TIGA PULUH DELAPAN

4.2K 192 12
                                    


Rasya menerima beberapa tamu malam ini. Ada beberapa donatur yang ingin bekerjasama dengan pembangunan beberapa fasilitas di pesantren Al-Akbar.

Selesai dari semua aktifitas nya. Ia pun kembali ke ndalem. Ketika ingin membuka pintu, sayup-sayup terdengar suara Aisha yang sedang membacakan ayat suci Al-Qur'an. Suaranya terasa indah dan menenangkan.

Lalu Rasya membuka pintu kamarnya dengan pelan. Ia tidak ingin menggangu Aisha. Rasya mengganti baju koko yang ia pakai tadi dengan baju kaos putih. Ia meletakkan peci di atas nakas kamarnya.

"Sadaqallahhul 'adhim..." Aisha selesai mengaji.

Ia meletakkan Al-Quran itu di atas meja. Dan melipat kembali sajadah yang ia gunakan tadi. Pancaran wajah Aisha yang putih bersih menyejukkan sesiapa saja yang memandangnya.

Rasya duduk di atas kasur. Ia terlihat sedikit keletihan dengan segala aktifitas nya hari ini. Aisha mendekati Rasya. "Gus, mau saya bikinin teh?"

"Gak usah Ai."

"Sepertinya ada banyak hal yang sedang Gus pikirkan."

"Iya Ai. Tentang pesantren, tentang Shania dan tentang kita."

"Kenapa Gus masih bawa-bawa nama Shania. Dia sudah pulang dan dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri." Lalu Aisha duduk di sebelah Rasya.

"Saya gak tega tadi ngelihat dia dipaksa pulang. Dan saya gak suka dengan calon suaminya itu. Dia itu kasar. Shania gak akan pernah bisa bahagia dengannya," ujar Rasya.

"Jadi Gus pikir. Cuma Gus yang bisa membahagiakannya. Jadi Gus anggap saya apa? Gus harus terima semua ini dengan bijak. Gus ingat, jika sikap Gus terus begini, akan ada banyak hati yang tersakiti."

"Jadi mau Gus apa sekarang? Mengejar kembali cinta Shania?"

Pikiran Rasya benar-benar berkecambuk tak karuan. "Apa saya pisah saja dengan Aisha? Dan kembali mengejar cinta Shania? Tapi bagaimana dengan Abi sama Ummi pasti mereka tidak setuju. Benar kata Aisha akan ada banyak hati yang tersakiti," batin Rasya.

"Kenapa Gus gak jawab?" tanya Aisha. Suara Aisha sedikit agak keras. Kesabaran seseorang tidak akan pernah bisa sama setiap waktunya. Wanita mana yang tidak akan merasakan sakit, jika berada di posisi Aisha.

"Diam Aisha. Kamu mau membuat saya hancur?"

"Maksud Gus?"

"Semua ini gara-gara kamu yang gak bisa menghargai perasaan saya."

"Perasaan apa maksud Gus? Saya sudah begitu sabar selama ini."

"Cukup Aisha. Cukup. Saya tidak mau berdebat lagi."

Aisha berdiri dari duduknya. "Gus yang gak akan pernah bisa menghargai perasaan saya. Gak akan pernah bisa mencintai saya."

Rasya juga berdiri dari duduknya. Ia terlihat begitu emosi. "Cukup Aisha." Suara Rasya meninggi.

Rasya ingin menampar Aisha yang menurutnya cukup membuatnya marah malam ini. Rasya telah mengangkat tangannya. Membuat Aisha memejamkan matanya dan menoleh sedikit ke arah kiri. Namun, tangan Rasya terhenti. Kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua ini.

"Kenapa Gus berhenti? Kalau mau tampar saya. Tampar saja." Ujar Aisha.

Rasya menarik napas kasar. "Saya gak bisa Aisha. Maafkan saya." Rasya merasa bersalah telah melakukan hal ini. Tidak sepatutnya ia bersikap seperti itu. Itu bukan penyelesaian dari masalah ini. Bahkan itu bisa menjadi awal dari permasalahan lainnya.

Aisha pun tak dapat menahan air matanya. Tetesan demi tetesan mengalir di pipinya. Malam ini menjadi perdebatan terparah yang pernah terjadi dengan mereka setelah menikah.

Rasya yang ingin pisah. Namun, ia urungkan karena akan ada banyak hati yang tersakiti. Dan Aisha yang tidak bisa sabar lagi dengan sikap Rasya terhadapnya.

"RASYA... AISHA... ZIRA..." teriak Umma Alma dari ruang tamu.

Suara teriakan itu sontak membuat Rasya dan Aisha yang sedang di dalam kamar buru-buru untuk keluar. Aisha segera menyeka air mata di pipinya. Ia tidak mau membuat Abi dan Umma khawatir akan hubungan rumah tangga mereka yang sedang bermasalah. Zira yang yang sedang di dapur pun ikut segera menuju ruang tamu.

Ketika mereka sudah berada di ruang tamu mereka melihat Kiyai Fadil yang sedang muntah-muntah. Tetapi yang membuat mereka kaget. Muntahnya mengeluarkan darah segar dari dalam mulutnya.

"Kenapa Abi, Umma?"

"Abi muntah-muntah, Mas," ucap Umma Alma.

Rasya memperhatikan lantai yang dipenuhi beberapa bagian yang berdarah. "Ada darah Umma," kata Rasya.

"Iya Umma. Muntah Abi mengeluarkan darah," balas Zira.

"Kita harus cepat bawa Abi ke rumah sakit, Umma," tambah Aisha.

Kondisi malam itu benar-benar menakutkan siapa saja yang melihatnya. Kiyai Fadil terlihat pucat, dan tubuhnya begitu lemas.

Beberapa santri menggotong Kiyai Fadil memasuki mobil. Lalu Rasya, Aisha, Zira dan Umma Alma segera kembali membawa Abi ke rumah sakit terdekat.

• • •

Harap-harap cemas terlihat dari raut wajah mereka berempat yang sekarang berada di luar ruang pemeriksaan.

Rasya berdiri memegangi kepalanya. Ia begitu khawatir dengan kondisi Abinya. Umma Alma duduk di bangku tunggu yang ditenangkan oleh Aisha dan Zira.

Lama menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Mereka berempat segera menghampiri dokter. "Gimana kondisi Abi, dok?"

Wajah dokter terlihat membawa kekhawatiran dan beban besar sehingga membuat mereka berempat bertanya-tanya.

Dokter menarik napas kasar. "Menurut pemeriksaan sementara, Kiyai Fadil dinyatakan menderita penyakit kanker paru-paru." Dokter menjeda, "dan sepertinya sudah stadium 4 atau tingkat akhir."

Sontak perkataan dokter membuat mereka semua kaget. Umma Alma tidak tahan menitikkan air matanya. "Kami akan melakukan pemeriksaan lanjutan nantinya. Dan sekarang kalian bisa menemuinya. Tapi kondisi Kiyai Fadil masih lemah. Dia butuh istirahat lebih," ujar dokter.

"Kalau gitu saya permisi dulu," lanjut dokter.

"Iya dok," jawab Rasya.

Dokter pun berlalu kembali ke ruangnya. Mereka berempat segera menemui Kiyai Fadil. Sampai di dalam ruangan, Kiyai Fadil sudah dipasang alat bantu pernapasan dan alat cek tekanan jantung. Matanya terpejam sempurna.

Umma Alma kembali menangis. Zira memeluk, menenangkan Umma. Aisha dan Rasya saling bertatapan. Aisha memasang raut wajah yang begitu sedih.

Kepala Rasya dipenuhi pikiran pertengkarannya dengan Aisha tadi dan sekarang harus melihat Abi dalam kondisi yang benar-benar lemah tak berdaya.

"Ya Allah, kuatkan saya dalam menghadapi semua ini," batin Rasya.

• • •

Bab selanjutnya ada kejutan besar yang membuat Rasya menyesal telah melakukan semua ini kepada Aisha.

Ikuti terus kelanjutan ceritanya.

Jangan lupa difollow, vote, dan komennya.

Kisah Cinta Yang Tak Direstui Semesta [ TELAH TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang