8. Wajahmu Sama Sampahnya"

3.8K 408 13
                                    

"Mbak Ren, ada yang nyariin!"

"Udah tahu, tadi ditelepon Bu Redaktur."

Baru saja aku turun dari ojek online bahkan helm pun belum aku lepas, Vita, mahasiswa yang tengah magang di timku ini langsung menghampiriku dengan wajah khawatirnya yang langsung aku jawab sembari bergegas menuju ruangan Bu Asti.

"Mbak Rena, yang nyari Mbak barusan kayaknya masalah artikel soal Rinjani Prabumi, deh. Tim kita seharian ini sibuk banget sama media lain yang mau reupload artikel kontroversial itu, insight naik gila-gilaan tapi habis orang itu datang, tim kita diminta mundur di ganti sama tim lain. Itu artikel kita di takedown ya Mbak?"

Sepanjang perjalanan tadi aku menerka-nerka hal apa yang akan terjadi padaku usai skandal kontroversial tersebut mencuat namun terlalu banyak kemungkinan hingga aku bingung menerka apa yang akan terjadi dan sekarnag kalimat panik dari Vita sama sekali tidak membantuku menerka apa yang terjadi.

"Kalaupun di takedown, kayaknya skandalnya udah terlanjur naik deh, Ta. Udah pasti akun gosip macam lambe-lambean juga udah banyak yang upload ulang meskipun nggak seizin kita. Lagipula itu hal biasa kali San, kalau di takedown beneran yang berarti kemungkinannya dua hal, satu, di-takedown karena aku terbukti menyebarkan hoax dan mereka punya bukti kuat, yang artinya aku harus siap-siap menulis permintaan maaf sampai di pecat sebagai konsekuensi, yang kedua, skandal itu memang benar tapi pihak Rinjani Prabumi menawarkan hal yang tidak bisa di tolak oleh kantor kita untuk menurunkan berita itu dan kemungkinan kita harus menaikkan skandal lainnya untuk mengaburkan skandal murahan yang baru saja membuat insight kita naik gila-gilaan."

"Tapi Mbak Rena, kayaknya kali ini beda deh...."

"Beda apaan sih, Ta. Sudahlah, daripada ngekhawatirin aku, mending kamu ubek-ubek cari artikel lain, kelakuan macam Miss Sempurna udah bisa ditebak. Paling kuasa hukumnya kesini datang buat minta kita nutup......"

Dengan santai aku menanggapi kekhawatiran Vita, bukan karena aku sok tenang atau bagaimana, saat aku baru mulai bekerja seperti Vita, aku pun merasakan hal yang sama tapi jawaban seperti inilah yang Samuel berikan agar aku tidak gelisah. Yang aku pelajari dari seniorku tersebut adalah hidup yang terus berlanjut. Tidak peduli seberapa mengerikannya hari ini, pasti hari ini akan berganti esok dan kengeriannya perlahan akan memudar, yang terpenting adalah kita terus berjalan melewatinya semampu kemampuan kita, tidak perlu ambil pusing. Dipuji ya seneng, dimarahin ya terima saja. Tapi sepertinya kali ini berbeda, saran dan ilmu yang diberikan oleh Samuel sepertinya tidak bisa aku gunakan karena badai yang datang menghampiriku ini datang dalam wujud yang berbeda.

"Jadi, kamu yang bernama Serena?"

Suara berat itu membuatku menelan ludah kelat. Demi Tuhan, kenapa badai ini datang bukan dalam bentuk teguran dari Redaktur, somasi dari tim pengacara melainkan dari sosok angkuh berkemeja hitam yang duduk di kursiku bagai sebuah kursi kebesaran. Sorot matanya yang tajam serasa menusukku, dan sungguh, sosoknya ini membuat teringat pada Lucifer yang bersiap menarik diri kita ke neraka. Terlebih saat pria yang sangat aku tahu siapa itu mulai angkat bicara sembari melangkah menuju ke arahku, suara beratnya serasa tengah menjatuhkan hukuman mati untukku, dan satu-satunya hal yang aku inginkan adalah pergi sejauhnya dari pria bernama Gala Mangkualam, yang tidak lain adalah tunangan dari perempuan yang baru saja aku up skandalnya.

Disaat dia seharusnya berterimakasih karena aku membuka kelakuan nggak bener calon istrinya kenapa dia justru datang ke hadapanku dengan amarah sebesar gunung Himalaya. Apalagi saat dia kini berdiri di hadapanku hanya menyisakan sejengkal jarak yang membuatku bahkan bisa mencium aroma parfumnya yang kuat dengan bau rempah, ingin rasanya aku tenggelam saja ke lantai yang ada di depanku.

Bibik, tolong!!!!!

"Jadi seperti inikah bentukan jurnalis jaman sekarang? Menulis omong kosong dan menganggap sesuatu yang sudah mengusik hidup orang lainnya seperti sebuah lelucon tanpa merasa bersalah sedikitpun?" Telunjuk itu menyentuh daguku saat aku mengalihkan pandanganku darinya, membuatku terpaksa mendongak menatapnya yang melihatku dengan kebencian.  Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat bagaimana bibir tipis itu bergerak mengeluarkan suara lirih namun sukses mengoyak hatiku dengan hinaannya. " Wajahmu sama sampahnya seperti tulisan yang sudah kamu buat untuk mengusik Rinjani."

Cinta Diantara DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang