Sekarang Azka tengah di kantor menghadap pada atasan. Ia harus meminta izin agar pagi ini ia bisa menemui dosen kampus Nabiga.
"Kamu lupa atau gimana, Ka? Pagi ini kita ada meeting bersama Pak Zayn. Kamu ketua tim loh!"
"Saya tahu, Pak. Tapi keperluan ini sangat darurat. Saya janji akan kembali ke kantor sebelum meeting dimulai."
Azka berusaha memberi argumentasi sekuat mungkin. Mungkin saat ini Pa Latif tengah menunggunya datang.
"Coba letakkan urusan pribadi kamu dan bertindak profesional," kata atasan Azka yang tidak setuju.
Nabiga yang memperhatikan keduanya berseteru pun mengalah. "Yaudah, Pak. Kita ngga usah nemuin Pak Latif. Bapak kerja aja."
Dalam hati Azka ia menolak keinginan Nabiga. Dia sudah terlanjur mengambil pilihan.
"Ada apa ini?"
Seseorang datang sembari menggulung kemeja kerjanya. Dialah sang pemimpin perusahaan, Pak Zayn. Ia mendengar keributan kecil di antara para pegawainya.
"Maaf, Pak, Azka berniat untuk izin pergi padahal sudah tahu bahwa nanti ada meeting bersama para pimpinan."
Azka menghembuskan napasnya lelah, jika seperti ini, sudah jelas dia tidak akan mendapatkan izin. Dia akan kehilangan kesempatan emas saat ini.
"Sangat darurat ya?" tanya Pak Zayn yang diangguki olehnya.
"Kalau begitu, saya izinkan," ucapnya tiba-tiba membuat atasan Azka maupun Azka sendiri menoleh.
Karena sudah mendapat izin langsung dari petinggi, atasan Azka tidak mampu berbuat apa-apa. Azka dan Nabiga tersenyum senang mendengarnya.
"Terimakasih banyak, Pak. Saya pastikan tidak akan terlambat mengikuti meeting."
Pak Zayn mengangguk. "Itu harus. Kamu adalah ketua tim project perusahaan."
"Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Saya permisi, Pak," pamit sang manager mengakhiri percakapannya.
Tersisa mereka bertiga yang masih berdiri di tempat. Pak Zayn memandang mereka satu persatu. "Kebetulan saya juga akan keluar sebentar, mungkin mau sekalian? Kelihatannya urgent sekali urusan kamu, Azka."
Pria itu tersenyum tipis. "Tidak perlu, Pak. Saya akan naik bis saja."
"Terlalu membuang waktu menurut saya. Apagi kamu harus menunggu cukup lama di halte," kediknya.
Nabiga memberi anggukan pada Azka yang meminta pendapatnya. "Yasudah saya ikut Pak Zayn saja, maaf kalau merepotkan."
"Tidak sama sekali."
Mereka bertiga keluar dari pintu lift dan berjalan menuju parkiran khusus pimpinan perusahaan. Dan untuk yang pertama kalinya juga, Azka masuk ke dalam mobil yang harganya menyetarai satu unit rumah mewah.
"Kalian kira saya supir?" kata Pak Zayn saat dua penumpang lain duduk di bangku belakang.
"Salah satu temani saya di sini," perintahnya.
Azka pun memberi instruksi pada Nabiga untuk berpindah tempat. Dengan senang hati gadis itu berpindah tanpa memakan waktu karena tubuhnya yang transparan. Pak Zayn pun mulai menjalankan kendaraannya.
"Kemana arah tujuan kalian?" tanya Pak Zayn sembari fokus menyetir.
"Ke Institut Teknologi Bandung, Pak," jawab Nabiga.
Pak Zayn melirik cermin di langit-langit mobil. "Saya baru tau kamu sedang melanjutkan program studi."
Azka tersenyum canggung. "Saya ke sana bukan urusan kuliah, Pak."
"Lalu?"
Apakah Pak Zayn perlu ia beri tahu? Kalaupun tahu juga tidak akan berguna bukan? Pemilik perusahaan itu tidak ada kaitannya.
"Tentang hidup Nabiga di masa lalunya."
Seketika mobil berhenti mendadak. Membuat para penumpangnya terdesak ke arah depan. Untungnya Azka memakai sabuk pengaman.
"Kenapa berhenti, Pak?" seru Nabiga heran sekaligus terkejut.
"Apa ada masalah di luar? Biar saya cek." Azka berinisiatif untuk keluar dari mobil. Tetapi sang empu mencegahnya.
"Tidak perlu keluar. Tidak ada masalah apa-apa di depan sana."
Hal tersebut menimbulkan pertanyaan di benak kedua penumpang yang lain. Apa yang membuat Pak Zayn mengerem mendadak bahkan bisa saja menimbulkan kecelakaan untuk dirinya sendiri?
"Maaf sudah buat kalian kaget," ucapnya mengantung tanpa kejelasan.
Perjalanan mereka tidak memakan banyak waktu karena Pak Zayn melesat dengan cekatan. Sekarang mobil sudah berhenti tepat di halaman depan gedung utama.
Azka keluar dari mobil begitu juga pemiliknya. "Terimakasih, Pak."
"Sama-sama. Semoga keperluan kalian segera terselesaikan." Pria itu mengangguk.
"Kalau begitu saya permisi, Pak Zayn." Azka lantas menoleh pada gadis itu, "Ayo Nabiga."
Hantu cantik itu tidak langsung mengekori Azka. Ia malah setia berdiri di samping pemilik perusahaan kemudian memandangnya lekat-lekat.
"Jangan kira saya bodoh dengan sikap Pak Zayn di perjalanan tadi," kata Nabiga dengan nada rendah.
"Saya rasa kita perlu bicara empat mata setelah ini," tutupnya sebelum berlari menyertai langkah Azka di depan sana.
Pak Zayn terdiam mendengar penuturan Nabiga barusan. Seolah ia tiada daya untuk membalasnya walau sepatah kata. Karena nyatanya, Zayn tidak menemukan jawaban di pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...