Di dalam mobil pun sama saja keadaaanya seperti di restaurant.
Zayn yang duduk di bangku penumpang bagian kedua itu mencoba menegakkan tubuhnya. Kepalanya terasa pusing sekali.
"Kamu tidur aja, Zee. Sebentar lagi sampai di apartemen."
Kening Zayn berkerut saat mendengar warna suara yang berbeda. "Kamu siapa?"
Laura melirik pria itu dari cermin langit-langit mobil. "Aku Laura, Zee."
"Ohh ... Ternyata Laura. Aku kira ... Masih Nabiga."
Perempuan itu meneguk ludahnya sendiri mendengar perkataan Zayn. Artinya pria itu baru saja berbicara dengan jiwa Nabiga.
Laura memaksakan senyumnya. "Iya, aku bukan Nabiga. Kamu istirahat, Zee. Dua menit lagi sampai."
"Kepalaku pusing. Berasa ada ... Hewan yang muter-muter di atas kepala," katanya polos membuat Laura tersenyum geli.
Mobil hitam Laura terparkir rapi di area basemant gedung apartemen yang ditinggali Zayn. Gadis itu kembali membantu sang pria berjalan dengan benar. Agak kelimpungan sejujurnya karena tubuh Zayn tak sebanding dengan dirinya.
Laura menekan tombol lift dan berjalan masuk saat kedua pintu bergeser saling menjauh.
"Aku mau muntah ... "
Laura melototkan matanya. "Hei! Hei! Zee, jangan di sini. Tahan dulu okey?"
Zayn menggeleng membuat Laura ketar-ketir. Bisa bahaya kalau Zayn memuntahkan isi perutnya di sini. Dia akan terkena teguran.
"Sabar ya? Bentar lagi sampai," bujuknya.
Cemas-cemas ia menatap angka yang terus berjalan hingga sampai pada lantai tujuan mereka. Laura berusaha membawa Zayn berjalan cepat.
Dia menekan-nekan tombol password yang terdapat pada knop pintu. Setelah berhasil masuk, ia langsung membawa Zayn ke toilet.
Laura memandang Zayn yang mengeluarkan isi perutnya lantas menekan tombol siram air di sana. "Kamu minum seberapa banyak?"
Baru pertama kali melihat Zayn mabuk begini rasanya aneh. Usainya, Laura membantu Zayn ke kamarnya. Melepaskan sepatunya dan menyelimuti pria itu dengan selimut tebal. Menyediakannya perasan air lemon untuk diminum saat sudah sadar nanti.
Laura mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. "Aku pulang dulu ya?" pamitnya.
Ketika Laura hendak beranjak dari samping ranjang, Zayn terduduk memanggil namanya. "Laura."
Terpaksa gadis itu mendekat dan duduk di samping Zayn. "Kenapa? Butuh sesuatu?"
"Aku mau hari ini kita selesai."
Laura terdiam.
"Kita ngga bisa ngelakuin ini terus. Aku ... Merasa bersalah sama Nabiga."
"Aku ngga nyaman ngelihat wajah Nabiga yang bener-bener ngga tau apa-apa tentang kita dan semua yang terjadi sama dia."
"Dua. Aku udah nyakitin dua hati perempuan sekaligus."
"Dan aku ngga bisa bilang yang sebenarnya sama Nabiga."
Mata zayn memerah.
Zayn menangis.
Dia memukul dadanya sendiri meluapkan emosinya. "Aku pecundang, Laura ..."
Laura mengalihkan pandangan. Mengepalkan tangannya kuat-kuat. Namun semua itu sia-sia ketika air matanya turut mengalir.
Gadis itu sama lemahnya dengan Zayn sekarang.
Sama-sama pengecut.
Mereka berdua mengubah hidup orang lain karena keegoisan masing-masing.
****
Bulu mata lentik Zayn terangkat perlahan. Ia berusaha beradaptasi dengan cahaya mentari yang menyeruak masuk ke dalam kamar apartemennya.
Tangannya menyentuh kepalanya yang begitu berat dan pusing. Zayn berusaha duduk seraya menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Pakaian kantornya masih melekat di tubuhnya.
Ia jadi teringat semalam jika dirinya minum begitu banyak. Ah dia jadi takut apa saja yang telah ia lanturkan kala itu.
Netranya tidak sengaja jatuh pada air lemon yang berada di atas nakas. Zayn jadi bertanya-tanya, siapa yang mengantarnya semalam? Mungkinkah Azka?
Namun ia melihat keberadaan kunci mobil di dalam saku celananya. Lantas bagaimana ia bisa berada di sini?
Segera setelah Zayn meminum air lemon itu, dirinya mengecek ponsel. Tidak ada pesan dari siapapun di kolom chatnya selain rekan kerja.
Tetapi ia melihat riwayat panggilan terjawab dari Laura. Pukul 23.00. Tepatnya tadi malam.
Mungkinkah Laura yang mengantarnya kemari?
Melihat gelas bekas air lemon semakin menguatkan bahwa Laura lah yang mengantarnya pulang. Kalaupun Azka, dia tidak mungkin senekat itu menjamah area dapur tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Hanya Laura yang berani melakukannya.
Tapi Laura tidak mengirim pesan apapun setelah kejadian semalam.
Zayn jadi gelisah. Apakah dia mengatakan hal tidak mengenakan pada gadis itu?
Argghh! Kenapa dia melupakan semuanya. Salahnya juga karena kecanduan dengan minuman bir sialan itu.
Jarinya mengetuk ponsel tak berirama. Bimbang apakah ia harus menelfon Laura atau tidak.
Tiba-tiba Zayn dikejutkan dengan ponselnya yang berdering menampilkan sang pemilik nama yang tengah Zayn pikirkan saat ini.
Ia pun menggeser layar tersebut dan mendekatkan ponsel ke telinganya. "Ra?"
"Semalam kamu yang antar aku pulang kan? Makasih dan maaf ngerepotin." Zayn berbicara lebih dulu tanpa memberi kesempatan sebeerang menjawab sapaannya.
Berdetik-detik hening. Tidak ada sahutan apapun dari arah sana. Membuat Zayn kebingungan.
"Ra? Kamu denger suaraku kan?"
Laura pun berdehem menunjukkan suaranya. "Iya."
"Oh iya, semalam ... Aku ngga bicara yang aneh-aneh kan?" Zayn bertanya dengan hati-hati.
"Engga."
Zayn menghela napas lega. "Syukurlah."
"Zayn," panggil gadis itu.
Sang empu terdiam sejenak saat menyadari perubahan Laura dalam memanggil namanya.
"Iya?"
"Boleh antar aku ketemu sama Nabiga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
NICE TO MEET YOU (Selesai)
FantasyKalian pikir menjadi indigo itu enak? Setiap jam, setiap menit dan setiap detik Azka harus menyiapkan mental untuk bertemu mereka yang tak kasat mata. Ia harus setia berpura-pura tidak tahu meski bulu kuduknya sering meremang. Namun pada suatu ka...