Part 19. calon Ipar

3.4K 388 15
                                    

"Kamu bisa memasak?" Pertanyaan yang terlontar dari Nyonya besar yang ada disampingku saat mobil mulai melaju meninggalkan kantor polisi tempat Gala berdinas tersebut membuatku langsung mengangguk.

"Bisalah, Nyonya. Jika saya tidak bisa memasak, mau makan apa saya?! Jajan boros, tapi ini perut kayak cacingan makan sebanyak apapun laper, solusi terbaik, saya memasak sendiri." Jawabku lugas, jika sebelumnya aku memanggil beliau Mama untuk membakar Gala, maka sekarang aku kembali memanggil beliau dengan sebutan Nyonya sebagai bentuk hormat. Tapi rupanya Nyonya Saraswati tersebut justru mengernyit tidak suka.

"Kenapa kamu balik manggil saya Nyonya? Sudah bagus-bagus manggil saya Mama, dengan kamu manggil saya Nyonya, semua orang bisa mengira jika kamu memang pembantu saya, dan saya tidak suka dengan cemoohan tentang anak saya yang lebih memilih pembantu dibandingkan anak seornag Jendral!"

Suara ketus dari Nyonya Saraswati ini membuatku meringis, seumur hidup baru kali ini aku memanggil seseorang dengan sebutan Mama, lucu sekali, bahkan wanita yang melahirkanku pun tidak bisa aku panggil demikian namun sekarnag Ibu dari pria yang sudah membuat warna keruh di hidupku justru aku panggil demikian. "Saya merasa kalau sebelumnya saya SKSD sekali jika memanggil Anda Mama, saya tadi melakukannya untuk menggoda Mas Gala, tapi jika Mama tidak keberatan, boleh saya terus memanggil demikian?"

Dengan sopan aku kembali bertanya, kali ini untuk meminta persetujuan beliau. Semua orang mungkin mengira jika aku adalah manusia urakan tanpa sopan santun, tapi percayalah, aku tidak seburuk itu, aku tahu dengan benar bagaimana caranya bersikap baik kepada orangtua.

Untuk sejenak aku menunggu reaksi Nyonya Saraswati yang menatapku lekat, sungguh tatapan mata beliau yang begitu dalam seolah mengorek hingga ke dasar hatiku yang terdalam ini sebenarnya agak mengusikku, beliau seolah mencari kebohongan dan jujur saja, sikap beliau ini agak mengintimidasiku yang hanya bisa balas menatap beliau hingga mataku terasa berair.

"Tentu saja kamu harus memanggil saya Mama, kamu mau jadi istrinya Gala, sudah keharusan kan kamu memanggil kami dengan panggilan yang layak. Jangan seperti majikan sama pembantu."

Mendengar jawaban dari Nyonya Saraswati, reflek aku tersenyum dan meraih tangan beliau, sulit dijelaskan namun aku merasa senang sekali mendengarnya, benar-benar seperti perkenalan antara mertua dan calon menantu beneran, dan ini sangat melegakan. "Terimakasih, Mama!!!!"

"Haduuuhhh, kenapa kamu bisa semenggemaskan ini, sih? Mama jadi penasaran dimana Gala menemukanmu, kamu memang bukan tipenya dari segala sisi, tapi Mama merasa kamu memang wanita yang tepat untuk anak Mama yang menyebalkan itu. Cuma kamu yang bisa mendebatnya sampai tidak bisa berkata-kata. Plus dan plus itu sudah biasa, namun plus dan minus itu lebih berwarna saat bersama. Saling melengkapi itu lebih cocok daripada hanya selaras."

Kembali rasa bersalah menghantamku, rasanya ada debar rasa bersalah yang amat besar karena sudah mempermainkan beliau yang begitu tulus dan baik dalam menerimaku, namun kembali lagi, aku mendorong rasa bersalah itu kuat-kuat mundur dari hatiku. Semuanya sudah terlanjur terjadi, mundur hanya akan membuatku dibenci oleh beliau, dan aku tidak ingin kehilangan rasa hangat yang beliau tawarkan, apalagi saat kami mulai berbicara, terlibat obrolan akan banyak hal yang tidak kami sangka akan nyambung sekali, untuk pertama kalinya aku mendapatkan perlakukan hangat dan layak seorang Ibu yang tidak pernah aku miliki.

Terlebih saat mobil berhenti di sebuah supermarket yang harga barang-barangnya seringkali membuatku menjerit, Nyonya Saraswati mengajakku berbelanja barang-barang yang dulu hanya aku longok demi sebuah resep yang beliau minta masakkan.

