"Nab, Kakak juga cinta sama Fadhlan, kamu harus tahu itu!" Setengah berteriak Kak Fuji bicara padaku. Tadi kulihat dia sedang termenung sendiri di balkon kamarnya.
Aku baru saja pulang diantar oleh Kak Fadlan dari bank. Tak sengaja bertemu di jalan, dengan paksaan yang cukup lama, akhirnya aku ikut naik ke boncengan motornya karena merasa tidak enak.
Begitu sampai rumah, aku melihat Kak Fuji menatap nyalang ke arah kami. Langsung kususul dan ternyata satu fakta terbongkar.
"Aku gak sengaja ketemu Kak Fadlan di jalan. Dia maksa buat bareng. Udah aku tolak, tapi tetep maksa. Aku gak enak, Kak ...." Tanganku terulur hendak menyentuh bahu Kakakku satu-satunya. Namun, Kak Fuji sedikit bergerak dan membuat tanganku terjatuh begitu saja dari bahunya.
Aku tahu Kak Fuji sedang marah besar terhadapku.
"Aku janji, gak akan deket-deket sama Kak Fadlan lagi," ujarku kemudian.
Kak Fuji memutar tubuhnya jadi menghadap padaku. Tatapannya nanar, bola matanya dipenuhi air mata. Kak Fuji yang selama ini selalu bersikap tomboy, kini kulihat sisi feminimnya.
"Kakak suka sama Fadlan sejak ia pulang dan Pak Hadi mengajaknya ke rumah kita. Dia dewasa dan sangat berbeda dibanding waktu kecil." Kak Fuji bercerita setelah mengeringkan titik-titik air di matanya.
Aku siap mendengarkannya sekaligus mengubur dalam perasaan yang baru saja menguncup itu pada Kak Fadlan.
Aku mengembangkan senyuman mendengar penuturan Kak Fuji. Senyuman yang semoga saja tak terlihat dipaksakan.
"Kakak sudah capek hidup sendiri dan main-main saja. Kakak sudah ingin memiliki imam yang bisa membimbing Kakak," tutur Kak Fuji lagi.
"Kakak gak salah pilih, Kak Fadlan cocok jadi kriteria suami idaman Kakak," responku setelah ia selesai dengan kalimatnya.
"Dan, kamu tahu kenapa Kakak marah?" tanya Kak Fuji.
"Kakak gak suka lihat tatapan Fadlan ke kamu. Feeling Kakak bilang, kalo Fadlan punya rasa lain di hatinya sama kamu."
Mendengar penuturan Kak Fuji, aku sedikit membenarkan. Tak bisa dipungkiri —meski aku terus selalu berusaha menunduk kala berhadapan dengan yang bukan mahram, aku pernah tak sengaja sesekali melihat binar mata itu. Jujur, aku tidak merasa nyaman.
Dan, saking kentaranya bahkan Kak Fuji bisa mengartikan hal itu.
Kak Fadlan itu teman sebayanya Kak Fuji, usianya hanya terpaut beda beberapa bulan saja. Dulu Kak Fadlan selalu membelaku saat aku ingin ikut bergabung main dengan mereka. Padahal Kak Fuji tak suka kalau aku terus membuntutinya saat dia bermain dengan teman-temannya.
Belasan tahun tak bertemu, Kak Fadlan ternyata menyelesaikan kuliah magisternya di luar negeri. Aku tak tahu dimana tepatnya, yang pasti ia baru saja kembali ke kota ini beberapa minggu yang lalu.
"Kakak jangan menyerah buat meminta pada Yang Kuasa di sepertiga malam. Insya Allah kalo Kak Fadlan baik buat masa depan Kakak, Allah akan mempersatukan kalian." Tanganku memegang tangan Kak Fuji yang sedang memegang tralis balkon.
Kak Fuji menoleh, ia mengulas senyuman. Kalau untuk Kakakku ini, aku akan mengalah. Rasa asing yang hadir tanpa diundang ini bisa kukubur dengan cepat. Aku lebih memilih untuk melihat kakakku bahagia.
***Nay Lembayung***
Matahari perlahan naik, sehingga menimbulkan terik yang cukup bisa membakar kulit. Aku berjalan menyusuri jalanan kampung setelah tugas selesai; mengajar anak TK.
Sedang asyik berjalan seraya menggumamkan shalawat kamilah dengan irama, tiba-tiba langkahku terhenti ketika seseorang lewat dan memanggil namaku.
Perlahan aku menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomanceNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...