Shania, Zira, dan Aisha telah selesai membeli buku yang mereka perlukan. Shania mengajak Zira dan Aisha untuk mampir di mall. Ia ingin membelikan Aisha dan Zira hijab. Sekaligus tanda Terima kasihnya kepada mereka karena mereka sudah bersikap baik kepadanya.Tiba di mall, mereka bertiga segera memasukinya. Mall di pusat kota ini dipenuhi ramainya orang-orang yang ingin belanja dan menikmati hari bersama keluarga atau bersama teman-teman.
Mereka bertiga mampir di sebuah outlet hijab. Aneka hijab dijual di situ. Kebanyakan untuk remaja dan orang dewasa. "Shan, beneran kamu mau beliin kita hijab?"
"Iya Ra, ini tanda terima kasih aku ke kalian. Kalian boleh pilih yang mana aja."
"Emang gak ngerepotin kamu?"
"Nggak Ning. Aku senang kalau ngeliat orang lain bahagia."
Zira dan Aisha pun melihat dan memilih hijab yang mereka ingin belikan. Shania memang suka berbagi kepada sesama. Dia termasuk dari keluarga yang memiliki finansial yang cukup mewah, sehingga berbagi kepada sesama atas apa yang telah lebih dari cukup yang dia miliki menjadi suatu hal yang biasa ia lakukan. Shania kadang juga menyempatkan diri untuk melakukan baksos ke panti asuhan dan panti jompo. Ia ikhlas membantu sesama.
"Shan, ini bagus banget pashminanya, warnanya juga cantik. Coba kamu kenakan."
"Aku kenakan?"
"Iya." Zira meminta Shania mengenakan hijab yang ia pilihkan.
"Ayo ke sini." Zira mengajak Shania untuk duduk di depan cermin. Sedangkan Aisha hanya mengekori mereka dari belakang.
Shania memandangi wajah cantiknya dari depan cermin. "Kamu kan udah cantik, kalau kamu kenakan hijab pasti lebih cantik," ujar Zira.
Shania dan Aisha hanya tersenyum manis melihat Zira yang begitu bersemangat. "Aku pakaiin ya?"
Zira pun memakaikan hijab itu kepada Shania. Dengan tutorial dan style ala-ala Zira. Hijab itu telah menutupi mahkota Shania. Shania begitu tampak anggun dan cantik dengan hijab yang ia kenakan itu. "Cantik banget." Zira menampilkan wajah senangnya.
"Iya kan Ning Aisha? Shania cantik kan?"
"Iya Ra. Shania cantik banget."
Shania memandangi wajahnya yang begitu tampak berbeda dari biasanya. Hijab yang menutupi rambutnya begitu cocok dengannya. Style hijab ala Zira menambah kecantikan pada Shania.
"Semoga suatu saat nanti, aku beneran bisa berhijab," ucap Shania.
"Semoga menjadi amin yang paling serius ya Shan." Zira mengaminkan apa yang diucapkan Shania.
"InsyaAllah, Allah akan memberikan jalan kebaikan bagi hamba yang tulus dan ikhlas ingin mendekati-Nya." Tambah Aisha.
• • •
Shania sedang duduk di atas ranjangnya. Ia sibuk dengan laptopnya. Ada beberapa tugas kuliah yang ia harus selesaikan segera karena telah mendekati deadline. "Akhirnya selesai juga." Shania merasa lega tugas yang ia kerjakan dari tadi akhirnya selesai juga.
Untuk lebih merilekskan diri, Shania memutar musik. Ia pun larut dalam lirik lagu tersebut. Sedikit bersenandung dan menikmatinya dengan santai.
Ada yang mengetuk pintu kamarnya. Namun, karena musik yang lumayan terdengar keras membuat ia tidak mendengar suara di seberang pintu. Papanya Shania kembali mengetuk pintu yang akhirnya membuat Shania mendengar suaranya dan mempersilakannya untuk masuk ke dalam.
"Maaf Pa. Shania tadi hidupin musik, jadi gak kedengeran." Shania terkekeh.
"Iya gapapa." Reynaldi--Ayahnya Shania-- duduk di atas kasur dan disebelahnya ada Shania.
"Gimana dengan kuliahnya?"
"Agak sedikit susah. Tapi sejauh ini masih lancar Pa."
"Memang ngerjain skripsi ini susah-susah gampang. Materinya, tenaganya, waktunya, semua harus dikorbankan." Tambah Shania lagi.
"Papa yakin kamu bisa nge-handle semuanya dan Papa yakin kamu pasti bisa lulus tepat waktu."
"Makasih Pa, udah percaya sama aku." Reynaldi mengelus lembut puncak kepala Shania.
"Papa mau tanya sesuatu sama kamu?"
"Apa Pa?"
"Gimana dengan acara pertemuan kamu dengan Koh William?"
Mendengar pertanyaan itu, Shania memutar mata malasnya. Ia benar-benar tidak suka membahas masalah tersebut. "Udah berapa kali aku bilang sama Papa. Aku gak mau ketemuan sama Koh William. Aku gak mau berhubungan dengan dia."
"Kenapa Shan? Koh William itu pengusaha muda, ganteng, kaya raya lagi."
"Aku gak suka sama dia Pa. Dia gak sopan orangnya. Masak pas ketemu Shania waktu itu, dia langsung ngegoda Shania. Padahal itu pertemuan pertama Shania sama dia."
"Itu karena Koh William suka sama kamu. Dia itu cinta sama kamu."
"Gak Pa, aku gak mau ketemu sama dia."
Reynaldi langsung berdiri. Ia tidak suka dibantah atas kemauannya. Ia tidak suka Shania bersikap seperti itu. "Kenapa kamu jadi ngelawan Papa begini. Papa kan mau yang terbaik buat kamu." Shania hanya diam dan tidak mau menuruti kemauan Papanya.
Reynaldi berjalan ke arah meja belajar Shania. Ia melihat banyak buku Islami di situ dan juga ada sebuah hijab berwarna biru di situ. Reynaldi mengambil buku dan hijab tersebut. "Papa tau sekarang, apa kamu berubah karena ini?"
Buku dan hijab itu Reynaldi letakkan di depan Shania. "Coba jelasin, kenapa barang-barang ini bisa ada di kamar kamu?"
Shania mengambil buku dan hijab itu. Ia letakkan di dekatnya. "Aku tertarik sama Islam. Aku ingin mempelajari lebih dalam tentang Islam."
Wajah Reynaldi tiba-tiba berubah marah. Ia menunjuk ke arah Shania. "Kamu...." Reynaldi memegang dadanya. Ia merasakan sakit di bagian dadanya. Ia tertunduk lemah.
"Pa." Shania bangkit dari kasurnya, ia memegang Papanya yang hampir terjatuh. Shania tahu betul bahwa penyakit Papanya kambuh karena mendengar ucapannya tadi.
• • •
Tunggu kelanjutannya ya.
Jangan lupa difollow, vote, dan komennya.
Follow juga Ig : tulisanzia
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Cinta Yang Tak Direstui Semesta [ TELAH TERBIT ]
General FictionGus Rasya menikahi Ning Aisha atas dasar keterpaksaan. Jika bukan karena orang tuanya mungkin ia tidak mau menikah dengan Ning Aisha. Cinta Gus Rasya hanya tertuju pada sesosok perempuan bernama Shania. Bertemu di ketidaksengajaan membuat mereka sal...