merepotkan."
"Pak Azka!"
"Iya-iya, maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...