Chapter 39

124 4 1
                                    

"Kak Zaki jangan heran kalau Kakak Nabil seperti itu. Memang sifatnya bisa bikin orang lain mengusap dada. Nabil minta tolong sama Kak Zaki, abaikan saja hal-hal yang bersangkutan dengan Kak Fuji." Aku membuka suara saat kami sudah melaju jauh dari rumah Bapak. Sekarang waktunya kami kembali ke kota sebelah untuk menunaikan segala kewajiban.

"Tenang aja, Nabila, Kakak gak terpengaruh. Fokus Kakak cuma ke Nabila."

Akhirnya mau tidak mau aku menceritakan hal yang ku alami dengan kegagalan pertunanganku dengan Mas Rido. Hanya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan saja.

"Kakak gak nyangka ternyata kisahnya sampe rumit begitu. Kamu memang orang terbaik. Buktinya Allah ngasih cobaan sampe sesakit itu untuk Nabila. Kakak gak salah pilih, ya? Kayaknya Bibi harus dikasih hadiah." Kak Zaki mulai bergurau. Dan itu berhasil membuatku tersenyum kecil karena merasa tersanjung dengan kalimatnya. Padahal semuanya tak ada apa-apanya kalau bukan karena Allah semata.

"Dulu sebenarnya Bapak minta Nabil dan Mas Rido segera menikah saja, sayangnya Nabil terlalu polos karena kasihan kalau Kak Fuji harus dilangkahi. Nyatanya, semuanya malah ia rebut tanpa peduli perasaan Nabil." Aku tersenyum sebelah bibir dan mulai mengingat kisah masa lalu. Sesak, tapi bercerita kepada Kak Zaki membuatku bisa secara perlahan menghapus sesak itu.

Sejak keputusanku untuk mengakhirinya dengan Mas Rido aku tak sedih hingga menangis tergugu karena air mataku sudah kering sejak aku memendam semua pengkhianatan itu sendiri. Sejak saat itu harapanku padanya tak lagi sepenuhnya. Jadi, saat kenyataan tak sesuai harapan, aku legowo dan bersedih secukupnya.

"Kamu sekarang baik-baik aja, Nab?" tanya Kak Zaki.

"InsyaAllah Nabil baik-baik saja, Kak."

Kak Zaki menoleh, aku ikut menoleh dan kami bertatapan sejenak, lalu kembali fokus ke depan setelah sama-sama mengukir senyuman.

Saat tengah mengeja sepi, ponselku berdering. Rupanya Bapak yang menelepon.

"Nab, masih sama Zaki?" tanya Bapak setelah kami berbalas salam.

"Masih, Pak. Kenapa?" Aku menoleh ke arah Kak Zaki, wajah penasaran itu kentara sekali.

"Bilang sama dia, kalo serius, akadnya dipercepat saja." Bapak memerintah. Hatiku berat untuk mengatakannya.

"Nabil loudspeaker aja ya, Pak. Bapak bicara langsung?" tawarku. Hal ini sebaiknya memang disampaikan oleh orang tua.

"Iya, Pak. Gimana?" tanya Kak Zaki, aku mendekatkan ponsel ke wajahnya.

"Gimana kalo kalian mempercepat akad saja? Bapak khawatir kalau niat baik ditunda-tunda malah ada halangannya lagi."

"InsyaAllah, Pak. Saya mau bicarakan dulu sama kedua orang tua, sama Bibi, sama keluarga juga. Saya akan mengabari secepatnya." Kak Zaki begitu semringah wajahnya.

"Terima kasih, Nak. Kalian hati-hati di jalan. Titip Nabila sampai kosannya dengan selamat."

Setelah itu hanya basa basi saja dan telepon pun diakhiri. Sekarang tinggallah aku yang pasti sudah merona pipi ini. Tanganku menghangat, dan irama debaran dalam dada kian tak karuan.

Kami mengeja hening. Kak Zaki fokus dengan kemudi lagi. Aku pun diam saja di mobil dengan jutaan senandika.

***Nay Lembayung***

Siang ini sudah cukup terik saat aku hendak pulang ke kosan. Jarak dari kosan ke yayasan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Aku membuka payung agar teriknya matahari tak membakar kulit.

"Bil!" Seseorang memanggilku saat langkahku semakin dekat dengan gerbang yayasan.

Mataku menyisir, mencari tahu siapa yang memanggil. Rupanya Sarah yang tengah melambaikan tangan. Aku pun mengembangkan senyuman dan menantinya berjalan ke arahku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elegi Kecemburuan (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang