14. Mencintaimu? Cihhh Mimpi!

3.5K 379 20
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HolllaaaaaaIkuti juga kisah Rena di aplikasi sebelah untuk update lebih cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaaa
Ikuti juga kisah Rena di aplikasi sebelah untuk update lebih cepat.
Happy reading semuanya.
Selamat Tahun Baru 2024, semoga di tahun baru ini kita semakin bahagia.
Amiiinnnn

"Kamu ingin bermain-main denganku, Calon istri??? Oke, ayo kita bermain-main."

Aku tersenyum kecil, senang dengan reaksinya yang aku dapatkan. "Yaaaah, nggak seru kamu, mah. Seharusnya kamu ngamuk-ngamuk nggak jelas saja, jadi bisa aku bikin headline segede kepala gimana arogannya sikap seorang Polisi Idola kepada perempuan yang katanya dia cintai dibandingkan tunangannya sendiri."

Aku mencibirnya pelan tanpa sungkan langsung di depan wajahnya, bertolak belakang dengan wajahku yang sangat tenang, Gala yang murka seketika mendengus kesal. Bisa kalian bayangkan bagaimana seorang yang mau marah tapi tidak bisa meluapkannya karena ada image baik yang harus dijaganya, kira-kira seperti itulah wajah Gala sekarang.

Mungkin dipikirannya, saat dia mengusikku aku akan menangis tersedu-sedu di dalam kubikelku merutuk hal buruk yang tengah terjadi padaku karena ulahnya sembari ketakutan menunggu hal buruk apa lagi yang akan dia kirimkan untuk menghancurkan hidupku. Ciiiihhhh, dibandingkan hidup dalam mimpi buruk, lebih baik bagiku untuk menghampiri mimpi buruk itu sekalian, jika perlu mimpi buruk itu juga harus merasakan buruknya kehadiranku untuknya.

Sial sekali bagiku karena mimpi buruk yang aku dapatkan adalah sosok tampan bernama Gala Mangkualam, tidak peduli bagaimana sempurnanya wajah pria ini, dimataku dia adalah Polisi Tengik yang sudah menyalahgunakan kekuatan yang dia miliki.

"Sepertinya saya memang benar membutuhkan tempat pribadi untuk berbicara dengan calon istri saya yang sedang rewel ini, Bachtiar."

Kembali kata calon istri ditekankan dengan pandangan mata yang seakan ingin mencabik-cabikku menjadi ribuan serpihan kecil untuk dilemparkan ke kecoa, namun seakan hinaan itu adalah sebuah pujian, aku justru tersenyum manis mendengarnya. Topeng yang aku kenakan untuk melindungi diriku harus sekuat mungkin.

"Good, dari tadi kek." Balasku yang lagi-lagi membuatnya melengos kesal, tanpa belas kasihan sama sekali dia menarikku untuk pergi, persis seperti seornag yang tengah menarik hewan ternaknya untuk disembelih, dengan kakinya yang kelewat panjang dia membawaku pergi tidak peduli aku yang terseok-seok menyeimbangi langkahnya menyusuri koridor Polres, nasib baik aku menggunakan skinny jeans, jika tidak mungkin aku akan terjungkal, tersandung atau mungkin nyungsep sekalian.

Aku sempat bertanya-tanya dalam hati apa tempat pribadi dalam versinya, namun saat dia mendorongku ke sebuah sofa empuk di sebuah ruangan yang tidak terlalu besar, aku langsung paham jika ruang pribadinya tidak lain dan tidak bukan adalah ruangan kantornya.

"Aelaaah, sama calon istri gitu amat, Bwaaang. Nggak situ, nggak sesemantan sama saja kasarnya! Kalian itu di sekolah di didik pasal adab nggak sih? Barbar amat."

Kuusap bahu dan tanganku yang terasa nyeri, dan benar saja seperti yang sudah aku kira, bekas cekalan tangannya membuat lengan dan pergelangan tanganku memerah, mungkin besok akan membiru, susahnya punya kulit terang mudah sekali terlihat jika terluka. Dan aku sangat membenci bekas-bekas itu karena akan membuat orang menatapku dengan pandangan kasihan.

Aku masih ingin merepet atas sikapnya yang kasar kepadaku, namun seketika ocehan yang sudah ada diujung lidahku itu terhenti saat pria itu mengurungku di antara kursi yang aku duduki. Kedua lengannya yang kekar mencengkeram erat setiap lengan membuatku tidak bisa beranjak pergi darinya yang sudah dalam mode Harimau pemangsa.

"Apa peringatan yang aku berikan kemarin belum bisa menembus otak bebalmu itu hingga kamu masih berani bermain-main denganku. Apa kamu tidak tahu siapa aku ini, woman??? Apa kamu pikir dengan menghampiriku di tempat dinas akan membuatku takut membalas sikap kurang ajarmu ini?

Gala Mangkualam, pria ini berbicara tepat di depan wajahku, hidungnya yang mancung bahkan nyaris  menyentuh puncak hidungku, bohong jika aku tidak ngeri dengan pandangan matanya yang menyiratkan betapa murkanya dia sekarang ini, tapi dibandingkan menyimak kekesalannya yang tidak jauh-jauh dari ancaman, aku lebih tertarik dengan bibirnya yang terlihat alami merah muda, namun disaat bersamaan tercium aroma tembakau bercampur mentol menguar saat berbicara.

Good looking, karier mapan, wangi, tidak bau mulut, pria di hadapanku ini sempurna kecuali akhlaknya yang minus.

Mengusir kegelisahan yang aku rasakan karena imtimidasi yang dia lakukan, aku mendongakkan wajahku, dengan berat hati aku mengalihkan pandanganku dari bibirnya yang membuat iri ke matanya yang menakutkan, tidak, aku tidak memperlihatkan ketakutanku, karena yang aku lakukan bukannya memberontak memintanya untuk membebaskanku dari kukungan lengannya, namun aku justru memilih untuk mengalungkan tanganku pada lehernya, menariknya semakin mendekat kepadaku.

"Kenapa aku harus takut ke kamu! Kan kamu sendiri yang bilang kalau aku ini calon istrimu, normal sekali kan kalau seornag calon istri datang ke tempat dinas calon suaminya. Apalagi sekarang aku sedang badmood di kantor, kamu nggak asyik sama sekali sih bikin aku di pindah ke divisi yang lain, nggak bisa ngerecokin si Rinjani lagi deh."

Selama aku berbicara mata kami saling menatap, saling mengintimidasi satu sama lain, aku ingin menunjukkan pada Gala jika aku bukan lagi perempuan lemah yang kemarin sore sudah menangis karena ulahnya, benar yang dikatakan oleh Bu As, menghadapi orang-orang picik seperti mereka hanya perlu modal ketenangan, dan meraih celah kecil yang mereka sediakan. Dibandingkan susah-susah menampik gosip, sekalian saja di iyakan.

"Kelihatan sayang banget deh kamu sama Rinjani, jadi iri aku sama dia. Sudahlah punya tunangan macam kamu." Ucapku santai sembari menyentuh kancing kemejanya, mempermainkannya sembari tersenyum mengejeknya, "eeeh, waktu berpaling dapatnya macam Wira Yudayana, ckckck, dunia memang nggak adil, tapi ya nggak apa sih, toh sekarnag kamu jadi punyaku, kan? Demi melindungi dia, menjaga nama baiknya tetap baik, kamu bahkan menjadikan dirimu sebagai tumbal. Kamu berkorban sebesar ini Rinjani tahu, nggak? Dia ada nyesel gitu? Atau malah seneng akhirnya bisa go public sama Big Boss? Kasihan sekali deh kamu ini Mas, Mas!"

Mendengar sederetan ejekanku yang aku lontarkan sembari cengengesan membuat Gala gusar, "kamu tahu, rasa kepomu ini bisa membunuhmu. Kalimat yang kamu ucapkan barusan cuma 0,1% yang fakta, sisanya 99,9% bualan omong kosong seperti sampah. Persis seperti ......"

"Persis seperti aku!" Potongku cepat tepat sebelum Gala menyelesaikan hinaannya. "Ya, ya aku memang sampah, tolong jangan katakan hinaan ini lagi, aku sudah bosan mendengarnya, lagipula sampah ini juga yang lebih kamu pilih dibandingkan Rinjani si Miss Perfect. Jadi katakan siapa yang lebih sampah jika seperti ini? Aku, kamu atau Rinjani, saranku, kurang-kurangin ngehina aku, Mas Gala. Bisa jadi hinaan yang kamu lontarkan nantinya akan membuatmu menyesal seumur hidup karena sudah mengucapkannya. Soalnya benci sama cinta itu bedanya tipis banget loh. Sekarnag kamu membenciku, bisa jadi besok kamu bersujud memohon kepadaku agar tidak meninggalkanmu."

"Ckckckk, mimpi saja kau, Jurnalis gila!" Sentaknya melepaskan tanganku yang menahannya, Polisi Tengik tersebut menatapku dengan pandangan meremehkan, yang aku balas cengiran ejekan yang sama menyebalkannya. "Mencintaimu, ciiiihhhh, jika di dunia ini hanya tersisa dirimu dan sapi, aku akan lebih memilih melajang seumur hidup dan membiarkan manusia punah dari pada bercocok tanam denganmu demi menyelamatkan peradaban."

Cinta Diantara DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang