Chapter 34

55 5 0
                                    

Enam bulan kemudian …

“Nab, dipanggil sama Bu Nyai Fatma.” Sarah, teman satu profesiku memberitahu. 

Aku memutuskan untuk tinggal bersama Bibiku di daerah Tasik sebelum diterima kerja. Aku melamar sebagai pengajar di beberapa lembaga pendidikan. Meskipun aku hanya sampai D3 tapi pengalamanku mengajar di TK kujadikan acuan untuk melamar ke tempat yang berbeda. 

Setelah kejadian pahit pada makan malam itu, aku memutuskan untuk menjauh dari semuanya. Mencari pengalaman baru di lingkungan yang baru. Aku hanya ingin introspeksi diri dan tak lagi terburu-buru menerima pinangan seorang pria. 

Sekarang aku mengajar di Madrasah Diniyyah yang ada di Yayasan Miftahul Jannah. Aku mulai menjadi pengajar untuk anak-anak kelas 1 di sini. Cukup bahagia rasanya meski sebelumnya aku tak menyangka akan diterima di sini. Setelah diterima kerja, aku memilih untuk kos sendiri di daerah yang sama dengan Bibiku, seperti permintaan Bapak. 

Setelah Sarah memberitahu, aku bergegas menemui Bu Nyai Fatma. Beliau adalah istri dari Pimpinan Yayasan ini. 

Setelah mengucap salam dan dipersilahkan masuk, aku pun mulai melangkah menuju ke dalam rumah. 

“Maaf ya, Bil, kamu jadi dipanggil ke sini.” Bu Nyai datang dari arah dapur dengan segelas air dan beberapa camilan. 

“Gak usah repot-repot, Bu Nyai. Kayak ke tamu aja.” Aku bangkit dan meraih nampan yang sedang Bu Nyai pegang. 

“Gini, Bil, saya ada rencana mengenalkan kamu sama seseorang. Dia itu anaknya Kakak Ipar saya. Sebenarnya saya belum ngasih tahu sama orangnya. Cuma waktu itu Uminya yang ngobrol sama saya, minta dicarikan calon untuk anaknya. Kira-kira, kamu bersedia gak untuk saya kenalin?” Bu Nyai berujar to the point. 

Sekarang aku yang mulai bingung harus menjawab apa. Sudah enam bulan sejak aku memutuskan pertunangan dengan Mas Rido, hati ini masih belum siap untuk menerima orang baru. Namun kalau ini adalah tawaran dari Bu Nyai, aku tak mampu untuk menolaknya. Mengingat selama ini beliau sangat welcome dan baik sekali padaku. 

“Saya milih kamu karena saya lihat kamu adalah wanita yang berbudi, pintar, rajin, juga cantik. Jangankan keponakan saya, mungkin laki-laki lain juga akan menyukai kamu, Bil.” Tawa Bu Nyai terdengar setelah akhir kalimat. 

“Duh Bu Nyai itu karena Allah yang menutupi aib-aib saya.” 

“Tuh, kan! Ini yang saya suka dari kamu, Bil. Jadi, gimana? Mau saya pertemukan kalian? Di sini aja, gak usah di luar, ya. Menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.” Bu Nyai nampak serius tentang hal ini.

“Insyaa Allah. Saya serahkan sama Bu Nyai aja.” Aku tersenyum. Tak mampu menolak, aku mencoba untuk memasrahkan saja semuanya. Kalau memang jodohku datang dengan cara seperti ini, aku harus siap. Semuanya selalu ada hikmah. 

Bu Nyai tersenyum mendengar jawabanku. Ia menatapku dengan penuh binar. 

Aku tak ingin berandai-andai untuk hal-hal yang belum pasti. Semuanya biar aku serahkan saja kepada-Nya. Kita jalani saja, suratan takdirku bahkan sudah tertulis jauh sebelum aku lahir. Jadi, apa yang harus ku khawatirkan? 

***Nay Lembayung***

“Nab, Ibu sakit, kamu bisa pulang?” pinta Bapak di telepon. “Mungkin Ibu kangen sama kamu.” 

Hatiku rasanya teremas mendengar Ibu sakit. Kata Bapak, sakit demam biasa. Meskipun begitu aku tetap tak bisa abai begitu saja. 

Kalau aku tinggal di rumah, pasti aku yang merawat dan mengurus rumah. Karena aku merasa kalau hal itu sudah menjadi kewajibanku. Atau mungkin sejak aku tak tinggal di rumah Ibu jadi lebih berat pekerjaannya? 

Setelah izin kepada Kepala Sekolah untuk cuti beberapa hari, lalu aku menemui Bu Nyai untuk izin juga takutnya beliau mencariku. Biasanya sore hari menjelang maghrib aku selalu ikut pengajian bersama Bu Nyai di masjid dalam Yayasan.

“Ini nitip buat Ibu kamu. Tunggu, ya! Duduk dulu, Bil!” Bu Nyai melenggang ke dalam rumah. 

Beberapa menit kemudian, beliau keluar dan membawa puding dalam wadah, roti tawar dan buah jeruk dalam plastik transparan. Aku terkesan dengan perlakuan baik Bu Nyai. 

“Semoga Ibu kamu cepat sembuh. Kamu jangan khawatir, insyaAllah Ibu kamu akan baik-baik saja.” 

“Aamiin. Bu Nyai makasih banyak, padahal gak perlu repot-repot seperti ini.” Aku sudah menerima kantong kanvas yang terisi dengan titipan makanan ini.

Tak banyak basa-basi lagi, aku undur diri. Tak banyak barang-barangku yang dibawa, hanya yang penting-penting saja. Untuk baju ganti semuanya masih ada di rumah. 

Aku pergi ke terminal untuk menaiki bus jurusan ke rumah Bapak. Sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan hal-hal yang membuatku semakin takut. Beberapa kali aku harus beristighfar. 

Dua jam perjalanan akhirnya aku sampai di rumah Bapak. Ada mobil yang tak ku kenal terparkir di depan rumah Bapak. 

Ku tutup kembali gerbang seperti biasa. Sepersekian detik kemudian pintu depan rumah terbuka. Kak Fuji yang keluar bersama Mas Rido seraya bergandengan tangan. Mereka tampak bahagia dan belum menyadari aku sudah berdiri di sini.

Aku tundukkan kepala agar mereka tak berspekulasi kalau aku sempat melihatnya. Tas jinjingan ku angkat dan berjalan perlahan siap masuk rumah. 

“Nabil!” Kak Fuji memanggil. 

Aku mendongak. Mas Rido pun sedang melihatku. 

“Assalamu’alaikum. Apa kabar, Kak?” tanyaku tanpa menoleh pada pria di sampingnya.

“Wa’alaikumussalam.” Mereka berdua kompak menjawab. “Baru sampe? Naik apa?” Kak Fuji bertanya sambil celingukan ke arah jalan kampung.

“Naik umum, Kak. Aku masuk dulu, ya.” 

Tak menunggu jawaban, aku pun berjalan melewati dua orang itu dan terus masuk rumah. Aku menyimpan barang bawaan di meja makan sebelum aku menemui Ibu. 

Hati ini masih terus saja tersayat walau semuanya sudah berlalu enam bulan lamanya. Melihat mereka yang tampak baik-baik saja setelah menghancurkan segala rasaku, ingin aku membalas. Namun, aku kembali ingat kalau semuanya sudah ada dalam suratan takdir.

Tak perlu aku kesal atau terus memelihara bara ini. Padahal itu adalah sebuah tanda kalau Mas Rido memang bukan pria terbaik untukku. 

Rupanya kalimat Mas Rido dulu yang katanya inginnya denganku adalah bualan saja. Ia tak bersungguh-sungguh dengan kalimatnya, hanya sebagai tameng untuk harga dirinya di mata keluarga. Seperti itulah spekulasi yang muncul saat ini.

“Nab!” Kak Fuji menyeruku. Aku kembali menoleh ke arah pintu. 

Salah banget tadi malah lanjut melamun, harusnya segera menemui Ibu. 

“Nab, Kakak sudah berencana menikah dengan Mas Rido. Nanti kamu bisa bantu persiapan?” 

Dhuar!

Bagai disambar petir. Untuk sekali ini aku tak ingin mendengar hal tersebut dari lisan Kak Fuji. Tak pernah ia sekali pun meraba hatiku sejak kecil. Yang ada dalam benaknya adalah tentang keinginannya, kesenangannya saja. 

Padahal aku harusnya sudah tak perlu takut untuk mendengar hal itu karena tentu saja mereka yang menjalin hubungan akan berencana sampai pelaminan.

“InsyaAllah, nanti aku minta cuti beberapa hari, Kak.” Aku mengerahkan kekuatan untuk tetap tersenyum di tengah pahit yang harus ku telan.

*

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang