EMPAT BELAS

4.8K 156 9
                                    


Selepas shalat dhuhur tadi, Rasya sekarang sedang bersiap-siap. Hari ini, ia mengenakan outfit baju kaos lengan panjang yang dilapisi jaket jeans. Ia tampak begitu ganteng dan keren. Ia berencana pergi ke kampus Gelar Bangsa untuk menjemput Shania dan mengajak dia jalan-jalan.

Rasya keluar dari kamarnya. Dari ndalem ia berjalan keluar, tidak sengaja ia berpapasan dengan Aisha yang baru selesai dari mushalla. "Gus Rasya," sapa Aisha.

Rasya membalas dengan senyuman. "Ning Aisha baru dari mushalla?"

"Iya Gus."

Rasya menganggukkan-anggukan kepalanya. Jeda sejenak, lalu ia bertanya. "Saya mau tanya, gimana menurut Ning Aisha dengan pesantren Al-Akbar? Ning betah di sini kan?"

"Alhamdulillah saya sangat senang berada di sini, Gus. Dan saya sangat betah. Semua yang di sini menyambut saya dengan baik."

"Alhamdulillah, kalau Ning Aisha betah."

Ada sesuatu yang Aisha ingin tanyakan kepada Rasya. Tetapi ia tidak tahu apakah pertanyaan ini pantas untuk ia tanyakan. "Gus, boleh aku tanya sesuatu juga?"

"Boleh. Silakan."

"Gus ada hubungan sepesial dengan Shania ya?" Entah apa yang membuat Aisha menanyakan hal tersebut. Apakah Aisha mulai ada rasa sama Rasya sehingga ia cemburu dengan situasi saat ini? Atau apa penyebab yang membuat Aisha menanyakan hal tersebut, padahal itu bisa membuat Rasya risih akan pertanyaan yang dilontarkan olehnya tadi.

Sepertinya Aisha telah menaruh hati kepada Rasya. Tetapi apakah rasa itu benar adanya atau hanya kilatan saja yang menyelinap di sela-sela hatinya? Apapun itu, Rasya, Aisha, dan Shania sekarang berada dalam sebuah cinta segitiga yang melibatkan ketiganya.

Rasya tampak heran atas pertanyaan Aisha tersebut. "Kenapa Ning nanyanya seperti itu?"

"Gapapa, cuma pengin tau aja. Karena kelihatannya Gus Rasya sangat dekat dengan Shania."

"Iya, kami memang dekat. Dia itu sudah banyak membantu saya. Dan dia melakukannya itu dengan rasa tulus. Saya bisa lihat ketulusan dari tutur lembut sikapnya terhadap saya. Bukan cuma sama saya aja. Tapi juga sama Umma dan Zira."

"Untuk sekarang kami hanya sebatas teman. Tapi gak tau ke depan." Lanjut Rasya lagi.

"Tapi kan Gus tau. Di antara kalian itu ada tembok besar yang menghalang. Perbedaan keyakinan di antara kalian itu mengisyaratkan bahwa semesta tidak merestui kisah kalian."

"Saya tau, tapi kita tidak tau apa yang akan terjadi ke depan. Saya hanya bisa berdo'a kepada Allah, agar Allah memberikan takdir terbaik bagi saya."

"Maaf Ning Aisha. Saya harus pergi sekarang. Saya ada keperluan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Aisha. Aisha merasa jawaban yang diberikan Rasya tadi menggambarkan bahwa Rasya menginginkan cinta Shania walaupun semesta tak merestuinya. Di sisi lain, Aisha juga merasa ia tidak berhak menanyakan hal tersebut kepada Rasya, apalagi ia harus cemburu dengan sesuatu yang tidak ia harus cemburui.

Rasya pun pergi meninggalkan Aisha dengan beberapa pertanyaan yang masih menghantui jalan pikiran Aisha. Tampak raut wajah kecewa ditampilkan oleh Aisha.

• • •

Shania baru keluar dari ruangan kuliah. Ia berjalan sendirian di lorong kampus. Shania menghentikan langkahnya saat ponselnya berdering menandakan ada notif dari WhatsApp-nya.

Una
Shan, aku pulang duluan ya. Soalnya ada keperluan mendesak nih sama Papa aku.
Katanya Kak Arman nanti mau anterin kamu. Kamu pulang sama Kak Arman aja ya.
Dia katanya nanti mampir ke ruangan kamu.

Shania

Ok


Shania mematikan layar ponselnya. Ia menarik napas pelan. Ia melirik kiri dan kanannya. Melihat apakah Arman ada di sekitarnya. Namun, sosok yang dia cari belum terlihat menghampirinya.

"Shania." Suara seorang laki-laki yang tidak asing bagi Shania.

"Kak Arman."

"Ada dapat pesan dari Una? Gimana jawabannya?" tanya Arman.

"Boleh Kak. Tapi beneran Kakak mau anterin aku pulang?"

"Beneran. Tapi sebelum pulang, saya mau ajak kamu ke suatu tempat. Gimana?"

"Ke mana Kak?"

"Kamu ikut aja. Kamu pasti bakalan senang kalau ke tempat yang mau saya ajak ini? Gimana?" Arman bertanya lagi.

"Boleh Kak."

"Ya udah ayo." Mereka berdua pun berjalan di lorong kampus menuju parkiran.

Mereka telah sampai di parkiran. "Kamu ke kampus sering naik angkutan umum ya?" tanya Arman.

"Sering Kak. Dari pada naik mobil pribadi, aku lebih suka naik angkutan umum. Pulangnya biasa bareng sama Una."

Suara klakson sebuah motor memotong pembicaraan mereka. Motor itu tepat berhenti di samping mereka. Seorang laki-laki turun dari motor, membuka helm full face-nya. "Gus Rasya."

"Apa kabar Shan?"

"Baik. Gus Rasya kok bisa ada di sini?"

"Saya mau jemput kamu." Mendengar ucapan Rasya membuat Shania terdiam karena ia sudah mengiyakan ajakan Arman.

"Shania mau pulang bareng saya." Arman tiba-tiba berucap.

"Maaf. Kalau boleh tau anda siapa ya?" tanya Rasya. Ia tidak mengenali sosok laki-laki yang sedang bersama Shania.

"Kenalin saya Arman. Temannya Shania." Arman mengulurkan tangannya.

Rasya menjabat tangan Arman. "Saya Rasya."

"Shan. Saya anterin pulang ya," ujar Rasya.

"Anda gak dengerin saya ngomong tadi. Shania mau pulang bareng saya," ucap Arman.

Rasya membulatkan matanya. Entah kenapa laki-laki dihadapannya ini cukup menyebalkan. Padahal ia bertanya kepada Shania. Tetapi kenapa laki-laki itu terus menjawab.

"Maaf Gus. Aku udah janjian pulang sama Kak Arman."

"Tapi Shan, saya sengaja loh jemput kamu."

"Ya gimana lagi Gus. Aku udah duluan janjian sama Kak Arman. Sekali lagi maaf ya Gus."

"Ayo Shan." Ajak Arman. Shania dan Arman segera menaiki mobilnya Arman. Mereka berdua pergi meninggalkan Rasya di situ.

"Kenapa Shania lebih pilih cowok itu dari pada saya," batin Rasya. Rasya kecewa dengan keputusan Shania. Ia pun memutuskan untuk kembali pulang ke pesantren.

• • •

Tunggu kelanjutannya ya.

Jangan lupa difollow, vote, dan komennya.

Follow juga Ig : tulisanzia

Kisah Cinta Yang Tak Direstui Semesta [ TELAH TERBIT ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang