17. Perintah Mutlak

3.2K 362 10
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HolllaaaaaYuk ikuti kisah Serena di KBM dan KaryaKarsa jugaHappy reading semuanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holllaaaaa
Yuk ikuti kisah Serena di KBM dan KaryaKarsa juga
Happy reading semuanya

"Kamu, kamu dengar sendiri kan kalau si Anak Monyet ini sudah bertekad buat batalin pertunangannya, saya nggak mau tahu, sebagai gantinya kalian mesti cepetan kawin dan kasih Mama cucu selusin!"

"Haaaaaah?!!!"

"Titik, final! nggak ada tawar menawar lagi!"

"Haaaaah, apa, Bu?" Ditodong seperti ini siapa juga yang juga syok, nasib baik aku tidak punya riwayat penyakit jantung, dari tadi anaknya ngomong ngalor ngidul sama sekali nggak di gubris sama beliau, tapi begitu berbicara lagi-lagi aku yang kena.

"Hah, Heh, Hoh, Hah, Heh, Hoh, kamu itu loh punya kuping dua, minggir kamu Gal....." dengan keji Ibunya Gala mendorong putranya menjauh agar beliau bisa mendekatiku, sontak saja lagi-lagi aku dibuat meringis dengan bahasa kemesraan Ibu dan anak yang sangat tidak biasa, enteng sekali Ibu-ibu cantik ini dalam mendorong putranya agar menyingkir, dan kali ini akulah yang menjadi sasaran beliau, beliau berbicara tentang telinga, maka telingankulah yang kini beliau pegang, berlanjut dengan tangan beliau yang lain menangkup pipiku, "kamu ini cantik loh, telingamu bagus, biasanya yang punya telinga kayak gini kalau punya anak pinter...." Heeeeh iyakah? Mana aku tahu, punya anak aja nggak kepikiran Nyonya, anak nggak masuk dalam daftar tujuan hidupku, "bentuk wajahmu bagus, kecil, dagunya lancip, hidungmu juga pas, gigimu rapi, ini bawaan Tuhan atau kamu bisa secantik ini bikinan macam dokter Tompi, cantik banget kamu macam boneka! Harusnya kalau kamu secantik ini jangan mau kamu jadi selingkuhan anak saya, cari cowok lain yang masih single, bukannya perusak! Ckckck sebal sekali saya sama kamu!"

"Tapi saya bukan selingkuhan anak Ibu!" Tolakku berkeras. Tidak ingin dikatai terus-menerus aku mendongak, menatap ke arah Gala dengan pandangan galak, bodohnya diriku ini, berharap apa aku dari pria yang mendorongku ke dalam jurang ini? Mana mau dia menolongku, bahkan wajah tengilnya yang menyebalkan terlihat jelas sekali sangat menikmati cemoohan yang aku dapatkan.

"Kalau bukan selingkuhan apa namanya? Wong kamu disimpan kok sama Si Gala! Masih ngelak, nggak pernah diajarin kah kamu ini sama orangtuamu soal hal sederhana macam ini? Nggak peduli sebesar apa cinta yang kamu punya ke seseorang, merebut itu tidak dibenarkan! Nggak ada sesuatu hal yang dibangun diatas kebohongan yang akan berakhir dengan baik! Nggak tahu kamu hah hal sederhana macam ini? Ngajarin apa orangtuamu sampai hal kayak gini nggak paham?!"
Tangkis Nyonya Saraswati dengan sinis, astaga, ingin rasanya aku mengunyah bangku saking kesalnya. Segala hal yang aku katakan benar-benar tidak berarti untuk beliau. Diriku yang sudah buruk terlihat semakin buruk sekarang ini dengan hinaan demi hinaan dan cemoohan yang seolah tidak berujung, kembali, perasaan pahit menyerbu tenggorokanku, rasa yang familiar aku rasakan namun aku tidak akan pernah merasa terbiasa. Kenapa hinaan yang baru saja aku dengar terasa sangat menyakitkan? Ini bukan kali pertama aku mendapatkan kalimat serupa, tapi rasa sakitnya berkali-kali lipat dari yang pernah aku rasa sebelumnya.

Keburukan seolah berteman akrab denganku menempel erat seperti kuman yang memuakkan.

Tidak ada yang bisa aku katakan untuk menanggapi kalimat berapi-api Nyonya Saraswati, semangatku yang berkobar untuk berperang melawan Gala seolah lenyap tertiup angin. Aku hanya berdiri diam, menatap beliau dengan pedih sampai akhirnya saat aku sudah bisa menyingkirkan rasa kelat di tenggorokanku. Aku memilih untuk menundukkan kepalaku sebelum kembali berbicara dengan beliau. Ingin rasanya aku kembali mengelak, tapi aku sadar jika itu adalah hal yang sia-sia, sisa-sisa kewarasanku mengatakan jika aku harus bertahan, tidak peduli seberapa menyakitkannya apa yang aku rasakan sekarnag.

"Maaf jika sikap saya begitu buruk, Nyonya. Mohon maklum karena saya tidak punya Orangtua untuk mengajari saya bersikap baik seperti yang baru saja Anda katakan. Tapi Nyonya, tolong jangan katakan hal buruk itu kepada saya saja, bukan saya yang datang ke dalam hidup putra Anda, tapi putra Anda yang menghampiri dan menarik saya masuk ke dalam kehidupannya yang jujur saja, sangat berbanding terbalik dengan citra yang dia tampilkan selama ini."

Aku bisa melihat penyesalan terlihat di mata Nyonya Saraswati saat aku membenarkan perihal diriku yang tidak terdidik. Ya gimana lagi, aku memang tidak punya orangtuaku, punyaku Bibik yang bahasa cintanya ngomel setiap hari. Aku sangat sadar diri jika disandingkan dengan Rinjani, aku itu ibaratnya daki, tapi haruskah hinaan menjadi sebuah keharusan saat berbicara denganku.

Tidak ingin hanya aku sendirian yang dipandang buruk, aku kembalikan saja cemoohan beliau. Jangan cuma aku yang disalahkan, anaknya yang paling ganteng sedunia ini juga harus dicolok kupingnya. Aku tidak tahu saja, jika jawabanku barusan bukan hanya menohok Nyonya Saraswati, namun juga menampar pria yang duduk di kursi tunggal yang kini menatapku dengan pandangan yang tidak aku tahu apa artinya sampai akhirnya suara Gala yang kembali terdengar membuat Nyonya Saraswati mengalihkan perhatiannya dariku.

"Marahi saja Gala, Ma. Jangan sudutkan Serena. Disini kembali Gala tegaskan, Gala yang bersalah karena tidak bisa tegas mengakhiri perjodohan yang sejak awal tidak Gala inginkan."

Tidak, meskipun Gala sudah menegaskan jika ini adalah kesalahannya, itu sama sekali tidak membuatku respect kepadanya. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pembelaannya yang akhirnya membuat Ibunya tersebut menghela nafas panjang.

"Sudahlah, bisa apa Mama kalau kalian sudah menentukan pilihan, jika memang perjodohan ini harus batal, ya sudah, batal saja. Memang benar segala hal yang dipaksakan tidak akan berakhir dengan baik. Tapi jujur saja Gal, Mama kecewa kepada kamu, juga kepada Rinjani. Jika sejak awal kalian tidak mau dan punya pilihan masing-masing, kenapa kalian tidak bilang dari awal. Kalian sudah membuat kami para orangtua banyak berharap."

Dari awalnya segarang singa dan kini Nyonya Saraswati selembut ibu ratu, perubahan sikap beliau membuatku tidak enak hati sendiri, aku sedikit menyesal sudah berkata begitu keras dan ketus kepada beliau sebelumnya.

"Itu sebabnya, Gala sendirilah yang akan mengakhiri semuanya, Ma. Gala yang akan bertanggungjawab. Toh, antara Gala sama Rinjani, kami berdua sudah punya pilihan masing-masing. Rinjani jauh lebih bahagia bersama dengan Wira, Ma."

"Terserah kamulah, kalau gitu, jadi bagaimana, kalian secepatnya nikah saja, daripada khilaf bikinin Mama cucu duluan daripada nikahnya! Mau kamu sama siap pun asalkan dia perempuan, bukan istri orang, Mama izinin."

"Ya nggak harus seburu-buru ini juga kali, Ma! Ya, kan Ren, kamu juga masih terlalu muda, katanya kamu juga masih pengen ngejar kariermu."

Selama ini aku seringkali bertemu dengan banyak orang yang pandai berkelit, bersikap baik demi pencitraan dan tidak jarang berbohong demi image dilayar kaca, itu sebabnya meskipun begitu samar dan halus, aku bisa mendengar dengan jelas kegetiran yang tersemat di suara Gala saat menyebut nama  Rinjani dan Wira, aaaah rupanya meskipun beberapa saat lalu Gala mengatakan jika hubungan balas budi lah yang membuatnya segila ini, tetap saja aku bisa menangkap jika pria menyebalkan ini memang menaruh perasaan kepada Rinjani.

Ckkkkk, apa istimewanya sih perempuan itu hingga semua orang pasang badan untuk membela dan melindunginya?
Mungkin karena perasaan iri yang muncul tanpa bisa aku cegah ini yang membuatku awalnya syok saat Nyonya Saraswati memintaku untuk menikah dengan anaknya dan memberinya selusin cucu berubah pikiran. Alih-alih menolak seperti yang aku lakukan sebelumnya, aku justru berbalik menatap ke arah Gala dan tersenyum ke arahnya.

"Ya sih umurku masih terlalu muda, masih pengen nikmatin karier dulu, tapi benar juga  yang dibilang Mamamu, Mas. Lebih baik kita segera menikah saja, daripada kamu khilaf kayak barusan, kan?"

Cinta Diantara DosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang