"Maaf, ya, kalau saya lancang …."
Lagi-lagi Pak Rido menjeda kalimatnya.
“Saya teringat satu hal tentang Kakak Bu Nabil,” cetus Pak Rido, sukses membuatku cukup terhenyak.
“Iya, Pak. Kenapa dengan Kakak saya?” langsung ku tanya balik.
“Dia mengajak saya bertemu, hanya sekadar untuk berkenalan lebih lama waktu itu. Dan …,” terjeda lagi. Aku semakin tak keruan dibuatnya. Kalo menyangkut Kak Fuji entah kenapa rasanya jantung ini selalu berdebar.
Dari dulu aku tak pernah mau ada masalah dengan Kakakku satu-satunya itu. Karena demi Kak Fuji, aku diberangkatkan pesantren oleh kedua orang tuaku. Memang ini semuanya tentang kebaikan. Namun, aku sedih, karena kedua orang tuaku malah lebih menyayangi Kakakku itu.
Waktu itu kami berseteru karena permasalahan seseorang yang Kak Fuji suka, ternyata menyukaiku. Kemudian Kak Fuji mengadukanku kalau aku sudah berpacaran, nyatanya itu hanya sebuah fitnah. Dan dengan mudahnya orang tuaku mempercayai apa yang Kak Fuji katakan.
Sakit memang, tapi di balik itu aku bersyukur sekali. Karena kejadian itu aku pergi mondok walau hanya dua tahun untuk menuntaskan masa putih abu-abu saja. Pikiranku salah kalau orang tuaku membuangku. Nyatanya, aku malah lebih banyak mendapat ilmu.
Ingin sekali aku kembali ke Pesantren milik Kyai Herman. Aku rindu dengan Bu Haji Siti juga dengan anak-anaknya yang sangat baik kepadaku.
“Bu Guru?” Sebuah tepukan pelan membuyarkan anganku yang sedang berkelana jauh.
“Maaf, Pak. Tadi sampe mana?” tanyaku.
"Fuji mengajak saya bertemu. Katanya dia tahu nomor saya dari Bu Guru. Lalu dia mengajukan diri untuk menjadi istri saya." Pak Rido menjelaskan dengan perlahan seperti sedang berhati-hati dengan kalimatnya.
Tiba-tiba rongga dadaku terasa seolah menyempit. Napas yang tadinya teratur kini sedikit sesak. Dalam dada bergetar hebat.
Aku tahu sifat Kak Fuji, dan aku sudah menduga akan seperti itu. Yang kutakutkan adalah Pak Rido yang akan kecewa nantinya. Dan yang tak kumengerti kenapa hanya pada Kak Fadlan saja Kak Fuji tak seberani kepada Pak Rido.
"Maafkan kelancangan Kakak saya, Pak. Kalau Bapak risih, tak usah membalas lagi pesan-pesan Kak Fuji," pintaku. Sungguh, sepertinya wajahku menjadi sangat merah demi mendengar hal ini.
"Tenang saja, saya gak risih. Kakakmu itu ternyata sangat pemberani," ucapnya sedikit tertawa sepersekian detik saja, hingga dehamannya mengakhiri tawa itu.
"Saya masih menimbang. Urusan rumah tangga gak secepat itu mengambil keputusan," kata Pak Rido.
Setelah kalimat terakhir Pak Rido, saya tak ingin meneruskan percakapan lagi. Jujur, rasanya sangat takut kalau membicarakan Kak Fuji.
***Nay Ramdani***
Kami sudah memasuki area pantai. Hawa panas menyergap saat kami memasuki dataran rendah ini. Nadia masih terlelap, sedangkan aku dan Pak Rido terjebak dalam kebisuan.
Sesekali aku hanya melirik ponsel, kemudian melihat jalanan di depan, terus saja seperti itu.
[Nab, kamu kemana?]
Sebuah pesan dari Kak Fuji mengambil setengah dari mood baikku.
[Aku pergi sama Nadia, Kak.]
Balasku setelah beberapa detik kuhabiskan dengan menimbang-nimbang jawaban.
[Jangan lama-lama, cepetan balik. Kakak pengen cerita.]
“Bu Guru, kita sudah sampai?” tanya Nadia dengan nada suaranya yang sedang menggeliat. Nyenyak sekali tidur Nadia. Tidur di seat dua sendiri, pakai bantal dan selimut tipis bergambar frozen.
“Belum, Sayang. Sebentar lagi.” Aku menoleh sebentar ke belakang untuk melihat Nadia. Dan kudapati Nadia sedang duduk seraya setengah badannya masih berselimut.
“Masih lama, Nad. Tidur lagi aja!” pinta Pak Rido. Padahal tadinya aku senang karena Nadia terbangun, setidaknya percakapan seperti beberapa saat lalu dengan Pak Rido takkan terulang.
“Kalo dah sampe, bangunin, ya, Om!” Nadia kembali merebahkan tubuhnya di kursi seat ke dua.
Hening.
***Nay Lembayung***
"Bu Guru makan yang banyak! Ini enak banget, loh!" ucap Nadia dengan mulut penuh.
Makanan seafood yang ada di hadapan kami ini cukup banyak. Dari mulai udang hingga lobster. Kuperhatikan Nadia dan Pak Rido sangat bersemangat. Aku yang tak terbiasa makan seafood hanya bisa mencicip udang asam manis saja.
"Ayo, Bu Guru dimakan!" cetus Pak Rido.
"Iya, Pak," jawabku sambil senyum kikuk.
Drrt … drrtt … drrtt …
Getaran ponsel dalam tas membuatku bisa menghindari setiap percakapan dengan Pak Rido. Kurogoh ponsel dan kulihat nama Kak Fadlan tertera di sana.
Ingin kuangkat tapi sungkan juga rasanya. Apa yang mau dibicarakan oleh Kak Fadlan. Ketika ingat Kak Fadlan, di situlah aku ingat dengan Kak Fuji.
"Kok gak diangkat, Bu Guru?" tanya Nadia polos, kemudian menggigit badan kepiting.
Sebelum kujawab pertanyaan Nadia, tak sengaja mataku menangkap kalau Pak Rido juga sedang memperhatikan. Cukup risih, akhirnya aku izin untuk menjauh dan mengangkat telepon.
“Kenapa, Kak?” tanyaku setelah kami saling mejawab salam.
“Saya mau melamar Fuji. Gimana pendapat kamu, Nab?” tanya Kak Fadlan.
Deg!
Tiba-tiba udara dari rongga dadaku seolah berlarian entah kemana. Rasanya dada terhimpit oleh sesuatu sampai lisanku membisu dan mataku sedikit membelalak.
Apa yang Kak Fadlan katakan? Bukannya ia sudah mengenalkan Kak Fuji kepada temannya –yang menurut Kak Fadlan sendiri temannya itu sesuai kriteria Kak Fuji?
Tangan dan kakiku terasa seolah membeku. Hatiku membuat semua anggota tubuhku merasakan terkejutnya.
Aku pikir Kak Fadlan akan berjuang keras untuk menyelesaikan masalah rasa dan teka-teki Kak Fuji selama ini. Nyatanya, ia malah menyerah dan memilih Kak Fuji untuk menghabiskan waktunya bersama-sama.
Mataku mulai menghangat seiring tanganku yang mulai sedikit bergetar. Aku sedikit menengadah agar air yang mulai mengamburkan pandanganku ini tidak tumpah.
“Halo, Nab? Masih disana?” Suara Kak Fadlan mengagetkanku. Ingin kujawab tapi malah semakin sesak dan suaraku mulai bergetar dan hendak parau. Akhirnya aku memilih untuk mematikan sambungan telepon itu secara sepihak.
Kupikir Kak Fadlan akan membuktikan keseriusannya padaku. Nyatanya ia malah membuat aku kecewa dan mematahkan semua pengharapanku padanya.
“Bu Guru?” Suara itu membuatku harus segera mengakhiri rasa yang tak seharusnya ini.
*
Jangan lupa vote, komen dan follow🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi Kecemburuan (ON GOING)
RomansaNabila dihadapkan pada dua keadaan yang bertolak belakang dalam sudut hatinya. Ia harus melepaskan kebahagiaannya demi orang lain atau bersikap egois demi kebahagiannya sendiri. Pernah ia meluruhkan ego, nyatanya semua itu ternyata hanya sebuah kes...