Kaki mereka telah berpijak di tanah Intsitut Teknologi Jakarta. Azka benar-benar memenuhi perkataannya bahwa dia akan menemui Latif di sini.
Meski hari libur seperti ini, banyak mahasiswa bersliweran di koridor maupun di tempat terbuka dimana Nabiga dan Azka berdiri. Jadwal mahasiswa tidak memandang tanggal merah di kalender, kecuali hari-hari khusus.
"Ayo," ajak Azka.
Langkah keduanya membawa mereka semakin dalam memasuki gedung utama kampus.
Keberadaan Azka tidak terlalu menarik perhatian karena beberapa Mahasiswa juga seumuran denagnnya bahkan cara berpakaian Azka terkesan seperti anak kuliahan.
Daripada berkeliling tiada arti, Azka mendekati salah satu mahasiswa dan bertanya, "Permisi, saya boleh tau ruangan dosen atas nama Latif Ardhan?"
Lelaki itu merespon dengan baik. Ia bahkan sukarela mengantarkan Azka sekaligus Nabiga yang tak kasat mata ke tempat tujuan mereka.
"Lo dari jurusan mana?" tanya Mahasiswa tersebut.
Baru saja akan menjawab, suara Nabiga lebuh dulu menginterupsi pria itu. "Bapak jangan bilang yang sebenarnya. Dari fakultas apa aja terserah Pak Azka."
Azka berdehem. "Teknik Informatika."
Lelaki itu mengangguk-angguk paham. "Lo masih maba ya?" tebaknya.
Pria itu melirik Nabiga sekilas karena sebab dialah Azka terjun pada kebohongan. Sedangkan gadis itu mengalihkan pandangan tidak mau ikut campur urusan manusia.
"Memangnya kenapa?" Azka tanya balik.
"Pak Latif cukup terkenal di kampus, bahkan dari fakultas lain juga paham siapa beliau," katanya.
Mendengar itu membuat Nabiga sontak menoleh. "Pasti karena Pak Latif Dosen killer."
"Pak Latif orangnya terkenal tegas dan disiplin. Jadi minimalisir kesalahan bicara sama beliau, bisa-bisa lo kena semprot," ujar lelaki itu memberi wejangan.
Ketika langkah sang Mahasiswa berhenti, kedua yang lain pun turut berhenti. "Kita udah sampai."
"Terimakasih sudah mengantar kami."
"Kami?" beo mahasiswa tersebut.
Azka segera tersadar lantas memegang pangkal hidungnya menutupi ekspresi anehnya. "Ah maksudnya, Terimakasih sudah mengantar saya."
"Ohh santai aja. Gue duluan!" pamitnya sembari menepuk-nepuk bahu Azka.
Pria itu menghembuskan napasnya pelan, rasanya sama seperti dia dipanggil oleh Pak Zayn beberapa waktu yang lalu. Nabiga kali ini menyemangati majikanya.
"Calm down, Pak. Santai ... "
Dalam hati Azka mendengus sebal, mudah sekali Nabiga mengatakannya tanpa menghadapi semua ini. Meskipun Nabiga ada di sampingnya, nyatanya dalam kacamata orang lain, Azka hanya sendiri.
Dia menaikan punggung tangannya ke udara lantas mengetuk pintu yang ada di hadapan mereka.
Tanpa disadari, keduanya sama-sama ketar-ketir menggigit bibir. Apalagi mendengar suara langkah yang mendekat. Begitu pintu terbuka, terpampanglah wajah sosok yang mereka cari.
"Ada keperluan apa?" tanya Pak Latif tanpa basa basi.
Sesaat Azka menjadi linglung. Nabiga buru-buru menyadarkan kefokusan pria itu. "Pulpennya, Pak. Pulpen."
"Oh iya pulpen," gumamnya seraya meraba saku celananya.
Pak Latif menaikkan satu alisnya kala Azka menyodorkan sebuah pena miliknya. "Kemarin sewaktu Pak Latif keluar dari lift apartemen, pulpen ini jatuh. Dan saya berniat mengembalikannya."
Pak Latif mengangguk-angguk kemudian mengambil pena tersebut tanpa rasa curiga siapa Azka sebenarnya. "Terimakasih ya."
Melihat Pak Latif hendak keluar menutup pintu membuat Azka bergeser sedikit mebeti ruang untuk dosen tersebut. Namun kala Pak Latif hendak berjalan menjauhi mereka, Azka mencegahnya.
"Permisi, Pak," interupsinya.
Sang empu terpaksa berbalik badan. "Masih ada perlu dengan saya?"
Azka mengangguk pelan. "Ada yang mau saya tanyakan."
"Silahkan."
Pria itu melirik sejenak pada Nabiga yang memberi anggukan mantap. "Ini tentang salah satu mahasiswa kampus yang bernama Nabiga."
Wajah datar sang dosen sontak sedikit berubah. Nabiga pun menyadarinya, namun ia tetap diam tanpa mengatakan apapun pada Azka. Biarkan pria itu saja yang menjalankan aksinya.
"Kalau boleh tau, apa Pak Latif mengenal dekat dengan Nabiga?"
Dosen tersebut tidak langsung menjawab, justru bertanya kembali. "Sebentar, kamu itu siapanya Nabiga? Apa urusan kamu sehingga bertanya-tanya tentang hal pribadi?"
Azka lupa mempersiapkan identitas palsunya di hadapan Pak Latif. Dia terlalu banyak berpikir sehingga menimbulkan kecurigaan pada dosen itu.
"Kamu saja tidak bisa menjawab siapa diri kamu. Maaf saya juga tidak bisa menjawab pertanyaan kamu. Saya tahu ada pertanyaan lain di balik pertanyaan itu."
Pak Latif tahu betul gelagat orang-orang di matanya. Jika ada pertanyaan umum, pasti nantinya akan ada pertanyaan yang lebih merinci.
"Saya tidak bisa membeberkan identitas orang lain sembarangan."
"Maaf waktu saya terbatas karena ada jadwal mengajar mata kuliah. Saya pergi," tutupnya kemudian pergi begitu saja.
Hal itu membuat Nabiga berseru," Pak Azka, kejar dia! Kita jangan sampe kehilangan jejak lagi."
Azka berlari kecil berusaha menyetarai langkah sang dosen. Membuat Pak Latif terpaksa berhenti lagi dengan raut kesal. "Kamu tidak mengerti bahasa manusia ya?" kejamnya.
"Maaf, Pak. Tapi ada hal penting harus yang harus saya dan Bapak bicarakan. Ini tentang nasib Nabiga, Pak."
Melihat Azka yang bersikukuh menjadikan Pak Latif menghela napas. "Baiklah, saya turutin keinginan kamu. Tapi tidak bisa hari ini."
Sang empu tersenyum lega. "Lalu kapan Pak Latif punya waktu senggang?"
"Besok. Besok pagi kamu punya waktu dua jam sebelum saya pergi ke luar kota."
Azka terdiam sejenak, besok pagi jelas-jelas ia harus pergi ke kantor. Ia harus segera menyelesaikan project bersama tim Hercules.
Dia lantas memandang wajah lesu Nabiga yang sepertinya juga memikirkan hal yang sama. Namun, sekali lagi Azka berpikir. Jika dirinya memilih bekerja, ia jelas-jelas akan kehilanga kesempatan yang tidak akan datang dua kali.
Biarkan untuk pertama kalinya Azka akan mengutamakan hantu malang itu.
"Baik, saya akan menemui Pak Latif lagi besok."
Nabiga sontak menoleh. "Besok Bapak masuk kerja loh!"
"Kamu lebih penting," gumamnya sepelan mungkin agar Latif tidak mengetahuinya.
Dosen itu mengangguk. "Saya tunggu di ruangan saya."
Nabiga memandang punggung Pak Latif yang kini semakin tertelan oleh jarak. Dalam hatinya terus berharap agar beliau mau memberi informasi secara rinci. Pak Latif adalah jembatannya menuju gerbang kebenaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...