DUA PULUH DELAPAN

6K 224 11
                                    


Rasya mengemudikan mobil, sedangkan Aisha duduk di sebelahnya. Mereka akan pulang kembali ke pesantren Al-Akbar, setelah tadi Umma Alma mengabari mereka bahwa Kiyai Fadil masuk ke rumah sakit.

"Gus, memang Abi punya riwayat penyakit tertentu?" tanya Aisha.

Rasya fokus mengemudikan mobilnya. Ia melihat ke arah depan. Sesekali menoleh ke arah Aisha. "Gak Ai. Sebelumnya Abi gak pernah mengeluh perihal penyakit."

"Semoga Abi baik-baik aja," ujar Aisha.

"Kita hanya bisa berdo'a dan berharap kebaikan bagi Abi," balas Rasya.

"Sekarang kita pulang ke pesantren dulu. Beres-beres barang setelah itu langsung ke rumah sakit." Lanjut Rasya.

"Iya Gus," jawab Aisha.

• • •

Shania sedang berkutik dengan laptopnya. Ia harus segera menyelesaikan skripsinya. Tenggat waktu penyelesaian hampir tiba. Ia ingin meraih lulusan terbaik di fakultas kedokteran. Nilai terbaik, tepat waktu, menjadi azam yang ingin dicapainya. Waktu pun terus berjalan. Shania terus mengerjakan skripsinya.

Akhirnya skripsi Shania selesai juga. Setelah bergulat dengan tugas skripsi tersebut selama berbulan-bulan. Hari ini, ia pun menyelesaikannya. Sekarang tinggal berkonsultasi dengan dosen. Di Acc dan bisa segera melaksanakan sidang.

Shania mengambil selembar kertas yang terletak di atas meja belajarnya di samping laptopnya. "Beasiswa S2 ke Budapest, Hongaria. Semoga bisa ke terima di sana," ucapnya.

Brosur itu menampilkan profil universitas dan syarat-syarat masuk ke salah satu universitas terkenal di Budapest. Shania ingin mengambil S2 di sana.

Shania berdiri dari kursinya. Ia berjalan beberapa langkah, lalu ia duduk di atas kasurnya. Ia mengambil ponsel yang terletak di atas nakas.

Gadis itu menyentuh layar ponselnya. Ia membuka galeri. Ada beberapa foto kenangannya saat berada di pesantren Al-Akbar.

"Semoga aku bisa jadi mualaf sebelum berangkat ke Budapest. Semoga aku bisa segera mengenakan hijab," ucap Shania pelan.

Shania kembali menyentuh layar ponselnya. Ia menggeser layar ke sebelah kiri. Ia mendapati sebuah foto yang memperlihatkan dirinya dan Gus Rasya.

Saat itu Rasya mengambil foto selfie bersama Shania yang berbackgroundkan danau hijau. Potret foto itu diambil di hari pertama mereka ke danau hijau. Tampak senyuman terukir di wajah keduanya.

Shania mengusap-usap layar ponselnya menandakan ia begitu rindu dengan momen itu. "Semoga Gus bahagia bersama Ning Aisha. Semoga suatu saat nanti aku juga bisa mendapatkan imam yang bisa membimbingku hingga ke jannah-Nya," ucap Shania sembari memandangi foto itu. Air mata Shania pun jatuh mengenai layar ponselnya.

Shania menyeka air matanya. Menarik napas dalam. "Bagaimana keadaan di pesantren sekarang? Aku kangen," ucap Shania pelan.

"Hari ini aku ke pesantren aja, untuk bersilaturahmi sekaligus buat bertemu Zira dan Umma. Aku kangen sama mereka berdua." Batin Shania.

Shania beranjak dari kursinya. Ia akan mandi terlebih dahulu sebelum ke pesantren Al-Akbar.

• • •

"Shan, makan siang dulu. Mama udah masak banyak nih," ujar Anita dari meja makan. Ia dan Reynaldi menunggu Shania untuk makan siang bersama.

"Iya Ma," jawab Shania dari lantai dua rumahnya.

Shania segera turun ke bawah, ia sudah rapi dan wangi. Ia akan pergi ke pesantren Al-Akbar. Namun, ia tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya. Jika ia mengatakan ingin pergi ke pesantren Al-Akbar. Pasti Papanya itu tidak akan mengizinkannya pergi.

"Pa, Ma."

"Ayo duduk, makan dulu."

"Iya, Ma."

"Udah cantik begini mau ke mana?" tanya Anita sembari menaruh nasi di piring.

Shania mengambil piring yang berisi nasi itu. "Mau ke rumah teman, Ma," jawab Shania.

"Beneran mau ke rumah teman?" tanya Reynaldi.

"Beneran, Pa." Terpaksa Shania harus berbohong.

"Shan, sesuai jadwal yang telah Papa atur. Nanti malam kamu harus makan malam sama Koh William," ujar Reynaldi.

Shania tidak bisa lagi menolak. Ia berkali-kali menolak untuk bertemu Koh William. Tetapi kali ini, ia harus menuruti kemauan Papanya itu.

"Jangan telat pulang ya. Jam 7 kamu harus segera menemui Koh William." Lanjut Reynaldi.

"Iya Pa. Nanti Shania pulang lebih awal."

"Papa senang banget sama Kamu, Shan. Akhirnya kamu mau mengikuti kemauan Papa."

Shania sedikit memaksakan senyumnya.

• • •

Shania telah sampai di pesantren Al-Akbar. Ia memarkirkan mobilnya di pekarangan pesantren.

Shania segera ke ndalem. Ia mengetuk pintu ndalem. Namun, tidak ada satu orang pun yang menjawab.

Nisa dan Farah yang sedang berjalan melihat Shania yang sedang berada di teras ndalem. "Maaf mba, cari siapa ya?" tanya Nisa.

Shania menoleh ke sumber suara. "Mau ketemu sama Umma Alma, sama Zira."

Farah dan Nisa mendekati Shania. "Umma Alma sama Zira lagi ke rumah sakit," ucap Farah.

"Siapa yang sakit?" tanya Shania.

"Kiyai Fadil masuk rumah sakit," jelas Nisa.

"Kiyai Fadil?" tanya Shania sedikit kaget dengan apa yang baru disampaikan oleh Nisa.

"Iya."

Sebuah mobil masuk ke pekarangan pesantren. Dan mobil itu berhenti di depan ndalem. Rasya dan Aisha turun dari mobil itu.

"Shania," ucap Rasya. Shania menanggapinya dengan memberikan senyumannya.

"Gus Rasya, Ning Aisha," ucap Shania. Rasya sedikit kaget atas keberadaan Shania di pesantren. Sedangkan Aisha membalas dengan senyumannya.

"Kok kamu ada di sini?" tanya Rasya kepada Shania.

"Aku ke sini mau ketemu Umma sama Zira. Tapi kata mereka Umma sama Zira sedang bawa Kiyai Fadil ke rumah sakit," ujar Shania.

"Iya, Abi lagi sakit. Kami juga mau segera ke rumah sakit," balas Rasya.

"Mudah-mudahan Kiyai Fadil cepat sembuh ya," ucap Aisha.

Mereka semua yang ada di situ mengaminkannya.

Shania mendekati Aisha. Ia memegang bahu Aisha. Tersenyum tipis. Lalu berucap. "Ning, jaga selalu Gus Rasya. Bahagiakan dia," ucap Shania pelan hanya bisa didengar oleh Aisha saja. Perkataan Shania sedikit membuat Aisha kaget. Rasa cinta Shania kepada Gus Rasya masih terpatri di hatinya.

Aisha membalas dengan senyuman juga. "Pasti."

Shania menoleh menatap Rasya. "Karena Umma sama Zira lagi gak ada di pesantren. Jadi, aku permisi pulang dulu, Gus"

"Iya," jawab Rasya. Seandainya Rasya bisa meminta, pasti ia tidak ingin Shania pergi dan ia ingin ngobrol banyak dengan Shania. Tetapi ia telah menikah. Ia harus menjaga perasaan Aisha.

Shania berlalu menuju mobilnya. "Seandainya takdir bisa kita tetapkan sendiri. Saya ingin kamu selalu membersamai saya," batin Rasya.

• • •

Ikuti terus kelanjutan ceritanya.

Jangan lupa difollow, vote, dan komennya.

Follow juga Ig : ziaulfan

Kisah Cinta Yang Tak Direstui Semesta [ TELAH TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang