Azka masuk ke dalam pintu bus yang otomatis terbuka diikuti oleh Nabiga dibelakangnya. Pria itu segera melakukan tap kartu untuk pembayaran.
"Dua kali, Mas?" tanya Pak Sopir.
Azka langsung tersadar bahwa dia menempelkan kartu sebanyak dua kali yang artinya untuk dua orang. Sedangkan gadis itu terkikik geli melihatnya.
"Saya kelupaan kayaknya, Pak. Anggap aja sebagai bonus," ringis Azka.
Kondisi bus cukup padat hari ini. Benar-benar tersisa dua kursi untuk mereka berdua. Nabiga duduk terlebih dahulu di dekat kaca dan disusul oleh pria itu.
"Bapak selalu lupa ya kalau saya hantu?" ujarnya dengan kekehan.
Pria itu mengangguk. "Kamu berbeda dengan hantu-hantu lainnya. Biasanya wujud mereka mengerikan, tapi kamu tidak."
Nabiga memandang tidak percaya. "Halah! Bilang saja Bapak berharap saya ingin menjadi manusia kan?"
"Saya juga berharap begitu sih, Pak. Jadi hantu itu ngga enak. Ngga bisa makan masakan punya Bapak," katanya menjawab pertanyaannya sendiri.
"Kalau kamu menjadi manusia lagi, sudah jelas saya akan membuat kamu pergi dari apartemen saya."
Nabiga mengerut kening tak suka. "Kenapa?"
"Apa kata tetangga saya nanti? Membawa perempuan ke apartemen dan menginap tanpa status pernikahan?"
"Yaudah nikahin saya," serunya enteng.
"Gila kamu." Azka geleng-geleng kepala.
Keduanya tanpa sadar mengambil perhatian banyak penumpang. Apalagi Azka yang terlihat berbicara sendiri. Lambat laun pria itu memahami kondisi sekitarnya. Ia lantas tersenyum canggung.
"Sudah diam, jangan ajak saya bicara lagi," desisnya pelan.
Kala bus berhenti di sebuah halte, munculah seorang pria muda sebagai penumpang. Dia terlihat kebingungan karena semua bangku terisi penuh, kecuali bangku di sebelah Azka.
"Maaf, Mas, bisa geser ke sebelah tidak ya?"
Azka yang sedang bermain ponsel pun segera menghentikan aktivitasnya. Bukannya menuruti kata kakek tersebut, ia malah berdiri.
"Silahkan, Mas, duduk," ramahnya membuat Pria itu bingung.
"Mas nya duduk aja tidak apa-apa. Masih ada dua yang kosong."
Azka menggeleng. "Saya berdiri saja. Sebentar lagi juga sampai di halte tujuan."
Azka melihat ekspresi Nabiga yang masam. Dia hanya menaikkan satu alisnya seolah bertanya mengapa gadis itu cemberut. Nabiga malah membuang muka ke arah kaca.
Nabiga berjalan lebih dulu meninggalkan Azka di belakangnya. Pria itu hanya menghela napas sabar. Belum apa-apa, gadis itu sudah berhenti karena tidak tahu mana kantor tempat Azka bekerja.
"Kenapa berhenti?" sarkas pria itu.
"Ngga papa, cuma pengen aja," cuek Nabiga.
"Kalau kamu marah sama saya itu salah," kata Azka tiba-tiba.
"Saya ngga marah tuh!" gadis itu menyilangkan kedua tangannya.
"Bohong sekali kamu."
"Terus kenapa Bapak tadi biarin saya duduk sama orang lain ngga dikenal itu? Kan Bapak bisa bilang kalau bangkunya udah penuh."
Azka menghela napas. "Kan sudah jelas sekali kalau bangku di sebelah saya itu kosong."
"Kan udah ada saya yang duduk di situ."
"Tapi cuma saya yang bisa melihat kamu, Nabiga. Saya ngga bisa egois," sabarnya.
Gadis itu menghembuskan napasnya. Sudahlah tidak ada gunanya juga memperdebatkan hal sepele. Azka juga lelah beradu kata dengan Nabiga.
Mereka berdua masuk ke dalam lobi kantor. Nabiga menelisik segala penjuru memandang kantor yang ditempati Pak Azka cukup besar.
"Kamu yakin mau ikut saya ke kubikel kerja? Mungkin kamu bakal bosan di sana."
"Ngga Papa, saya ikut Bapak aja."
Ting!
Pintu lift pun terbuka. Satu persatu pegawai keluar terlebih dahulu kemudian giliran mereka berdua yang masuk ke dalam. Azka menekan tombol angka lantai 10, tempatnya bekerja.
"Ingat, selama kamu ada di sana, kurangi kontak bicara dengan saya. Apalagi saat kondisi sedang ramai." Nabiga hanya mengangguk-angguk entah mendengarkan atau tidak.
Sesampainya di sana, rekan-rekan kerja menyapa Azka dengan ramah. Begitu juga dengan balasan pria itu. Ia langsung menuju kubikel-nya yang bersebelahan dengan milik Halim.
"Lo udah sarapan, Ka? Kantin kuy?" ajaknya.
"Gue udah sarapan dari apartemen. Lo ajak yang lain aja."
Halim terkekeh menepuk bahu temannya itu. "Gue lupa kalau lo apa-apa masak sendiri."
Azka sampai melupakan Nabiga yang berada di belakangnya. Pria itu memandang Nabiga yang hanya berdiri gabut.
"Pak saya duduk dimana?" tanyanya.
Kalau Azka sengaja membawa kursi lain ke sampingnya pasti akan menimbulkan kecurigaan teman-temannya yang lain. Kemudian tanpa bicara, pria itu mengisyaratkan Nabiga untuk duduk di sofa yang berada di sebuah tempat terbuka.
Nabiga hanya menurut. Ia berjalan ke arah sofa yang dimaksud dan duduk-duduk santai di sana.
Sebenarnya ada banyak majalalah di bawah meja. Tapi gadis itu tidak bisa membacanya.
"Asli boring banget nih gue," keluhnya.
Dia hanya kuat duduk bersantai selama satu jam lamanya. Nabiga mencari-cari kegiatan yang sekiranya asyik untuk dilakukan.
Kemudian gadis itu melihat lift yang tak jauh dari tempatnya duduk. Nabiga tersenyum miring.
Gadis itu mengikuti para pegawai masuk ke dalam lift dan mengikuti mereka entah menuju lantai berapa saja. Dia melakukannya berulang kali. Bahkan saat ia keluar dari lift satu dan melihat lift lainnya terbuka, Nabiga berlari kecil mengejarnya dan kembali masuk ke dalam lift.
Azka yang hendak membuat kopi di pantry khusus pegawai pun mencari-cari keberadaan Nabiga yang tidak ada di sofa tunggu.
"Kemana perempuan itu?" gumamnya.
Tanpa sadar bahwa sekarang Nabiga sudah berada di lantai paling atas. Dia berjalan mendekati kaca yang menunjukkan pemandangan dari kaki langit. Nabiga dapat melihat ramainya jalanan, padatnya kota dan orang-orang berlalu lalang dari sini.
Saat-saat seperti ini, ia jadi melow sendiri. Nyatanya di tengah ramainya kota, Nabiga hanya sendirian.
Nabiga lupa siapa saja keluarganya, sanak saudara. Andai saja dia ingat, dia tidak akan menyusahkan Pak Azka yang notabenya orang asing. Dia akan tinggal di rumahnya sendiri. Hanya nama panggilan saja yang dia ingat.
Dan sialnya malah Dosen galak yang tersemat di otaknya.
Gadis itu bahkan tidak tahu bagaimana kronologi dan akhir dari kematiannya.
Dia memandang lorong di sekitarnya. Tidak seramai lantai-lantai kantor yang lain. Namun masih ada beberapa orang berlalu lalang di sini.
Nabiga berusaha menyemangati dirinya yang semu. "Lo pasti bisa inget semuanya, Nabiga. Tapi mungkin bukan sekarang."
Gadis itu melupakan kesedihannya dengan berlari-lari kecil di lorong. Berputar-putar tidak jelas seolah merdeka. Mereka karena tidak ada pegawai yang tahu mengenai sosoknya.
Namun saking asyiknya dengan kegiatan sendiri. Nabiga lupa. Lupa bahwa orang 'istimewa' seperti Azka tidak hanya satu di dunia.
Sampai tidak menyadari jika pria berjas hitam yang baru saja dilewatinya, berhasil melirik keberadaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...