"Pokoknya Mama pengen kamu masakin tengkleng sama tongseng yang enak, apapun bahan-bahannya, ambil. Yang terbaik, pokoknya harus enak! Awas aja kalau kamu bilang masak cuma omong gede doang, Mama walaupun orang Jakarta tapi lama di Solo jadi tahu seenak apa masakan kota itu."

Diperintah semamcam ini tentu saja aku bahagia, dengan cepat aku mengambil daging kambing terbaik untuk tongseng, jerohannya, dan berlanjut ke tulangan untuk tengklengnya, semua bahannya aku masukkan saja ke dalam troli, ajaibnya selama bersama Nyonya Saraswati aku melupakan betapa aku sudah dibuat seperti sampah oleh anaknya. Aaah, mungkin ini yang namanya menikmati peran karena yang aku rasakan aku seperti benar-benar bersama dengan sosok seornag Ibu. Beban berat, rasa sakit hati yang sebelumnya membuatku sesak untuk sekedar bernafas hilang lenyap.

Begitu pun saat akhirnya mobil mewah tersebut berhenti di kediaman Mangkualam, rumah yang bernuansa putih dan hitam yang begitu maskulin tersebut tampak angkuh dan arogan memperlihatkan status mereka yang berbeda.

"Anggap saja rumah sendiri, toh nantinya kamu juga akan tinggal disini." Ditengah ketercenganganku melihat rumah megah yang biasanya aku lihat hanya sekilas dari balik gerbang, dengan entengnya beliau berbicara sembari berlalu. Aku menelan ludahku kelu melihat betapa dunia tempatku berpijak dengan orang-orang yang semena-mena ini begitu jauh berbeda. Pantas saja, baik Gala, maupun Rinjani, mereka semua seolah tidak takut dengan apa yang mereka lakukan.

"Siapa kamu? Ngapain kamu berdiri didepan pintu?"

Tanpa aku sadari aku berdiri lama di depan pintu, menatap dengan perasaan yang sulit aku gambarkan sampai akhirnya satu sosok yang serupa dengan Gala Mangkualam menepuk bahuku. Jujur saja, aku cukup terkejut melihat sosoknya, namun saat pria yang lebih muda beberapa tahun dari Gala tersebut tersenyum, aku pun membalasnya dengan kikuk.

"Kenapa wajahmu syok kayak gitu? Persis kayak ngelihat hantu."

Ditegur demikian aku mengerjap pelan sebelum mengulurkan tanganku kepadanya. Tanpa harus bertanya sudah sangat jelas kan siapa dia ini. "Aaaah, maaf jika kurang sopan, kamu dan Mas Gala sangat mirip. Perkenalkan, aku Serena....."

Berbeda dengan sosok angkuh Gala, pria dihadapanku ini menyambut uluran tanganku dengan hangat, ckckck jauh berbeda dengan Gala, sangat tidak cocok secara sifat mereka menjadi saudara. "Senang berkenalan denganmu, Serena. Nama yang bagus, cantik dan seksi sekali saat diucapkan, dan yaaah, kenapa kamu bisa nyasar dirumah ini? Ahhhh panggil saja Raga, jadi siapa kamu ini, asisten baru Mama atau...."

Kalimat itu terhenti tidak diselesaikan oleh Raga, dia ingin aku berkata sendiri siapa aku hingga aku ada disini, dan jujur saja, kembali aku dilanda perasaan tidak nyaman karena harus berbohong, terlebih saat pria ini bersuara dengan lembut tanpa ada sikap arogan dan mengintimidasi, aku merasa bersalah.

"Dia calon kakak iparmu, Raga!" Ditengah kebekuanku kebingungan untuk menjawab, Nyonya Saraswati kembali muncul, kehadirannya langsung disambut pelukan hangat oleh putranya yang tampan meski tampak kebingungan mencerna apa yang terjadi.

"Kakak ipar, Ma? Bang Gala berniat poligami gitu? Bukannya dia udah punya Rinjani? Mama ini ngelawan apa gimana? Nggak lucu banget......"

Ya, memang menggelikan, tapi ide buruk tentang aku yang menjadi orang ketiga diantara Gala dan Rinjani justru ide dari kakakmu sendiri, Dude!

"Gala nggak jadi sama Rinjani, jadinya sama Serena! Meskipun Mama merasa itu anak lebih cocok sama kamu dari segi usia, tapi ya gimana lagi. Dia calon kakak iparmu!"

Raga yang terlihat terkejut kini bisa menguasai diri, bahkan kini dia terkekeh geli sendiri, "ckckck sayang sekali. Dibandingkan dengan Gala, kamu memang lebih cocok denganku! Pria kaku menyebalkan itu terlalu tua untukmu, Serena! Sialan sekali Abangku itu memang selalu diberkati keberuntungan."

Aku kira pria ini waras, tapi rupanya pria ini juga gila dengan versinya sendiri.

Cinta Diantara DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang